MASIH mengenakan jubah penobatan dan Mahkota St. Edward, Raja Charles III melangkah keluar balkon Istana Buckingham, London, Sabtu (6/5/2023) petang. Dengan ditemani istri keduanya, Permaisuri Camilla, Charles III melambaikan tangan menyapa ribuan masyarakat di luar pagar yang menyambut hangat sang raja baru.
Charles resmi menyandang status sebagai penguasa monarki Inggris Raya kelima dari Dinasti Windsor usai dinobatkan di Gereja Westminster Abbey pada paginya. Ia sudah memilih untuk tetap menggunakan nama “Charles III” sejak ibunya, Ratu Elizabeth II, wafat pada 8 September 2022.
Kendati mendapat sambutan hangat, tak sedikit elemen masyarakat yang masih terus menyuarakan pembubaran monarki atau setidaknya menolak Charles menjadi raja. Mereka lebih menginginkan putra sulungnya, Pangeran William, yang melanjutkan takhta. Toh sejak lama ia jadi “media darling” media-media Inggris dalam konteks negatif.
Baca juga: Ratu Elizabeth II yang Dihujat dan Dicinta
Kendati bukan sosok paling populer di kalangan keluarga kerajaan, Charles sering “dirujak” media-media Inggris lewat berbagai isu. Mulai dari hubungan pribadinya dengan banyak perempuan di masa muda, perlakuannya terhadap Putri Diana, hingga isu turut campur dalam politik. Sebagai anggota keluarga kerajaan, dia mestinya berada di atas politik.
“Dari waktu ke waktu selalu ada gerakan anti-monarki yang besar. Tetapi ia tak seperti ibunya yang ibarat membangun tembok tinggi dengan tidak komplain atau memberi pernyataan. Charles tidaklah seperti itu. Dia justru berpotensi melakukan banyak perubahan,” kata Tom Jennings, sutradara dokumenter Charles: In His Own Words (2023), kepada koresponden Latino Review Media Nancy Tapia via daring di Youtube LRM Online yang diunggah 29 April 2023.
Memang sah-sah saja membenci atau tidak menyukai Charles, tambah Jennings. Namun bukan berarti masyarakat tak memberinya kesempatan untuk melakukan perubahan sebagai raja di usia 74 tahun. Terlebih, Charles punya beban untuk menjembatani era lama monarki yang sudah dijalani mendiang ibunya dan kelak era baru jika tongkat estafetnya sudah diteruskan putra tertuanya, Pangeran William.
“Dari yang saya pelajari di berbagai arsip masa mudanya sebagai ‘pangeran pemberontak’, dia akan bisa mengubah banyak hal. Mungkin dalam lima tahun kita akan melihat perubahan radikal karena dia orang yang cerdas dan perhitungan. Dia akan melakukan perubahan sedikit demi sedikit dan nanti ketika kita melihat ke belakang, kita akan melihatnya tanpa kita menyadari perubahan telah terjadi,” lanjutnya.
Baca juga: Konflik Keluarga Kerajaan dalam Perang Dunia
Tempaan Mental Baja dan Belahan Jiwa
Ditemani Camilla, Charles merapat ke sebuah meja untuk menandatangani buku tamu di Kastil Hillsborough, Irlandia Utara, pada 13 September 2022 semasa duka wafatnya Ratu Elizabeth II. Sialnya baginya, momen “biasa” itu menjadi luar biasa dan viral karena kamera menangkap momen Charles dibuat frustrasi oleh pena bocor yang hendak digunakannya menandatangani buku tamu itu.
“Oh Tuhan, saya benci (pena) ini!” kata Charles ketus.
Camilla mendekati suaminya yang misuh-misuh itu. Dia lantas mencoba sendiri menggoreskan pena ke buku tamu tadi.
“Oh lihat, (tintanya) ke mana-mana,” Camilla ikut kesal.
Charles makin bersumpah-serapah. “Saya tak tahan dengan hal begini, apa saja yang mereka lakukan setiap waktu,” ujarnya.
Baca juga: Nasib Tragis Raja Inggris yang Dimakzulkan
Pena malfungsi semacam itu mungkin jadi hal lumrah jika dialami orang biasa. Tetapi ketika Charles –yang masih dirundung duka– mengalaminya, media-media Inggris tak melewatkan kesempatan memviralkannya ke seantero dunia.
Rekaman itu turut dipakai Jennings di pembuka dokumenternya. Satu dari sekian rekaman momen baru itu dikombinasikan dengan banyak dokumentasi lawas. Sekitar 40 persen arsip lama dan dokumentasi yang belum pernah diungkap ke publik itu hanya untuk menggambarkan bahwa sosok “paling” berkuasa di dunia itu juga punya sisi manusiawi.
Charles Philip Arthur George lahir di Istana Buckingham pada 14 November 1948 ketika kakeknya, Raja George VI, masih berkuasa. Ia putra sulung dari tiga bersaudara pasangan Putri Elizabeth dan Pangeran Philip.
Baca juga: Kisah Plakat Pelantikan Raja George VI
Sadar bahwa Charles kelak akan jadi putra mahkota, Philip mendidik Charles kecil dengan keras, sejak dikirim ke Sekolah Gordonstoun di Skotlandia pada 1962 hingga sekolah alam liar Timbertop di Australia pada 1973. Semua itu hanya untuk membuat Charles memiliki karakter dan mental baja.
Di Gordonstoun, Philip mewanti-wanti kepala sekolah Robert Chew untuk tidak memperlakukan Charles dengan istimewa, kendati ia calon putra mahkota. Alhasil, Charles justru acap jadi korban bullying teman-teman satu sekolahnya. Tak hanya secara verbal melainkan juga perundungan fisik.
Lantaran ibunya, Ratu Elizabeth II, sibuk dengan urusan negara, Charles pun hanya bisa mengadu pada neneknya, ibu Ratu Elizabeth yang tinggal di Birkhall, tak jauh dari sekolahnya. Sang nenek acap prihatin tapi Philip bersikeras.
“Setidaknya dia (Charles) belum kabur dari sekolah,” kata Philip, dikutip Ingrid Seward dalam Prince Philip Revealed.
Baca juga: Putra Mahkota yang Terbuang
Kendati Charles tak pernah mengeluh di depan ayahnya, tetap saja ia dianggap belum menjadi laki-laki sejati setelah lulus dan beranjak dewasa oleh Philip. Philip pun mengirim Charles ke sekolah Timbertop di pedalaman Australia.
“Di sana ada sebuah danau dan kami diceburkan. Pilihannya antara bertahan dengan berenang atau mati tenggelam,” kata Charles dalam sebuah rekaman lawas yang disematkan di dokumenter tersebut.
Baru setelah Charles lulus, ayahnya merasa bangga. Jiwa petualang Charles terus menggelora. Pasca-dinobatkan dengan gelar Prince of Wales, Charles meretas karier militer dengan menjadi pilot helikopter di sekolah penerbang Angkatan Laut Inggris RNAS Yeovilton pada kurun 1972-1973. Ia lantas bertugas sebagai pilot heli di Skadron Udara AL ke-845 yang berbasis di kapal induk HMS Hermes.
Baca juga: Kunjungan Ratu Elizabeth II ke Indonesia
Selepas pensiun dengan pangkat letnan kolonel pada 1976, Charles mendirikan yayasan amal Prince’s Trust di tahun yang sama dengan bermodalkan uang pensiunan dari dinas AL. Salah satu program yang memberi pengaruh positifnya adalah program latihan kerja bagi satu juta pengangguran muda Inggris.
