Anti Jepang Gaya Bupati Magetan
Kendati mau bekerjasama dengan pemerintah militer Jepang, Bupati Soerjo tidak sudi menyediakan jugun ianfu.
SUATU pagi pada 1943. Kesibukan di kantor Kabupaten Magetan tetiba berubah jadi mencekam. Para pegawai kabupaten ketakutan dan menghindar kala seorang perwira militer Jepang marah-marah sambil menghunus gunto, pedang panjang khas negeri matahari terbit. Tak jelas benar apa yang menyebabkan perwira Jepang itu murka dan menebar ancaman, namun yang pasti tak ada satu pun orang-orang di sana saat itu yang berani bereaksi kecuali Raden Mas Tumenggung Aryo Soerjo, sang bupati Magetan.
Alih-alih gentar, Soerjo justru mendekati perwira yang tengah kalap tersebut. Dalam nada yang keras namun berwibawa, ia memarahi sang perwira yang sudah mengganggu ketenteraman lingkungan kerjanya.
“Saudara ini sudah datang tanpa permisi dan mengenalkan diri, membuat kericuhan pula di sini! Saudara harus tahu, karena saya merasa benar saya tidak takut sama sekali kepada anda!” bentaknya.
Dihadapi dengan sikap berani dan elegan seperti itu, sebagai seorang samurai, si perwira Jepang menjadi malu. Ia pun menurunkan tensi dan coba membicarakan masalah yang ia hadapi secara baik-baik. Masalah berakhir setelah perwira Jepang minta maaf karena mengganggu ketentraman orang-orang yang bekerja di kabupaten.
“Itulah Eyang Soerjo, ia tak pernah ragu sama sekali dalam bertindak jika melihat sesuatu yang menurutnya salah,” ujar Donny Ariotedjo, salah seorang cucu Soerjo.
Baca juga: Tragedi Pembunuhan Ario Soerjo
Tersebutlah pada awal Maret 1942, balatentara Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda. Kendati KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) coba menahan laju tentara Jepang, namun mereka tak berdaya dalam setiap pertempuran. Akhirnya, pada 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tertinggi KNIL Jenderal Hein ter Poorten menyerah kepada Panglima Tentara Jepang Ke-16 Jenderal Hitoshi Imamura di Kalijati, Jawa Barat. Sejak itu Hindia Belanda di bawah kuasa militer Jepang.
Menurut sejarawan Aiko Kurosawa, kedatangan Jepang yang mengklaim sebagai “saudara tua” itu semula disambut baik oleh rakyat Hindia yang sedang rindu akan kemerdekaan. Sambutan itu kemudian dibalas oleh penguasa militer Jepang dengan mengizinkan orang Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih serta mengumandangkan lagu Indonesia Raya.
“Bahasa Belanda sebagai bahasa resmi sebelumnya diganti oleh bahasa Indonesia dan jabatan-jabatan strategis segera berpindah tangan ke orang-orang Jepang dan bumiputera,” ungkap profesor emerita dari Universitas Keio, Tokyo itu.
Namun di Magetan, situasi agak berbeda. Alih-alih memberikan sambutan meriah seperti di kota-kota besar, masyarakat Magetan pada awalnya merasa bingung dan ketakutan. Nyaris hari demi hari, rakyat Magetan tak berani untuk keluar rumah. Mereka hanya bisa menunggu dengan cemas, apa yang akan terjadi kemudian.
Menurut Sutjiatiningsih dalam Pahlawan Nasional Gubernur Soerjo, sebagai bupati Magetan, Soerjo berupaya agar “kelumpuhan aktivitas” tersebut segera berakhir. Atas insiatif sendiri, ia menyerukan kepada rakyat Magetan untuk tidak perlu takut. Pernyataan tersebut diikuti dengan contoh yang ia berikan sendiri: setiap pagi bersama sang istri, Soerjo berjalan-jalan di alun-alun Magetan.
“Kebiasaan itu merupakan simbol bahwa dalam kondisi yang tak menentu sekali pun, sang pemimpin sama sekali tak meninggalkan rakyatnya,” tulis Sutjiatiningsih.
Baca juga: Detik-Detik Menjelang Surabaya Dibombardir
Menyaksikan bupatinya berada di tengah-tengah mereka, masyarakat Magetan mulai berani keluar rumah untuk menjalankan kembali kewajiban mereka sehari-hari. Kehidupan pun berjalan seperti sediakala. Berita keberhasilan Bupati Soerjo mengembalikan kepercayaan diri rakyatnya didengar pejabat militer Jepang di Magetan. Ia pun tetap didapuk untuk memimpin rakyat Magetan.
Bupati Soerjo sejatinya sangat membenci perilaku penguasa militer Jepang, namun ia sadar sementara dirinya tidak berbuat apa-apa selain menerima uluran kerja sama dengan mereka. Namun Soerjo yakin bahwa keberadaan orang-orang Jepang di Indonesia tidak akan lama. Selain melihat kondisi perang yang pelan-pelan menyudutkan posisi Jepang, terutama setelah Amerika Serikat terlibat, jauh sebelumnya para orang tua di Jawa sudah meramalkan bahwa “orang-orang kate bermata sipit itu” tak akan lama berada di Nusantara.
Hari demi hari, Bupati Soerjo tetap memimpin rakyat Magetan dalam suka dan duka. Kendati memutuskan untuk bekerja sama dengan penguasa militer Jepang, sikap Soerjo jauh dari watak seorang penjilat. Itu dibuktikan dengan tidak sudinya ia memenuhi permintaan penguasa militer Jepang mengumpulkan perempuan muda untuk diserahkan kepada para serdadu sebagai pelampiasan nafsu mereka. Sikap tegas sang Bupati tidak saja dianut sendiri, namun kerap ia katakan sebagai perintah resmi kepada bawahannya.
“Eyang Soerjo selalu menekankan kepada para bawahannya jangan sampai mau disuruh-suruh mencarikan perempuan oleh orang-orang Jepang itu,” tutur Witjaksono, salah seorang cucu Soerjo.
Penguasa militer Jepang benar-benar menjadikan wilayah bekas jajahan Belanda sebagai modal perang melawan Sekutu. Dengan memanfaatkan tanah subur dan produktif, mereka memaksa rakyat untuk memberikan sebagian besar hasil pertanian kepada penguasa militer Jepang. Padi yang merupakan makanan pokok penduduk pun tak lepas dari incaran mereka. Akibatnya rakyat tak bisa menikmati hasil jerih payahnya dan terpaksa hidup miskin karena tak memiliki apa-apa lagi.
Bukan hal yang aneh jika saat itu rakyat hanya mengkonsumsi singkong, jagung bahkan akar pohon pisang untuk pengganti nasi. Sebagai lauknya, mereka terpaksa memakan bekicot, tikus sawah dan belalang. Ketiadaan uang membuat rakyat juga tak memiliki daya beli. Untuk pakaian sehari-hari, mereka terpaksa menjadikan karung goni sebagai bahan baju dan celana.
“Kalau dipakai rasanya tidak enak dan gatal luar biasa karena pakaian goni yang kami pakai sering dijadikan sarang kutu busuk,” ujar Kasmijo (93), penduduk Magetan yang pernah mengalami masa penjajahan Jepang.
Selain menjadikannya tenaga logistik, penguasa militer Jepang memaksa orang-orang yang masih muda terlibat dalam persiapan perang. Puluhan ribu kaum lelaki produktif dijadikan romusha (prajurit pekerja) dan dikirim ke berbagai fron terdepan untuk membangun benteng pertahanan, jalan kereta api, lapangan terbang, jembatan dan dermaga. Khusus bagi para pemuda, mereka direkrut menjadi tenaga tempur dalam berbagai kesatuan “sukarelawan” semacam Heiho, Sainedan, Keibodan, dan tentara Peta atau Pembela Tanah Air.
Baca juga: Nasihat Menjelang Pemberontakan
Kaum perempuan pun tak lepas dari kesewenang-wenangan penguasa militer Jepang. Dengan dalih akan dipekerjakan di bagian administrasi, mereka dipaksa sebagai pemuas nafsu para serdadu yang baru pulang dari medan laga. Jumlah jugun ianfu (perempuan penghibur, arti harfiahnya: asisten tentara) ini sangat banyak, hingga mencapai puluhan ribu. Bukan hanya di wilayah eks jajahan Belanda, mereka pun disebar ke wilayah-wilayah luar yang dikuasai oleh militer Jepang seperti Singapura, Malaya dan Burma.
Sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan yang dikendalikan militer Jepang, Soerjo menghadapi dilema dalam situasi yang suram itu. Bisa dipastikan, menghadapi kesewenang-wenangan serdadu Jepang terhadap rakyatnya, Soerjo sendiri nyaris tak bisa berbuat banyak. Hanya satu yang berani ia lakukan yaitu menolak mentah-mentah permintaan penguasa militer Jepang untuk menyerahkan kaum perempuan sebagai jugun ianfu.
Anehnya, militer Jepang sendiri tak berani menindak “pembangkangan” Soerjo itu. “Mungkin mereka sadar Eyang Soerjo adalah tokoh yang sangat dicintai rakyatnya hingga jika menangkapnya hanya akan menimbulkan gejolak,” ujar Donny Ariotejo.
Baca juga: Gejolak di OSVIA
Tambahkan komentar
Belum ada komentar