Masuk Daftar
My Getplus

Reformis Itu Bernama Mangkunegara VI

Sosok visioner dan inovatif dalam memulihkan kondisi ekonomi yang sekarat. Dicintai rakyat, bukan ditakuti.

Oleh: Randy Wirayudha | 29 Nov 2021
Pura Kadipaten Mangkunegaran (kemdikbud.go.id/puromangkunegaran)

PEREKONOMIAN negeri berdarah-darah. Ratusan juta rakyat tertatih-tatih menyambung hidup di tengah pagebluk yang melanda sejak 2020. Meski begitu, masyarakat, terutama para pemimpin, negeri ini tak pernah kehabisan sumber inspirasi untuk bangkit dan keluar dari krisis. Salah satu teladan itu adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VI.

“KGPAA Mangkunegara VI berhasil melaksanakan reformasi dari situasi bangkrut karena tenggelam dalam utang kepada Belanda menjadi terlunasi, bahkan mencapai surplus. Stabilitas perekonomian meningkat sehingga standar hidup masyarakat mulai membaik. Kisah ini sangat menginspirasi di saat kita masih berjuang memulihkan ekonomi pascapandemi COVID-19,” tutur Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka dalam sambutannya pada “Virtual Talk Show: The Game Changer ala Mangkunegoro VI”, Minggu (28/11/2021) petang.

Diskusi daring yang dihelat Penerbit Buku Kompas di platform Zoom dan Youtube itu dihelat untuk memperingati 125 tahun penobatan Raden Mas Suyitno menjadi penguasa Kadipaten/Praja Mangkunegaran bergelar Mangkunegara VI pada 21 November 1896. Diskusi juga dibuat dalam rangka peluncuran buku Mangkunegara VI Sang Reformis: Sebuah Biografi, karangan tim penulis komunitas History Inc.

Advertising
Advertising

Baca juga: Awal Modernisasi Perekonomian Mangkunegaran

Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka (Tangkapan Layar Zoom/Youtube Penerbit Buku Kompas)

Mangkunegaran sempat jaya di masa KGPAA Mangkunegara IV (1853-1881). Namun  perekonomiannya menukik tajam ketika putranya, Mangkunegara V (1881-1896), bertakhta. Keuangan Mangkunegaran sekarat. Selain disebabkan oleh resesi ekonomi global dan rusaknya pertanian karena hama, kemerosotan ekonomi itu juga gegara blunder-blunder pengelolaan keuangan.

Ketika Mangkunegara VI –anak dari Mangkunegara IV dengan permaisuri Raden Ayu Dunuk– naik takhta menggantikan sang kakak, figur kelahiran 1 Maret 1857 itu menggalakkan reformasi pada banyak aspek kehidupan di Pura Mangkunegaran. Selain kebijakan keuangan, yang direformasi Mangkunegara VI adalah bidang pendidikan hingga kebudayaan (tata krama dan fesyen).

“Banyak nilai pelajaran yang kami sarikan, ialah tidak terbelenggu waktu buat kebijakan yang membangun hati dan otak, serta kebijakan ‘ngewongke’. Kebijakan ekonominya sederhana, memanfaatkan, memotong biaya yang tidak perlu. Secara elok memisahkan urusan pribadi dan praja. Praja menjadi efisien dan efektif. Di masa itu juga bermunculan sekolah, pendidikan menghilangkan sekat SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan, red.). Mangkunegara VI adalah role model moral,” kata Koordinator Trah Mangkunegara VI, Kanjeng Raden Mas Haryo Danisworo.

Baca juga: Kerajaan Bisnis Mangkunegara IV

KRMH Danisworo (Tangkapan Layar Zoom/Youtube Penerbit Buku Kompas)

Sebagaimana diungkap buku Mangkunegoro VI Sang Reformis dan banyak sumber tertulis lain, Mangkunegara VI melakukan gebrakan di luar kebiasaan para pendahulunya. Gebrakannya tidak hanya menyasar internal praja tapi juga ke dalam hubungannya dengan pemerintah Hindia Belanda.

“Saya terkesan sekali dengan Mangkunegara VI. Dia banyak tidak setuju dengan kebijakan Belanda. Padahal, ia dan permaisuri digaji oleh pemerintah kolonial. Saya membayangkan seperti sekarang, kalau IMF dan Bank Dunia terus merangsang kita supaya utang, pemerintah Belanda juga dulu terus memikirkan bagaimana caranya (Mangkunegaran) terus utang. Mangkunegara VI pemimpin yang bukan hanya bisa, tapi mau. Mau itu penting daripada sekadar bisa. Bisa kalau ‘emoh piye? Ora kelakon’,” ujar budayawan Krisnina Maharani alias Nina Akbar Tandjung.

