Mengirim Peti Mati
Pesawat RI-002 dari Indonesia mengirim peti mati ke Filipina. Dicurigai petugas di Singapura.
Pada 29 Desember 1947, pesawat Dakota RI-002 milik Bobby Earl Freeberg, mantan pilot Angkatan Laut Amerika Serikat, yang disewa pemerintah Indonesia, mengangkut peti mati dari Yogyakarta menuju Manila, Filipina.
Manifes pesawat RI-002 mencantumkan awak pesawat: kapten pilot Bob Freeberg, navigator Opsir Udara III Petit Muharto Kartodirdjo, operator radio Opsir Udara Muda II Boediardjo, dan juru mesin Letnan I Sunaryo, anggota TNI Angkatan Darat dari Divisi V Ronggolawe Djatikusumo yang dipinjam Angkatan Udara.
Selain mengangkut peti mati, pesawat RI-002 juga mengangkut penumpang antara lain Mayjen TNI Abdulkadir, Opsir Udara II Suyono dan istri, Opsir Udara III Iskandar dan istri, serta 20 siswa penerbang yang akan dilatih di India.
Baca juga: Bobby Earl Freeberg, Pilot Berhati Lembut
Sebagai juru mesin, Sunaryo seharusnya duduk di kokpit, tetapi dia duduk di ruang penumpang bagian depan. Kakinya tidak bisa merentang karena terhalang peti mati yang memenuhi bagian tengah pesawat.
"Dan dari sana pulalah datangnya bau busuk sejak tadi, bau mayat yang rasanya semakin menusuk hidung," kata Sunaryo dalam "Kisah Sebuah Peti Mati Penuh Misteri", yang termuat dalam Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Zaman Singapura 1945–1950.
Bau mayat itu membuat Sunaryo mual ingin muntah. "Bahwa aku tidak muntah, sebenarnya hanyalah karena tak tahu di mana aku harus muntah," kata Sunaryo. “Serba sulit. Maka tak ada jalan lain kecuali bertahan mati-matian."
Baca juga: Utusan Mesir Terdampar di Singapura
Rute penerbangan pesawat RI-002 ditetapkan: Yogyakarta, Pekanbaru, Labuhan, dan Manila. Karena cuaca berkabut, Bob Freeberg tidak menemukan Pekanbaru. Pesawat terpaksa mendarat darurat di Singapura. Petugas setempat mencurigai peti mati dan menyelidikanya.
"Cerita yang kami sampaikan adalah 'itu jenazah seorang pangeran dari Sumatra yang berjuang dan gugur di Jawa'. Mereka percaya dan cerita ini sempat masuk koran-koran Singapura," kata Boediardjo dalam biografinya, Siapa Sudi Saya Dongengi.
Selama dalam penahanan sementara, Boediardjo menggunakan kesempatan itu untuk menjual "barang gelap", yaitu candu. "Saya sendiri membawa barang 'haram' tersebut langsung ke Pecinan di tempat-tempat orang nyeret. Uang hasil penjualan saya serahkan kepada KBRI Singapura sebagai dana perjuangan. Karena memang candu yang kami selundupkan itu 'milik' pemerintah RI. Yang dikemas dalam kaleng-kaleng terpatri dan disembunyikan dalam sebagian rongga-rongga sayap pesawat," kata Boediardjo.
Sementara itu, Sunaryo "ditanam" di Singapura untuk menjadi communication link dalam operasi Muharto. Dia juga ditugaskan mewakili AURI dalam kegiatan klandestin Republik Indonesia di pusat kesibukan penyelundupan di Asia Tenggara itu. Tugasnya mencari peralatan radio untuk membangun sistem komunikasi di Sumatra. Dia menggunakan nama samaran Hasan, karena terlalu umum, diganti Nursyaf.
Baca juga: Candu untuk Revolusi Indonesia
Berbagai cerita sempat berkembang di Singapura seputar peti mati yang misterius itu, baik dalam percakapan sehari-hari maupun di media massa. Ada yang mengatakan, peti mati itu berisi barang selundupan seperti emas dan candu. "Ada pula yang menduga peti itu berisi jenazah Presiden Sukarno, tokoh politik Tan Malaka dan lain-lain," kata Sunaryo.
Beberapa hari kemudian, pesawat RI-002 dibebaskan pihak berwenang Singapura. Para penumpang melanjutkan perjalanan. Sementara pesawat RI-002 dengan awak Bob Freeberg, Boediardjo, dan Muharto, meneruskan penerbangan menuju Manila melalui Labuhan. Di Labuhan, sekali lagi petugas menanyakan kargo peti mati itu.
"Di sini kami memberikan cerita lain, yaitu 'kami datang dari Yogyakarta membawa jenazah seorang pejuang volunteer (sukarelawan) dari Filipina yang gugur di Jawa'," kata Boediardjo. Petugas percaya karena koran Singapura yang memuat cerita "peti mati itu berisi jenazah seorang pangeran dari Sumatra yang berjuang dan gugur di Jawa" belum beredar di Labuhan.
Akhirnya, pesawat RI-002 mendarat selamat di Manila, Filipina. Jadi, jenazah siapakah dalam peti mati itu?
"Peti itu berisi jenazah seorang perwira Filipina, namanya Kapten Igning yang bertugas di Indonesia. Dia ditemukan tewas di kamar Hotel Garuda, Yogyakarta. Jenazahnya dikirim ke Manila untuk diserahkan kepada keluarganya," kata Sunaryo.
Boediradjo mengatakan, betapapun dengan was-was menyerahkan jenazah Kapten Ignacio Espina alias Igning kepada Dinas Intelijen Filipina, "sungguh saya menghargai Petit Muharto yang berani membawa jenazah Igning pulang ke Manila. Sedang kakaknya terbunuh dalam insiden yang amat tragis itu."
Baca juga: Kematian Igning Bikin Indonesia Pening
Kakak Muharto, Kapten Deddy Muhardi Kartodirdjo dari Angkatan Laut, mendampingi Igning melatih Tentara Pelajar dan Tentara Genie Pelajar. Tragisnya, Deddy tewas tertembak oleh Igning ketika berusaha mencegahnya bunuh diri. Igning kemudian bunuh diri karena frustrasi.
Kendati pihak militer Filipina sempat tidak percaya Igning bunuh diri karena frustrasi dan curiga dia dibunuh oleh agen komunis, kejadian tragis ini tidak mengganggu hubungan Indonesia dan Filipina. "Persahabatan dan solidaritas Indonesia-Filipina tetap terjaga," kata Boediardjo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar