Rumah kediaman Presiden Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 tampak ramai dipenuhi para pemuka negeri. Mereka yang hadir antara lain Menteri Dalam Negeri Wiranatakusumah V dan wakilnya Mr. Hermani, juga Ketua KNIP Mr. Kasman Singodimedjo. Residen Jakarta Soetardjo Kartohadikusumo turut serta mewakili eksponen pangreh praja. Pangreh praja adalah penguasa lokal pada masa pemerintahan kolonial Belanda untuk menangani daerah jajahannya. Kebanyakan dari pangreh praja berasal dari kaum priayi atau bangsawan.
“Pembicaraan berlangsung tidak berketentuan arah, orang berbicara bersimpang siur,” kenang Soetardjo dalam memoar Soetardjo: “Petisi Soetardjo” dan Perjuangannya yang ditulis ulang oleh anaknya Setiadi Kartohadikusumo.
Saat itu para petinggi negara urun rembuk menyikapi berita radio tentang rencana kedatangan tentara Sekutu ke Indonesia. Berita menyimpulkan, Sekutu akan mengambil alih Indonesia dari tangan Jepang. Yang merisaukan karena Sekutu dibonceng tentara sipil Belanda (NICA).
Baca juga: Buku Terbuka Bernama Kasman Singodimedjo
Menjelang siang, rapat belum menghasilkan keputusan. Kentara Bung Karno terlihat sudah lelah. Bersama Wakil Presiden Hatta, Sukarno pamit lebih dulu untuk istirahat. Pimpinan rapat kemudian diserahkan kepada Wakil Menteri Penerangan Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Kasman, dan Soetardjo. Sementara Soetardjo yang menyaksikan jalannya rapat secara saksama, sambil menimbang dan berpikir, tiba-tiba ditunjuk Ali Sastro untuk berbicara.
“Ini Saudara Soetardjo seharian penuh belum pernah bicara. Apakah tidak punya pendapat?”
“Kalau ditanya, memang saya punya pendapat.” Soetardjo menimpali.
Soetardjo menyampaikan pemikirannya. Menurutnya jika terjadi pengoperan kekuasaan dari pemerintah militer Jepang kepada Sekutu, itu hanya berlaku di tingkat pusat. Sementara di daerah, situasinya berbeda. Sebagai seorang birokrat berpengalaman, Soetarjo menyatakan, pangreh praja adalah pemimpin rakyat di daerah. Kalau pemerintah militer Jepang mengoper kekuasaannya, maka di daerah akan terjadi suatu kekosongan pemerintahan. Praktis, kekuasaan tertinggi berada di tangan bupati.
“Soalnya sekarang, bagaimana kita dapat menghubungkan bupati dengan Pemerintah Republik Indonesia yang kita telah bentuk,” kata Soetardjo.
Baca juga: Anti Jepang Gaya Bupati Magetan
Soetardjo menyarankan agar selekas mungkin para bupati dipanggil ke Jakarta. Para bupati akan diminta kesediaannya untuk setia mengabdi kepada Republik. Jika setuju, mereka diminta angkat sumpah: mengakui Republik Indonesia dan tunduk pada pemerintahan yang dipimpin Sukarno-Hatta. Selanjutnya, para bupati berkoordinasi dengan bawahannya seperti wedana dan asisten wedana, juga melibatkan alim ulama untuk membela negara.
Forum sepakat dengan usulan Soetardjo disertai riuh tepuk tangan sekaligus tanda rapat berakhir. Dua hari kemudian, 30 Agustus 1945, para bupati di seluruh Jawa dan Madura berdatangan ke Jakarta. Mereka menggelar pertemuan dengan pimpinan pemerintah pusat di Hotel Des Indes. Inilah untuk kali pertama konferensi pangreh praja diselenggarakan di Indonesia. Sayangnya, Soetardjo yang menggagas perhelatan berhalangan hadir karena sakit.
Menurut sejarawan Benedict Anderson, Soetardjo telah menemui Sukarno dan Hatta secara tersendiri. Sukarno dan Hatta diyakinkan tentang dukungan pangreh praja, asalkan statusnya dijamin. Besar kemungkinan bahwa salah satu poin dari tawar-menawar itu adalah pemimpin-pemimpin pangreh praja akan diberi kedudukan tinggi di daerah-daerah. Imbal balik ini sebagai tanda kepercayaan pemerintah baru itu terhadap mereka.
Baca juga: Dalam Sistem Tanam Paksa, Petani Ditindas Belanda dan Pejabat Bumiputera
Pada 5 September 1945, semua wakil residen yang ada di Jawa dan Madura, kecuali wakil residen Pekalongan, diangkat untuk menggantikan residen-residen Jepang eks atasan mereka. Sementara itu, pada 6 September, sesuai putusan PPKI-KNIP, Jawa dibagi ke dalam tiga provinsi yang dipimpin oleh tiga gubernur. Soetardjo menjabat gubernur Jawa Barat, Raden Panji Soeroso sebagai gubernur Jawa Tengah, dan Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo jadi gubernur Jawa Timur.
“Ketiganya adalah pemimpin-pemimpin priayi konservatif sejak sebelum perang, dan selama pendudukan Jepang mereka adalah di antara orang-orang yang jabatannya naik paling cepat berkat kemampuan administrasi dan kerja sama mereka dengan pemerintah militer itu,” catat Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944—1946.
Ketika tentara Sekutu mendarat di Jakarta pada 29 September 1945, pemerintah RI telah tersambung dengan pemerintah daerah tingkat I (provinsi) dan tingkat II (kabupaten). Di Bandung, pasukan Sekutu yang terdiri dari dua batalion (2.000 prajurit) tentara Inggris resimen Gurkha tiba pada 12 Oktober 1945. Tentara Sekutu dipimpin oleh Komandan Brigade ke-37 Inggris, Brigadir Jenderal Mac Donald. Dalam rombongan Sekutu ikut serta pasukan Belanda dan petugas NICA sehingga menimbulkan kemarahan rakyat.
Baca juga: Gubernur di Tengah Operasi Anti Mata-Mata
Kedatangan Sekutu disambut pamflet yang bertebaran ke berbagai penjuru kota. Cara penyambutan itu diinisiasi oleh berbagai organisasi perjuangan baik politik maupun militer. Isinya seolah-olah menyatakan perang terhadap Sekutu.
“Segala cara dan senjata dianjurkan untuk digunakan bertempur, mulai dari bambu runcing, golok, senapan, hingga ular berbisa. Semua kekuatan dikerahkan untuk menggempur setiap sikap dan tindakan yang dapat merugikan kedaulatan negara Republik Indonesia,” ungkap Raden Mas Sewaka, yang kelak menjadi gubernur Jawa Barat ke-4 (1947--1951), dalam Tjorat-tjaret dari Djaman ke Djaman.
Apa yang selanjutnya terjadi di berbagai daerah adalah perlawanan mempertahankan setiap jengkal wilayah Republik Indonesia. Pertempuran demi pertempuran pun meletus di sejumlah daerah. Mulai dari Pertempuran Bandung Lautan Api, Pertempuran 10 November di Surabaya, hingga menjalar ke luar pulau seperti Sumatra dan Bali. Perlawanan timbul karena rakyat menentang kehadiran tentara Sekutu dan Belanda.
Baca juga: Gubernur Soerjo di Palagan Surabaya