GAYA hidup mewah pejabat negara dan keluarganya tengah menjadi sorotan masyarakat. Kebiasaan flexing itu telah mencederai kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Beberapa pejabat pun diperiksa bahkan dinonaktifkan.
Ratusan tahun lalu, gaya hidup mewah dan pamer kekayaan hingga berlomba-lomba tampil glamor dilakukan para pejabat VOC dan masyarakat kelas atas di Batavia.
Willard A. Hanna dalam Hikayat Jakarta menulis, Batavia mencapai puncak kemakmuran dan kejayaan kira-kira pada 1700. Kota yang dijuluki Queen of the East atau Ratu dari Timur itu melebarkan daerahnya sepanjang terusan Molenvliet baru ke arah daerah-daerah pedalaman yang dibangun dalam waktu singkat dengan rumah-rumah besar, taman-taman bagi golongan elite, dan permukiman-permukiman berkelompok yang lebih sederhana bagi orang Eropa, Indo, dan Asia.
Kebiasaan hidup mewah telah melekat dalam kehidupan para pejabat VOC maupun orang-orang Eropa di Batavia. Pejabat Kompeni dan orang-orang Eropa terkaya cenderung ingin memiliki tempat tinggal menyerupai rumah-rumah terbaik di negara asalnya, dehingga area di tepi kanal kerap jadi pilihan untuk membangun rumah karena lebih nyaman dan bergengsi.
Baca juga: Batavia dalam Litografi karya J.W. Heydt
Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun menyebut bahwa Kanal Harimau, yang pada masa awal Batavia dianggap sebagai kanal terbaik, menjadi tempat yang dipilih oleh orang-orang Batavia terkaya sebagai tempat tinggal. Selain itu, orang Eropa juga menyukai area terbuka di depan setiap rumah. Karena tidak ada halaman depan, rumah-rumah itu memiliki serambi di bagian depannya yang dipisahkan dari trotoar dengan pagar, tempat mereka duduk di pagi dan sore hari yang sejuk untuk merokok dengan cangklong atau minum anggur.
Gaya hidup komunitas elite di Batavia, menurut Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII, dapat terlihat dari tiga hal: kebiasaan bepergian dengan kereta kuda atau bendi Eropa, upacara pernikahan mewah, dan upacara penguburan mewah. Menariknya, tak hanya orang Eropa dan pegawai Kompeni yang wara-wiri dengan kereta kuda, warga non-Eropa yang berduit lebih dan terpandang juga tak ingin ketinggalan memiliki kereta kuda yang lazim digunakan warga Eropa.
“Penggunaan kereta kuda memang hanya untuk kalangan terbatas di zaman itu. Bahkan, kereta milik pemerintah juga hanya dipergunakan dalam kesempatan khusus, yang antara lain dimaksudkan untuk membuat kagum para diplomat Asia ketika itu,” tulis Niemeijer. Contohnya, pada 1653 utusan Kerajaan Mataram dibuat terpana ketika dijemput dari tempat penginapan untuk dibawa ke kastel menggunakan kereta kuda Eropa.
Menurut Niemeijer, pada paruh pertama abad ke-17, pamer kemewahan di depan umum hanya khusus dilakukan oleh kelompok elite Kompeni, seperti terlihat pada momen penguburan istri Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker dan penjemputan pengantin istri barunya. “Fungsi utama pergelaran kemewahan masih terkait peristiwa resmi,” sebut Neimeijer.
Baca juga: Pergi ke Gereja pada Masa VOC
Seiring berjalannya waktu, pola hidup mewah dan pamer kekayaan menyebar di kalangan warga Batavia. Bukan hal aneh bila melihat perempuan Eropa pergi ke gereja mengenakan pakaian atau aksesoris berbahan sutra maupun satin tenunan bermotif dengan tepian berhias emas. Seakan belum cukup, mereka juga memenuhi tubuhnya dengan perhiasan, serta diiringi rombongan budak dengan beragam tugas seperti membawa payung, membawa tempat sirih, mengangkat rok nyonya besar, membantu nyonya besar naik ke dalam kereta, serta menjadi pengawal.
Selain itu, dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, Mona Lohanda menyebut kebiasaan pamer kemewahan juga dilambangkan dalam pemakaian payung yang terpengaruh kehidupan feodal penguasa pribumi. Pameran kekayaan memicu persaingan di antara pejabat VOC dengan penduduk sipil Batavia, yang dikenal dengan sebutan burger dan umumnya berniaga.
“Merasa tersaingi, beberapa gubernur jenderal mengeluhkan situasi ini, bahkan ada yang mengatakan bahwa dari penampilan seperti itu sulit dibedakan siapa yang anggota Dewan Hindia dan siapa yang sebetulnya pemilik rumah losmen,” tulis Mona.
Baca juga: Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker
Gubernur Jenderal Rijcklofs van Goens (menjabat 1678–1681) pun pernah mencoba untuk membatasi cara berpakaian yang berlebihan penduduk Batavia pada Juli 1680. Maksud pembatasan ini agar hanya pejabat tinggi VOC dan keluarganya yang berhak memakai model dan jenis pakaian serta perhiasan tertentu.
Sebelumnya, menurut Niemeijer, pada 1666 Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker meminta anggota Dewan Hindia untuk merundingkan di antara mereka sendiri tentang apa saja yang harus dikelompokkan sebagai barang mewah dan langkah-langkah apa yang harus diambil terkait barang-barang mewah itu.
“Yang dimaksud barang mewah antara lain busana mahal dan perhiasan yang sering dipakai dan dipertontonkan para warga yang sebenarnya di luar batas kemampuan mereka. Begitu juga pesta makan berlebihan, pesta pernikahan berlebihan, berbendi ria yang semakin sering dilakukan, serta berpayung sutra yang sering dilakukan warga perempuan –semuanya sebenarnya terlalu mahal dan tidak terjangkau bagi warga biasa,” sebut Niemeijer.
Baca juga: Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati
Gubernur Jenderal Jacob Mossel (menjabat 1750–1761) kemudian memberlakukan peraturan tentang pembatasan kebesaran dan kemegahan atau Reglement ter beteugeling van pracht en praal. Peraturan ini menyatakan dengan jelas apa saja yang boleh dan tidak boleh dimiliki orang Eropa semua kalangan. Contohnya, hanya kereta kuda gubernur jenderal yang memiliki enam ekor kuda, tidak ada pejabat yang boleh melebihi hak istimewa ini, termasuk jenis payung serta perhiasan yang boleh dikenakan.
Peraturan itu juga mengatur dengan tegas macam-macam perhiasan, busana, topi hingga berapa banyak budak yang boleh dibawa saat menghadiri suatu pertemuan atau perhelatan. Leonard Blussé dalam Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC menulis bahwa peraturan itu diatur menurut pangkat dan kedudukan masing-masing penduduk.
Meski begitu, menurut Mona, aturan itu tidak berlangsung lama. Sejalan dengan gejala keruntuhan VOC, aturan penyeragaman penampilan diri itu dibatalkan oleh Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting pada Desember 1795. Pada akhirnya upaya mengatasi masalah gaya hidup mewah penduduk Batavia tak sekadar mengerem hasrat pamer kekayaan, tapi lebih untuk melindungi kedudukan dan kekuasaan istimewa kelompok elite kulit putih, khususnya para elite Kompeni.*