“Sejak dulu saya pernah mendengar Prince’s Trust tapi sebelum mendapatkan banyak arsip tentang dia, mulanya saya tidak tahu bahwa sejak 1976 mereka memberikan latihan kerja pada sejuta orang muda. Bahkan jika 10 persennya saja sudah akan berpengaruh besar secara positif bagi kehidupan ratusan ribu orang. Well, meski banyak yang tidak suka dengannya, niat baik itu tetap harus dipuji,” sambung Jennings.
Dalam kehidupan pribadinya, seperti para aristokrat kebanyakan, Charles pun dekat dengan banyak perempuan. Ketika mulai beranjak dewasa dan mestinya sudah mulai menetapkan pilihan calon istri sah, Charles justru jadi petualang cinta gegara terpengaruh kakek pamannya, Lord Mountbatten.
“Lord Mountbatten menyarankannya untuk berhubungan sebanyak mungkin sebelum melepas lajang. Maka Charles pun punya hubungan dengan sejumlah perempuan. Mereka yang pernah jadi pacar di antaranya Georgiana Russell (putri duta besar Inggris untuk Spanyol, Sir John Russell), Davina Sheffield, Lady Sarah Spencer (kakak Diana Spencer/Putri Diana, red.), serta Camilla Shand yang kelak jadi istri keduanya,” ungkap Gyles Brandreth dalam Charles and Camilla: Portrait of a Love Affair.
Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Pelukan Hitler
Camilla Rosemary Shand, yang lahir pada 17 Juli 1947, punya darah bangsawan dari garis ibunya, Rosalind Cubitt, putri dari Baron Ashcombe ke-3 Roland Cubitt. Sementara ayah Camilla, Bruce Shand, veteran Angkatan Darat Inggris di masa Perang Dunia II berpangkat mayor yang lantas jadi pebisnis minuman anggur.
“Dia dan Camilla sudah berpacaran sejak 1970 ketika mereka masih lajang. Mereka punya hubungan yang intim sebagaimana anak muda pada umumnya. Dan karena ada semacam aturan tak tertulis bahwa calon istri pangeran harus perawan, Camilla takkan bisa menjadi calon ratu meskipun dia dinikahi Charles,” sambung Jennings.
Kendati sudah menjadi soulmate, Charles dan Camilla tak bisa bersatu. Pada 1973, Camilla dipinang Letkol Andrew Parker Bowles. Sedangkan Charles dipertemukan dengan Diana Spencer, adik dari teman dekatnya, Sarah Spencer.
“Bayangkan jika aturan tak tertulis itu tak pernah ada, pasti mereka sudah menikah sejak 1970-an dan kita takkan mengenal Putri Diana. Tetapi mereka tidak bisa bersama dan pasangan belahan jiwa itu menjadi korban dari sistem Istana. Meski kita lihat 53 tahun kemudian mereka akhirnya menikah dan dia (Camilla) menjadi ratu,” lanjutnya.
Baca juga: Liku Langkah Menuju Takhta
Charles lantas menikahi Diana pada 29 Juli 1981. Tetapi di balik itu, toh Charles kembali menyambung tali asmara terlarangnya dengan Camilla pada 1986. Pada 1995, Camilla berpisah dengan suaminya dan Charles bercerai dengan Diana.
“Well, terdapat tiga orang dari kami dalam pernikahan ini. Jadinya lebih sesak di dalamnya,” tutur Putri Diana berkeluh kesah saat diwawancara program televisi BBC, “Panorama”, yang ditayangkan pada 20 November 1995.
Charles dan Camilla tetap menjalin hubungan hingga akhirnya pertalian mereka diresmikan. Pernikahan formal mereka digelar secara sipil, bukan oleh gereja pada 9 April 2005.
Seperti yang disaksikan ribuan masyarakat di luar Istana Buckingham, adalah Camilla yang turut dinobatkan sebagai permaisuri, meski status putra mahkotanya tetap dipegang Pangeran William, putra sulung Charles dan Putri Diana. Camilla ikut dinobatkan dan menyapa publik dengan jubah penobatan permaisuri dan Mahkota Ratu Mary.