Pembaruan di Mangkunegaran
Pembaruan di Mangkunegaran bertumpu pada efisiensi, efektivitas, estetika, dan politis.
PENDOPO Ageng, kompleks Istana Pura Mangkunegaran. Atap limasnya yang luas dan tinggi seolah tak mengizinkan terik mentari memanasi para pengunjungnya. Dengan “tubuh” hanya berupa tiang-tiang, ia justru membiarkan hembusan angin memberi suasana adem kepada para pengunjung di siang 17 Maret 2019 yang terik itu.
Baiknya fungsionalitas pendopo tak lepas dari “tangan dingin” Thomas Karsten. Arsitek Belanda kelahiran 1885 itu ditunjuk sahabatnya, Mangkunegara VII, untuk memugar langit-langit Pendopo Ageng dan sejumlah bangunan lain di Pura Mangkunegaran pada 1938.
“Gagasannya datang dari Stutterheim ketika konsultasi dengan Karsten dan sang Pengeran. Stutterheim membuat dua foto lukisan pada langit-langit kayu yang ia lihat di Ceylon (Sri Langka), menyimbolkan planet-planet, meski di dalam foto terdapat sembilan planet (bukan delapan seperti yang direncanakan untuk hiasan langit-langit pendopo astana)," tulis Madelon Djajadiningrat dalam “Tidak Adakah yang Bisa Kita Perbuat dengan Cermin yang Buruk Itu?”, termuat dalam buku suntingan Peter JM Nas Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia.
Bukan hal baru bagi Mangkunegaran memadukan nilai-nilai tradisional Jawa dengan Barat. Perpaduan itu terjadi baik dalam segi fisik bangunan-bangunan di keraton maupun dalam etiket dan nilai-nilai lain yang abstrak. Hal itu, menurut Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944, dilakukan untuk menunjukkan prestise Mangkunegaran sebagai praja otonom yang berbeda dari Kasunanan Surakarta.
“Perubahan dilakukan oleh pihak istana Mangkunegaran, terutama sejak Mangkunegara VI naik takhta dan dilanjutkan oleh Mangkunegara VII. Pembaruan-pembaruan dalam etiket ini melahirkan tradisi baru yang berbeda dengan tradisi Mataram Islam dan tradisi Kasunanan yang merupakan induk dari praja Mangkunegaran,” tulis Wasino.
Mangkunegara VI menjadi penguasa Mangkunegaran yang mempelopori banyak pembaruan dan modernisasi itu. Salah satu hal terpenting yang diperbarui olehnya adalah tradisi penghormatan. Bila sebelumnya seorang putra sentana (keluarga raja) dan narapraja yang akan menghadap raja (Mangkunegara), atau pejabat rendah menghadap pejabat yang lebih tinggi, wajib berjalan dengan berjongkok lalu duduk bersila di lantai dan melakukan sembah setiap kali mau bicara, hal itu tak lagi berlaku sejak Mangkunegara VI menyederhanakannya lewat kebijakan Pranatan Mangkunegaran No. 20/Q, dikeluarkan pada 17 Agustus 1903.
“Para putra sentana, narapraja, dan legiun agar dalam menghadap Mangkunegaran tidak perlu duduk bersila, tetapi diperbolehkan langsung menghadap asal berlaku sopan. Apabila disediakan kursi, mereka boleh langsung duduk di kursi. Tradisi duduk di kursi ini sebagai gejala baru dalam tata krama kerajaan dan menunjukkan adanya proses demokratisasi etiket,” tulis Wasino.
Penyederhanaan juga terjadi pada tata cara sembah. Sebelumnya, sembah dilakukan setiap akan bicara kepada raja. Mangkunegara VI menyederhanakannya menjadi hanya dilakukan ketika menghadap, saat akan memulai pembicaraan, dan menjelang pulang. Apabila berpapasan dengan raja di tempat yang terlalu sempit untuk berjongkok, para abdi dalem diperintahkan memberi penghormatan cukup dengan berdiri. Para abdi dalem yang sedang duduk di kursi saat seba (menghadap raja), juga diperintahkan hanya berdiri dalam memberi penghormatan pada raja. Tata cara sembah yang lama dianggap Mangkunegara VI kurang praktis dan mengganggu pembicaraan.
Mangkunegara VI lebih jauh memperbarui pakaian kebesaran putra sentana dan abdi dalem narapraja. Pakaian kebesaran yang terdiri dari kampuh, dodot, kuluk, udet, wedung, kain penutup dada, dan perhiasan disederhanakan dengan cara mengganti kampuh dengan bebet yang berwarna mirip kampuh. Kampuh dianggapnya boros kain dan waktu pemakaian. Untuk alasan praktis itu pula kuluk dihilangkan –namun tanpa pengganti– dari daftar pakaian kebesaran. Sementara, udeng (tutup kepala) diganti dengan iket agar para priayi bisa langsung menggunakannya tanpa perlu repot membuatnya terlebih dulu.
Aturan tersebut disempurnakan lagi oleh Mangkunegara VII, pengganti Mangkunegara VI. Mangkunegara VII bahkan membuatkan pakaian dinas masing-masing tingkatan anggota narapraja berikut aturan-aturannya. Dengan begitu, pakaian dinas priayi Mangkunegaran jadi lebih praktis dan efisien. Di kemudian hari, penyederhanaan itu menjadi ciri Mangkunegaran. “Orang luar dapat mudah mengenal bahwa seseorang merupakan abdi dalem narapraja Mangkunegaran dilihat dari cara berpakaiannya. Identitas seperti ini menimbulkan rasa bangga bagi orang Mangkunegaran,” ujar RM Sarwanto Wiryo Saputro, wedana Karanganyar era Mangkunegara VII, dikutip Wasino.
Mangkunegara sendiri mengenakan pakaian dinas berbeda saat berada di dalam atau di luar istana. “Dalam acara-acara kenegaraan yang berhubungan dengan orang luar, ia lebih sering menggunakan pakaian militer. Penggunaan pakaian militer oleh Mangkunegaran ini memiliki makna politik. Dengan menggunakan pakaian militer, kedudukan Mangkunegaran sama dengan kedudukan Sunan sehingga boleh duduk sepadan dengan Sunan dan residen,” tulis Wasino.
Selain pakaian, pembaruan oleh Mangkunegara VI dilakukan terhadap penampilan para anggota narapraja lewat potongan rambut. Mangkunegara VI menganggap rambut panjang diikat yang ditradisikan pada para sentana maupun abdi dalem narapraja kurang praktis. Dia lalu memotong pendek rambutnya. Banyak anggota sentana dan narapraja lalu mengikutinya atas kemauan sendiri, bukan perintah.
Mangkunegara VI hanya memerintahkan potong rambut pendek kepada para prajurit Legiun Mangkunegaran. Selain perintah potong rambut, para prajurit juga dilarang menggunakan destar. Sebagai gantinya, mereka dilengkapi dengan sepatu lars sebagaimana tentara Belanda atau tentara negara Eropa lain. “Ini sangat ditekankan oleh Mangkunegara VI karena ia bercita-cita agar tentaranya dapat dipandang sejajar dengan tentara Hindia Belanda melalui pakaian yang dikenakan,” tulis Wasino.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar