Pergi ke Gereja pada Masa VOC
Orang-orang VOC berpenampilan mewah setiap pergi ke gereja. Ditegur oleh para pendeta agar menjalankan hidup sederhana.
Sebuah gereja menjulang tinggi. Tujuh jendela besar tampak pada bagian muka bangunannya. Tanah lapang di sekitarnya penuh dengan orang. Para budak, pembesar dan pegawai Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), dan orang-orang mardjikers atau budak yang dimerdekakan baru selesai beribadah pada hari Minggu.
Suasana itu terekam dalam lukisan karya J. Nieuhof pada 1704. Lukisan itu menangkap suasana di Gereja Salib (Kruiskerk) umat Protestan (Reformasi) termegah pertama di dalam tembok kota Batavia pada 1640-an. Tak lama berselang setelah gereja itu dibangun.
Sebelumnya, umat Protestan di Batavia beribadah di salah satu gudang VOC pada 1621. Kemudian gereja sederhana beratap rumbia digunakan untuk ibadah sejak 1625. Selepas itu, Van Diemens, Gubernur Jenderal VOC, membangun Kruiskerk sebagai gereja utama di Batavia pada 1640-an. Nama Kruiskerk mengacu pada denah dasar bangunannya. “Merupakan salib dan keempat ‘tangannya’ sama panjang,” ungkap Adolf Heuken dalam Sejarah Jakarta dari Masa Prasejarah sampai Akhir Abad ke-20.
Kruiskerk semula selalu ramai. Pegawai dan pembesar VOC ke sana saban hari Minggu. Lengkap dengan istri dan budak-budaknya. Bukan hanya untuk beribadah, tetapi juga menonjolkan kekayaannya.
Baca juga: Umat Protestan dalam Cengkeraman VOC
“Pada paruh kedua abad ke-18 ibadah hari Minggu bagaikan pertunjukan teater,” sebut Adolf Heuken dalam Gereja-Gereja Tua di Jakarta. Rombongan para pembesar dan pegawai VOC menggunakan pakaian berbahan sutra, beludru, satin, linen, kain songket, lurik, cindai, dan tegarun.
Kalung mutiara melingkar di leher para istri pembesar VOC. Budak-budak membawa payung besar untuk tuannya. Mengutip catatan Nicolaus de Graaff, seorang dokter kapal dagang, Heuken menyebut penampilan rombongan itu bertolak belakang nian dengan ucapan mereka tentang kesederhanaan.
“Aneh benar, bahwa orang yang semestinya menghukum dan melarang orang yang bersifat sombong dan berlebihan ini, bahkan membiarkan anak istri mereka melebihi orang lain dalam kesombongan yang gila itu,” catat De Graaff.
Penampilan para rombongan itu mendapat teguran dari Dewan Gereja, lembaga penaung umat Protestan di Batavia. “Supaya jangan mempertontonkan kemewahan waktu menghadiri ibadat,” terang Heuken. Tapi rombongan itu kerap mengabaikan anjuran Dewan Gereja. Selama masa itu, VOC mengatur penuh seremonial ibadat hari Minggu di gereja.
VOC menempatkan tentara di depan pintu gerbang gereja. Hanya orang berpakaian pantas saja yang boleh masuk. Posisi duduk peserta ibadat pun ditentukan berdasarkan pangkat dan posisinya dalam masyarakat. Jemaat lain sering muak dengan tontonan dan aturan semacam itu. Mereka menganggap pembesar dan pegawai VOC tak menghormati gereja dan menjalankan ajaran agamanya secara sembrono.
Baca juga: Masuknya Kristen di Indonesia
Khotbah para pendeta berulang kali berisi tentang anjuran hidup sederhana untuk menyinggung para pembesar dan pegawai VOC. Khotbah sebermula hanya menggunakan bahasa Belanda. Tapi lama-kelamaan, khotbah disampaikan pula dalam bahasa Portugis. Penggunaan bahasa ini dianjukan oleh para pendeta ke VOC untuk mengerek pertumbuhan umat Protestan. Sebab selama hampir 20 tahun, jumlah umat Protestan tak bertambah banyak.