Gebrakan penting Mangkunegara VI yang disoroti Nina adalah dalam hal pendidikan. Pada masa pemerintahannya, beberapa sekolah didirikan. Yang terpenting, Mangkunegara VI membangun sekolah untuk kaum perempuan, Siswa Rini. Itu merupakan sekolah “ongko loro” di halaman istana khusus putri. Sekolah itu berdiri hingga 1923 sebelum ditutup dan digantikan Huishoud Cursus Siwa Rini.

“Seperti (Raden Ajeng) Kartini yang di umur belasan tahun pikirannya sudah progresif, anti-feodal, dan yang dipikirkan tentang pendidikan perempuan, dilakukan Mangkunegara VI. Kepedulian akan perempuan yang dirintis Mangkunegara VI lewat sekolah efeknya terasa sampai sekarang. Perempuan Jawa itu kudu ubed, bisa gerak, bisa gesit,” sambung founder Rumah Budaya Keratonan tersebut.

Baca juga: Pendidikan, Fondasi Kemajuan Mangkunegaran

KGPAA Mangkunegara IV (kiri) & KGPAA Mangkunegara V (puromangkunegaran.com)

Antitesis Gaya Hidup Ekstravaganza

Apa yang dilakoni Mangkunegara VI tidak lahir dari gagasan yang tiba-tiba. Ia merupakan hasil observasi turun ke bawah (turba) yang dilakukan Mangkunegara VI di wilayahnya hingga ke pesisir utara dan selatan Jawa.

“Sebelum beliau menjadi raja, dia mengadakan perjalanan dinas dengan keretaapi keliling Jawa dari pantai utara, pulang lewat pantai selatan. Ia juga sempat pergi ke Buitenzorg (kini Bogor) ke kantor gubernur jenderal. Dia melihat: ‘wah rakyatku yang jongos-jongos makannya cuma bonggol pisang,’” sambung Nina.

Sementara, kaum elit, terutama para priyai di Jawa maupun luar Jawa, gaya hidupnya masih ekstravaganza. Mereka tak memberi teladan di masa prihatin. Soal itu, menurut sejarawan Universitas Indonesia Dr. Bondan Kanumoyoso, tak lepas dari kepentingan politis.

Baca juga: Mangkunegaran Bangkit dari Kondisi Keuangan yang Sakit

Krisnina Maharani alias Nina Akbar Tandjung (Tangkapan Layar Zoom/Youtube Penerbit Buku Kompas)

Bondan mengatakan, di setiap keraton, termasuk di luar Jawa, punya kebiasaan menunjukkan status dan legitimasi politik ketika mengadakan ritual atau menjamu tamu. Seperti yang dilakukan Mangkungaran V yang tetap mengeluarkan banyak biaya untuk ritual atau pesta meski kondisi keuangan tengah sekarat.

“Sikap hidupnya beliau (Mangkunegara VI) efisien ya. Bukan hemat atau pelit. Langkah-langkahnya memang tidak populer di antara bangsawan tapi itulah yang menjadi kunci kebesaran beliau. Justru sebenarnya gaya hidup ekstravaganza itu ditiru oleh Belanda dari bangsawan dan kaum feodal di Indonesia, terutama di Jawa. Sikap hidup boros yang membuat Mataram memerlukan wilayah luas dan pajak yang besar. Ini menjadi bom waktu. Sementara pendatang saat itu, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie/Kongsi Dagang Hindia Timur) adalah perusahaan yang efisien,” ungkap Bondan.

Baca juga: Belanda Mabuk Kena Getahnya di Mangkunegaran

Bondan merujuk pada laporan perjalanan utusan VOC, Rijckloff van Goens, berjudul “Reijsbeschrijving van den weg uijt Samarangh nae de Konincklijke hoofdplaets Mataram, mitsgaders de zeeden, gewoonten ende regeringe van den Sousouhounan, groot machtigste koningk van ‘t eijlant Java” bertarikh 1648. Van Goens sampai syok melihat jamuan makanan melimpah Susuhunan Amangkurat I walau hanya dikonsumsi segelintir orang. Itu sangat berbeda dari kultur efisien VOC di masa awal.

“Daging ditumpuk-tumpuk luar biasa banyaknya setinggi orang berjongkok. Ini suatu sikap pemborosan yang saat itu tidak dia (Van Goens) kenal di kalangan orang Eropa. Sementara VOC perusahaan yang efisien karena mereka tahu kunci sebuah institusi atau kerajaan salah satunya efisiensi. Melihat gaya hidup penguasa lokal itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemodernan yang dibawa VOC,” imbuhnya.

Sejarawan UI, Dr. Bondan Kanumoyoso (Tangkapan Layar Zoom/Youtube Penerbit Buku Kompas)

Gaya hidup mewah para raja, lanjut Bondan, pada gilirannya ditiru para bangsawan lebih rendah. Bupati pun gemar pamer kemewahan. Bondan merujuk pada Diamonds are a Regent’s Best Friend: Javanese Bupati as Political Entrepreneurs karya sejarawan Belanda L.W. Nagtegaal.

“Jadi dia mengatakan gaya hidup para bupati di pantai utara Jawa luar biasa mewah. Senang sekali menunjukkan wibawa di depan orang banyak yang enggak perlu, sebenarnya. Karena wibawa dan kharisma bukan hanya ditunjukkan dengan penampilan tapi juga dengan kemampuan dia melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Karena nilai-nilai itu begitu dominan, terutama di Jawa. Nah, Mangkunegara VI ini beda sekali karena dia melihat justru di situlah permasalahannya,” tambah Bondan.

Baca juga: Pembaruan di Mangkunegaran

Menengok “penyakit” itu, maka Mangkunegara VI mengeluarkan banyak kebijakan yang dianggap tak populer di kalangan elit. Ketika sudah berhasil mengangkat Mangkunegaran keluar dari jurang kebangkrutan, ia memilih mundur.

“Kalau beliau bersikeras, bisalah. Tapi ini seperti keputusan yang diambil (Presiden) Sukarno ya, ketika 1965. Memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu untuk menolak pemerintahan yang baru, menerima jadi tahanan rumah meskipun kalau beliau melawan juga banyak yang akan mendukung, dan saya kira bisa terjadi sesuatu yang enggak bisa kita bayangkan,” katanya.

Sosok KGPAA Mangkunegara VI yang bertakhta pada periode 1896-1916 (Tropenmuseum)

Gaya rasional kepemimpinan Mangkunegara VI yang lebih maju dari zamannya dianggap tidak cocok dengan nilai-nilai Jawa saat itu. Akibatnya, konflik internal di Mangkunegaran pun mengekor. Mangkunegara VI memilih mundur untuk menghindari perpecahan.

“Saya kira inilah kebesaran Mangkunegara VI. Berkorban demi sesuatu yang lebih besar, tidak menganggap dirinya yang utama. Yang utama adalah kepentingan masyarakat. Jika tidak, mungkin, mohon maaf, cerita tentang Kasunanan (Surakarta) akan terjadi lebih awal. Tapi beliau dengan visinya yang luar biasa, kita bisa melihat ia juga menjadi sosok yang besar seperti Sukarno,” ujar Bondan.

Lepas takhta, Mangkunegara VI kembali hidup ugahari di tengah-tengah rakyatnya dengan menjadi wirausaha. Warisan akan kebijakan-kebijakannya, walau bukan berupa warisan fisik, tetap membuatnya dicintai rakyat sampai akhir hayat.

“Inilah warisan kepemimpinan yang nilai-nilainya tak terkira yang akan selalu menjadi sumber rujukan bagi kita ketika mengadapi masalah. Kepemimpinan yang dicintai oleh rakyat. Terbukti ketika beliau wafat (25 Juni 1928 di Surabaya) dan kemudian diantar menuju pemakaman, itu di sepanjang jalan di setiap stasiun keretaapi, semua pejabat dan rakyat berkumpul dan memberi hormat. Itulah pemimpin yang ideal, tak hanya bagi masyarakat Jawa tapi keseluruhan Indonesia. Pemimpin yang dicintai tulus bukan karena rasa takut,” tandasnya.

Baca juga: Mengintip Masa Lalu dari Mangkunegaran

TAG

mangkunegara-iv mangkunagaran mangkunegaran

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal dari Keraton 8 Desember 1861: Manisnya Riwayat Pabrik Gula Tjolomadoe Gan Kam, Tionghoa Penyelamat Wayang Orang Jawa Bukan Raja Jawa Biasa Kerajaan Bisnis Mangkunegara IV Industri Gula Praja Mangkunagaran Pendidikan, Fondasi Kemajuan Mangkunegaran Belanda Mabuk Pembaruan di Mangkunegaran Bangkit dari Kondisi Keuangan yang Sakit