SEORANG wanita tergesa-gesa memasuki kantor pos di Lebanon, Ohio, Amerika Serikat. “Saya ingin mengirimkan bayi ini melalui paket pos,” kata Ny. Ed Rudabaugh. Tukang pos kaget dan mencubit dirinya apakah bermimpi atau tidak. Ketika menyadari dalam keadaan sadar, tukang pos itu berkata, “baiklah, mari kita timbang bayi tersebut,” katanya. Peristiwa tak biasa itu diberitakan surat kabar The Fairmont West Virginia, 12 Januari 1914.
Kala itu, layanan parcel post atau mengirim paket melalui pos tengah menjadi primadona masyarakat AS, khususnya penduduk di pedesaan. Salah satu penyebabnya karena layanan tersebut memungkinkan barang-barang yang dibeli dapat dikirim melalui pos ke rumah-rumah mereka.
David J. Lewis M.C. menulis dalam “The Economy of the Parcel Post”, termuat di National Waterways: A Magazine of Transportation Volume 1, seminggu setelah peresmian layanan paket pos oleh Kepala Pos Frank Harris Hitchcock pada awal tahun 1913, terdapat empat juta paket yang dikirim dari lima puluh kota terbesar di AS.
Baca juga: Jasa Pengiriman Surat dan Barang pada Zaman Belanda
Besarnya antusias masyarakat terhadap layanan pengiriman paket melalui pos melahirkan fenomena tak biasa, yaitu mengirim bayi atau anak-anak. Ini terjadi karena tidak ada peraturan yang melarang mengirim orang melalui pos. Terlebih batasan berat barang yang dapat dikirim melalui pos memberi celah bagi orang untuk mengirim anak-anak ke rumah kerabat melalui pos karena harganya lebih terjangkau dibandingkan membeli tiket kereta.
Salah satu yang memanfaatkan celah itu adalah tuan dan nyonya Jesse Beagle dari Glen Este, Ohio. Mengutip The New York Times, 26 Januari 1913, pasangan suami istri Beagle mengirim bayi laki-laki mereka yang masih hidup dengan memanfaatkan layanan paket pos. Bayi yang memiliki berat 10¾ pon, tepat di dalam batas berat 11 pon, dibungkus dan dikirim ke rumah sang nenek di wilayah Batavia, Ohio. Anak itu diantar oleh Vernon O. Lytle, pembawa surat di rute pedesaan No. 5 yang dikenal sebagai orang pertama yang menerima dan mengirimkan seorang bayi yang masih hidup sebagai paket pos.
“Tuan Lytle mengantarkan bayi laki-laki tersebut dengan selamat ke alamat yang tertera pada kartu yang dilampirkan. Ongkos kirimnya lima belas sen dan paket itu diasuransikan sebesar $50,” tulis surat kabar tersebut.
Baca juga: Cara William Thompson Menipu Orang Kaya
Peristiwa serupa kembali diberitakan The New York Times pada 4 Februari 1914. Kali ini paket yang dikirimkan adalah seorang anak laki-laki berusia dua tahun. Setelah menghabiskan waktu selama tiga minggu di kediaman sang nenek, anak tersebut dikirim kembali ke rumah kerabatnya di Wellington, Kansas, dari Stratford, Oklahoma. Ia mengenakan label di lehernya yang menunjukkan biaya pengirimannya melalui pos adalah 18 sen. Anak itu dibawa sejauh 25 mil melalui rute pedesaan sebelum mencapai rel kereta api. Ia menumpang pada petugas pos, berbagi makan siang dengan mereka dan tiba di tempat kerabatnya dalam keadaan baik. Yang menarik, surat kabar tersebut juga memberitakan abu jenazah dikirim melalui jasa pengiriman yang sama.
Seperti halnya pengiriman anak-anak, aturan yang tidak terlalu ketat juga dimanfaatkan untuk mengirimkan abu jenazah. Menurut Lewis, salah satu pengiriman paket yang luar biasa, selain mengirimkan anak-anak, adalah pengiriman paket abu jenazah milik Frederick Naumann yang meninggal di Edwardsville, Illinois. Tak lama setelah meninggal, jenazah Frederick dikirim ke St. Louis untuk dikremasi. Abu jenazahnya diantarkan kepada keluarganya melalui pengiriman paket pos.
Baca juga: Pesawat RI-002 Mengirim Peti Mati ke Filipina
Sementara itu, tidak adanya aturan yang gamblang membahas proses pengiriman anak-anak sebagai paket pos memunculkan pertanyaan. Salah satunya muncul dalam kolom di The New York Times, 17 Januari 1913. “Saya telah berkorespondensi dengan sebuah lembaga di Pa (Pennsylvania, red.) tentang mendapatkan bayi untuk dibesarkan (rumah kami tidak memiliki bayi). Bolehkah saya bertanya kepada anda mengenai spesifikasi yang harus digunakan dalam proses pengiriman (bayi) agar sesuai dengan peraturan dan diizinkan dikirim sebagai paket melalui layanan pos karena perusahaan jasa pengiriman ekspres terlalu berisiko dalam menangani pengiriman paket,” tulis penanya.
Pertanyaan itu dijawab oleh Kepala Pos Hitchcock yang menyebut bahwa aturan mengenai pengiriman makhluk hidup –selain lebah dan serangga yang dilarang untuk dikirim– belum tersedia dalam layanan pos. Oleh karena itu, ia khawatir tidak dapat membantu korespondennya.
Pengiriman anak-anak melalui pos mendorong Michael O. Tunnel membuat buku yang mengisahkan fenomena itu. Buku yang berjudul Mailing May bercerita tentang seorang anak perempuan yang begitu ingin mengunjungi neneknya di luar kota. Sayangnya, orang tuanya tak memiliki cukup uang untuk membeli tiket kereta. Untuk mewujudkan keinginan anaknya, orang tuanya memutuskan untuk mengirim anaknya ke rumah neneknya sebagai paket pos.
Baca juga: Bayi Revolusi Berbaju Sampul Buku
Tunnel menyebut bukunya didasarkan pada kisah nyata. Pada 19 Februari 1914, seorang anak perempuan bernama Charlotte May Pierstorff dikirim oleh orang tuanya dari Grangeville ke Lewiston, Idaho, untuk mengunjungi neneknya. May yang berusia lima tahun diklasifikasikan sebagai anak ayam dan pada bagian belakang mantelnya ditempelkan perangko seharga 53 sen untuk ongkos kirim. Selama perjalanan, May didampingi oleh sepupu ibunya, Leonard Mochel, seorang petugas pos kereta api yang menjaga gerbong surat antara Grangeville dan Lewiston. Setelah tiba di Lewiston, Mochel mengantarkan May kepada neneknya.
Menurut Tunnel pada masa itu tidak ada jalan yang layak untuk melintasi 75 mil medan pegunungan yang terjal antara Grangeville dan Lewiston. Bepergian dengan kereta api –baik sebagai penumpang atau paket– merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan untuk melakukan perjalanan tersebut.
“Tampaknya keputusan untuk mengirim May muncul begitu cepat sehingga tidak ada waktu untuk memberi tahu neneknya. Atau mungkin orang tua May ingin menghindari biaya tambahan untuk mengirim telegram. Bagaimanapun, Mary Vennigerholz tidak tahu bahwa cucunya akan datang, apalagi datang melalui paket pos,” tulis Tunnel.
Seiring berjalannya waktu fenomena tidak biasa itu menuai sorotan dari para pejabat pos AS. Akibatnya, pada 1920, Kantor Pos AS melarang pengiriman anak-anak melalui pos.*