Penyebab utama seretnya pertumbuhan umat Protestan di Batavia lantaran VOC kurang mendukung penyebarannya. Mereka mengatur gereja hingga ke bahasa penyampai khotbahnya. Padahal tak semua orang di dalam tembok kota Batavia memahami bahasa Belanda. Sebagian besar mereka enggan masuk Protestan karena kendala bahasa.
Kebijakan ini berubah setelah VOC melihat pentingnya menjauhkan pengaruh Katolik di dalam tembok kota. Permusuhan VOC kepada orang-orang Katolik lebih berpangkal pada kepentingan politik dan ekonomi ketimbang inti ajarannya. Sebab penganut Katolik berkebangsaan Portugis atau bekas budak orang Portugis. Bangsa ini merupakan lawan dagang dan politik VOC.
VOC menjanjikan orang-orang tersebut hidup aman dan kemerdekaannya asalkan mereka mau memeluk agama Protestan. Mereka tak punya pilihan selain menerima tawaran itu. “Mereka hampir semua menjadi orang Protestan,” terang Heuken.
Karena itu, jumlah umat Protestan pun mulai bertumbuh. Para bekas budak orang Portugis yang menganut Protestan kemudian dimerdekakan (mardjikers). Untuk mengakomodasi kebutuhan ibadat mereka, VOC setuju pendeta gereja memberikan khotbah dalam bahasa Portugis.
Selain bahasa Portugis, VOC juga mengizinkan pendeta gereja memberikan khotbah dalam bahasa Melayu. Ide ini berasal dari lelaki bernama Meester Cornelis Senen, seorang kaya dari Pulau Lontar di NTT. Dia diasingkan ke Batavia pada 1621. Dia penganut Protestan taat dan bersemangat menyebarkan Protestan ke orang-orang tempatan berbahasa Melayu.
Senen pandai bercakap dalam bahasa Melayu. Dia juga memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran Protestan hingga mengundang pujian dari pendeta Belanda. Sebagai kepala Kampung Banda, Senen berhubungan dengan banyak orang dari Kepulauan Timur Hindia. Dia memikat banyak orang memeluk Protestan. Karena itulah, dia menyampaikan usulan agar gereja menggunakan khotbah dalam bahasa Melayu.
Selama menjalani ibadat Minggu pada abad ke-17, umat Protestan hanya mendengarkan khotbah dan menyanyikan mazmur. Jam khotbah dan pakaian pendeta ditentukan seperti di Eropa. Mereka memakai mantel tebal sehingga gampang kegerahan mengingat cuaca tropis Batavia. Sedangkan orgel baru masuk gereja pada abad ke-18.
Memasuki abad ke-18, ibadat dibagi dalam beberapa waktu berdasarkan bahasa khotbahnya: Belanda pagi, Portugis dan Prancis siang, Melayu sore hari. Serentang masa ini, orang-orang Protestan dari Depok rela berjalan kaki selama enam jam untuk beribadat ke Batavia. Depok tumbuh sebagai wilayah Protestan atas prakarsa seorang tuan tanah kaya nan taat bernama Cornelis Chastelein.
Baca juga: Depok, Tanah Warisan Saudagar VOC
Chastelein mantan pegawai VOC yang sangat kecewa dengan perilaku orang-orang VOC dalam berdagang dan beragama. Sebagai bentuk kritiknya, dia mencoba membuat komunitas idealnya di Depok, 32 kilometer dari tembok kota Batavia. Penganut Protestan di Depok berasal dari budak-budak Chastelein yang dimerdekakan.
Tapi Depok saat itu belum punya gereja sendiri. Karena itu, mereka masih harus ke Batavia untuk beribadat Minggu. Semangat mereka kontras dengan keadaan gereja saat itu. Jemaat gereja berkurang drastis dari masa sebelumnya. Sebab, Dewan Gereja melarang keras pamer kekayaan selama ibadat seperti membawa payung, berpakaian berlebihan, dan menggunakan perhiasan.
Masa ini, VOC agak mengendurkan kendalinya atas gereja sehingga aturan tersebut bisa berlaku. Tapi larangan itu berdampak pada jumlah jemaat. “Pada tahun 1729, wanita Indo dilarang berjalan di bawah payung, sehingga mereka enggan pergi ke gereja,” terang Heuken.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar