A.A. Maramis, diplomat dalam Situasi Gawat Darurat
Belanda membuat opini bahwa Republik Indonesia telah runtuh. Alex membalas bahwa Republik Indonesia masih berdaulat dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya.
NEW Delhi, Minggu 19 Desember 1948. Menteri Keuangan Republik Indonesia Kabinet Hatta Pertama, Alexander Andries Maramis (Alex Maramis) termenung. Dia gusar setelah membaca telegram dari Yogyakarta yang ditujukan untuknya, Sudarsono (perwakilan RI untuk India), dan LN Palar.
”Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan, bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibu Kota Yogyakarta,” demikian telegram beratasnamakan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri Agus Salim itu mengawali.
Belanda melakukan agresi militernya yang kedua, menawan presiden, wakil, dan beberapa menteri di Yogyakarta. Belanda telah mengkhianati Perjanjian Renville.
Di hari itu, Pemerintah Republik sempat mengirim dua telegram. Satunya untuk Syafruddin Prawiranegara di Sumatera yang berisi mandat untuk membuat pemerintahan darurat. Lainnya adalah yang Alex terima.
Keduanya termuat dalam situs Jaringan Informasi Kearsipan Nasional (jikn.go.id/index.php/mandat-presiden-ri-kepada-mr-sjafrudin-prawiranegara). Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dalam katalog Sekretariat Negara RI 1945-1949, no. 985, juga mencantumkan dokumen itu, namun arsip fisiknya tidak ada.
Alex bisa lolos karena sedang kunjungan ke India. Agaknya sehubungan dengan perjanjian Indonesia dengan India tentang padi (ANRI, Setneg RI Yogyakarta 1949-1950, no. 799). Para elit pemerintahan Indonesia mencoba membuka hubungan perdagangan dengan mancanegara, untuk membiayai kehidupan republik. Demikian pula Alex.
Ekonomi pemerintah sedang tiris, dan karut marut. Produktivitas pangan masyarakatnya 10 persen di bawah rata-rata tahun 1937. ”Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia mungkin telah meningkat sejak perang dari 70 menjadi 73 Juta,” lapor US Department of Agriculture, dalam World Food Situation 1949, terbit 12 Januari 1949.
Belanda juga memblokade jalur-jalur penghubung Indonesia dengan luar negeri sejak November 1945. Kilahnya untuk mencegah penyelundupan senjata kepada pasukan Republik. Alex harus memutar akal, demi membiayai pemerintahan, keperluan perang, juga kehidupan rakyat Indonesia.
Alex melanjutkan membaca telegram itu. “Jika ikhtiar Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara dikuasakan untuk membentuk exile government Republik Indonesia di India.” Alex dkk harus bersiap-siap mengambil tampuk pimpinan pemerintahan.
Nasib baik, tiga hari kemudian Syafruddin berhasil mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Syafruddin berhasil menghubungi Alex beberapa waktu setelahnya, dan mengangkat Alex sebagai Menteri Luar Negeri PDRI.
“Mr Maramis, menteri keuangan di kabinet Hatta, yang saat ini di New Delhi, telah diangkat menteri luar negeri oleh Mr Sjafrudin Prawiranegara dari pemerintah darurat Republik,” ungkap harian Belanda, Het Dagblad edisi 24 Januari 1949.
Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Belanda mengopinikan bahwa Republik Indonesia telah runtuh. Keruan Alex Maramis membalas bahwa Republik Indonesia masih berdaulat dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya.
”Alexander Maramis, Menteri Keuangan Republik Indonesia, mengatakan di Istanbul dalam perjalanannya ke Delhi bahwa perang gerilya melawan Belanda dapat berlangsung selama lima tahun meskipun Republik tidak dipersenjatai dengan baik,” tulis The Bombay Chronicle, edisi 4 Januari 1949.
PDRI resmi menggantikan pemerintahan sebelumnya. Hatta sendiri menyatakannya. ”Hatta telah beri statement bahwa PDRI berkuasa dan tanggung jawab penuh,” sebut Alex dalam telegramnya kepada LN Palar di New York, yang tersimpan di Arsip LN Palar, no. 132, ANRI.
Alex mencari dukungan banyak negara kepada Indonesia. The Bombay Chronicle (5 Januari 1949) mencatat, Alex sempat ke Turki, Perancis dan Pakistan. Terlebih kepada negara-negara Muslim, Alex mengharapkan dukungan mereka kepada Indonesia.
“Maramis mengatakan bahwa masalah Indonesia menyangkut seluruh dunia Muslim dan bahwa pemerintah Republik menghargai bantuan sukarelawan dari negara-negara Asia,” terang Eindhoven Daily Newspaper, edisi 4 Januari 1949.
India telah terang-terangan mengutuk serangan Belanda ke Yogyakarta, tepat pada hari terjadinya serangan. Perdana Menteri Jahrawal Nehru mendengar kabar serangan itu dari All India Radio yang merilis keterangan Alex dkk.
Menjelang pembukaan Kongres Parlemen India 19 Desember 1948, Nehru membuat pernyataan keras. ”Kebijakan luar negeri kita adalah bahwa tidak ada kekuatan asing yang boleh memerintah negara Asia mana pun,” ucapnya yang termuat dalam Chronology of International Events and Documents, Vol. 4, No. 24, 1948.
Hubungan Indonesia dengan India telah akrab sejak pengakuan India atas Indonesia pada 2 September 1946. Di tahun itu pula Perdana Menteri Sutan Sjahrir membuat ‘diplomasi beras’, dengan mengirim 500.000 ton beras untuk mengatasi krisis pangan India. Kapal Empire Favour membawanya dari Pelabuhan Cirebon ke India pada 25 Oktober.
Arsip Kementerian Penerangan 1945-1950, no. 42 ANRI menyebutkan bantuan dibarter dengan komoditas yang Indonesia butuhkan seperti tekstil.
Alex dkk terus berhubungan dengan Nehru. Nieuwe Haarlemsche Courant edisi 12 Januari 1949 melaporkan, Alex dan Sumitro Djojohadikusumo (Wakil Dagang RI untuk AS) bertemu Nehru pada tanggal 11. Mereka memohon agar India membantu perjuangan Indonesia.
Nehru meresponnya dengan menyelenggarakan Konferensi Asia (Inter Asian Relation Conference/IARC) yang kedua pada 20-25 Januari 1949 di Delhi. Konferensi yang pertama pernah berlangsung di Delhi pada 20 Maret 1947. Arsip IPPHOS, No. 465- 466 (ANRI) menerangkan saat itu Agus Salim memimpin delegasi Indonesia di sana.
Alex terus menerus menerangkan pentingnya Konferensi Asia Kedua kepada dunia. “Orang-orang Asia harus menjelaskan kepada dunia bahwa tidak akan ada lagi pemerintahan kolonial di Asia, kata Maramis,” lapor Provincial Overijssel and Zwolsche Courant (10 Januari 1949).
Konferensi diikuti oleh 19 negara Asia, Afrika, dan Pasifik Selatan. Indonesia tidak ikut serta sebagai anggota karena persoalannyalah yang diangkat. Namun PDRI tetap mengirim utusan yang terdiri dari Alex, Sumitro, Sudarsono, Utoyo—Dubes Singapura, dan H.M. Rasjidi—Dubes Mesir. Ini bisa dilihat dalam Koleksi Foto Idayu no. L7455, di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Alex dkk terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di dalam konferensi, bahkan membuat memorandum. “…Perwakilan republik saat ini di New Delhi mempersiapkan sebuah memorandum, yang akan dipresentasikan konferensi,” lapor De Tijd, edisi 12 Januari 1949.
Memorandum dibacakan pada 20 Januari. Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer mencatat isinya antara lain; agar Belanda mengembalikan wilayah RI secara utuh, menuntut terselenggaranya perundingan, dan dibuatnya lembaga khusus untuk melaksanakan keputusan Dewan Keamanan PBB.
Bagi Alex Belanda tidak lagi berhak menguasai Indonesia, karena sempat mengalami pendudukan asing pada 1941, sehingga pemerintahannya mengungsi ke London. “Dengan berpindahnya kursi Pemerintahan ke London, Ratu Wilhelmina kehilangan kontrol langsung terhadap Hindia Belanda,” tulis Alex dalam “No More Legal Power of the Netherlands in Indonesia”, terbit 1946 (http://imtfe.law.virginia.edu/collections/carrington-williams/2/1/no-more-legal-power-netherlands-indonesia).
Prinsip itu Alex pegang teguh. “Ia memang terkenal sebagai seorang yang berkepribadian kuat, pendiam, pintar, dan keras kepala,” jelas MPB Manus dkk dalam Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Sampai-sampai Belanda sendiri menaruh hormat kepada Alex. Kenang Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil ”Petite Histoire” Indonesia, Belanda menyebut Alex sebagai ’een daadkrachtige Minister van Buitenlandse Zaken en Financiën in New Delhi’ (Seorang Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan yang bertindak tegas di New Delhi).
Usaha Alex dkk tidak sia-sia. Pada 22 Januari Konferensi sudah menghasilkan delapan butir resolusi untuk Dewan Keamanan PBB. Isinya antara lain berupa pemulihan pemerintahan Indonesia, pembentukan pemerintahan peralihan, penarikan mundur pasukan Belanda, dan pengembalian kedaulatan Indonesia pada 1 Januari 1950.
Isi lainnya mengenai pembebasan pemimpin Republik. “Agar para anggota Pemerintah Republik, para pemimpin Republik lainnya dan semua tahanan politik di Indonesia, segera dikembalikan dengan kebebasan penuh,” sebut “Resolution Adopted by Conference on Indonesia Held in New Delhi, January 22, 1949”, dalam jurnal International Organization, Vol. 3, No. 2, 1949.
Pada hari itu juga, Syafruddin yang mendengar putusan itu dari Sumatera Barat segera mengirim telegram kepada Alex di Delhi.
”Atas perasaan solidariteit dengan negara-negara yang ikut konferensi itu kami menerima resolusi itu dengan penuh rasa tanggung jawab,” papar Syafruddin, yang terkutip dalam Kronik Revolusi Indonesia, Jilid V karangan Pramoedya Ananta Toer.
Resolusi ini menyeret Belanda untuk kembali duduk di meja perundingan, sampai ke Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus-2 November 1949.
Kiprah Diplomatik Alex Lainnya
Alex masih lincah bergerak di sela-sela perjuangannya di Konferensi Asia Kedua. “Di Paris dia bersama L.N. Palar menghadiri sidang Dewan Keamanan PBB yang memperdebatkan aksi militer Belanda ke-2. Di New York dia membicarakan dengan Palar dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo soal kontrak kerja sama ekonomi dengan Matthew Fox Concern,” terang Rosihan.
Usaha diplomasi Alex terbilang sukses. “Sukses yang dicapainya selama bertugas sebagai Menteri Luar Negeri PDRI amat dihargai oleh pemerintah,” beber F.E.W. Parengkuan, dalam A.A. Maramis, SH (terbit 1982).
Alex sempat pulang ke Jalan Merdeka Timur 9, Jakarta, pada Juli 1949. Kemudian, Keppres No. 9/A/49 tertanggal 1 Agustus 1949 mengangkatnya sebagai Duta Besar Istimewa dengan Kuasa Penuh. Tugasnya mengawasi kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri.
“Mengingat bahwa perhubungan antara Kantor Pusat Kementerian Luar Negeri dan masing-masing perwakilan di luar negeri untuk Republik Indonesia dalam dewasa ini masih sangat kurangnya, sehingga dianggap perlu untuk mengangkat seorang pegawai atas segenap perwakilan-perwakilan Republik Indonesia yang ada di luar negeri,” urai keppres itu.
Karir Alex berlanjut sebagai Duta Besar untuk Filipina melalui Keppres RIS No. 39 tertanggal 25 Januari 1950. Alex cukup akrab dengan elit pemerintah Filipina. Contohnya adalah ketika Filipina meminta Presiden Indonesia untuk memberikan ucapan selamat atas HUT kemerdekaan Filipina.
Alex menerima permintaan ini secara personal dari temannya, Margaret Meritt yang bekerja di radio pemerintah Filipina (DZFM). Setelah itu, DZFM melayangkan surat resmi pada 22 Mei 1952. Alex kemudian menyurati Direktur Kabinet Presiden, pada 23 Mei 1952. Dia melihat permintaan Filipina tersebut adalah penting.
“Mengingat bertambah besarnya perhatian Filipina terhadap Indonesia mengenai hampir semua lapangan, maka kami tidak merasa keberatan bila permohonan tadi itu dilaksanakan, sedangkan pengambilan ucapan selamat oleh Presiden Soekarno dapat diselenggarakan oleh jawatan RI di Jakarta,” tulis Alex dalam suratnya itu yang tersimpan di Arsip Kabinet Presiden 1950-1959, no. 420, ANRI.
Selepas dari Filipina, Alex diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Jerman Barat pada 10 April 1953, melalui Keputusan Presiden RI No. 56/M tahun 1953. Lalu kembali pulang ke Jakarta, pada 28 Juni 1956. Alex kemudian menjabat Kepala Direktorat Asia/Pasifik pada kantor Kementerian Luar Negeri, dengan Surat Keputusan Menlu No. S.P./351/P.D/56.
Hanya beberapa bulan di Jakarta, Alex kembali menjadi duta besar. Kali ini untuk Uni Soviet dan Finlandia yang berkedudukan di Moskow. Jabatannya diresmikan oleh SK Menlu tentang pemindahan No. S.P/669/Djg/56 pada 15 Oktober 1956. Setelah dua tahun menjabat, barulah Presiden Soekarno meresmikan posisi Alex dalam Keppres no. 436/M Tahun 1958.
“Dalam surat itu Alex Maramis ditugaskan selain sebagai wakil RI di Moskow, juga merangkap selaku Duta Besar Luar Biasa dan Menteri Berkuasa Penuh RI untuk Republik Finlandia, yang berkedudukan di Helsinki, walaupun tempat kedudukan tetapnya ialah di Moskow.” urai Parengkuan.
Keppres tersebut selanjutnya diperbaharui oleh Keppres no. 570/M tahun 1958.
Alex sempat turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Ketika itu Hatta yang memimpin delegasi Indonesia sampai di Scheveningen, Den Haag, mendengar bahwa Alex juga sedang di luar negeri. Hatta langsung mengangkat Alex bersama Soekanto sebagai penasehat delegasi pada 12 September 1949, melalui SK No.1/W.P/Istm/Sch.Scheveningen.
Dari KMB, Alex diutus sebagai anggota Mahkamah Arbitrase melalui Keppres RIS No. 173, Tahun 1950. Mahkamah ini dibentuk untuk melaksanakan putusan KMB.
Alex juga terjun dalam Konferensi Kolombo, 28 April-2 Mei 1954. Arsip Setneg Kabinet 1950-1959 di ANRI (no. 2137, 1212, dan 2222) mencatat, Alex menjadi delegasi RI bersama Ahmad Subardjo, Ir. Djuanda, dan J.D. de Fretes.
Sebelumnya, Alex pernah menjadi anggota utusan Indonesia dalam Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Kesempatan Kerja. Konferensi berlangsung di Havana, Kuba, 21 November 1947–24 Maret 1948.
Demikian sepak terjang Alex di dalam pemerintahan Republik Indonesia, baik sebagai duta besar maupun di dalam pelbagai perundingan. Dubes RI untuk Uni Soviet dan Finlandia merupakan pos terakhirnya di pemerintahan hingga 1957.
Alex pensiun dua tahun setelahnya. Alih-alih kembali ke Indonesia, dia memboyong keluarganya untuk menetap di Lugano, kota kecil yang indah di negara Swiss sampai 1976.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar