Tahanan politik (tapol) di Penjara Cipinang semasa Orde Baru adalah tahanan-tahanan yang saling tolong-menolong dengan sesama tahanan. Tak peduli afiliasi politik mereka kanan –biasanya kelompok Islam yang terkait Negara Islam Indonesia (NII)– ataupun kiri –terdiri dari pelaku G30S, mantan anggota PKI atau mereka yang diduga punya simpati terhadap partai kiri tersebut. Mereka tak hidup ekslusif dengan membuat kelompok sendiri selama di tahanan. Bahkan, mereka karib bergaul dengan Xanana Gusmao, pemimpin Fretilin.
“Satu penderitaan. Sama-sama membenci Soeharto, kan. Gak peduli ideologinya apa,” ujar Fauzi Isman, salah satu tapol kasus Talangsari, Lampung yang terkait NII.
Baca juga: Ketika DI/TII Memburu PKI
Selama dalam tahanan, Fauzi pun berkawan dengan orang-orang PKI yang usianya jauh di atasnya. Ketika masuk penjara, Fauzi masih 22 tahun. Salah satu tahanan lain yang dikenalnya adalah Sukatno Hoeseni.
“Nah, Katno sama saya dekatnya karena dia orang Nganjuk. Si Katno ini orang Patihan Rowo, sama seperti Harmoko. Nah dia pernah dijodohin dengan bibinya Harmoko, tapi dia gak mau,” kenang Fauzi.
Orang tua Fauzi sendiri berasal dari Jombang, kabupaten yang bertetangga dengan Nganjuk. Patihan Rowo di Kertosono, Nganjuk, dulunya adalah basis PKI.
Sukatno, yang lahir di Malang pada 31 Desember 1929, hanya lulusan Sekolah Rakjat alias Sekolah Dasar (SD) di zaman pendudukan Jepang. Setelah lulus SR, dia bekerja jadi kernet (pembantu) tukang listrik di pabrik gula Lestari di Kertosono. Ayah Sukatno juga bekerja di sana. Dari sana, dia pindah ke dekat Surabaya untuk bekerja di pabrik air keras.
Setelah Indonesia merdeka, Sukatno menetap di Surabaya. Pada 1946, dia pindah ke Sumatra Selatan dan tinggal di sana hingga 1949.
Baca juga: Jenderal Pertama di Sumatra Selatan
Di sana, dia ikut berjuang bagi kelangsungan Republik Indonesia lewat Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Usai di Pesindo, Sukatno masuk ke Pemuda Rakjat, organ pemuda milik PKI. Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen (Hasil Pemilihan Umum Pertama -1955) di Republik Indonesia menyebut, Sukatno menjadi anggota PKI sejak 1951. Setahun kemudian, Sukatno diangkat menjadi Sekretaris Umum 1 DPP Pemuda Rakjat.
Lewat payung dari organisasi yang diikutinya (baca: PKI) itulah Sukatno mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Usahanya tak sia-sia. Setelah hasil Pemilu 1955 diumumkan, pada 24 Maret Sukatno dilantik menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 1955 di daerah pemilihan Jawa Timur. Sukatno lalu duduk sebagai anggota Fraksi PKI di DPR. Ia adalah anggota DPR termuda di tahun 1956.
Baca juga: Pembersihan PKI di DPRD Yogyakarta
Setelah DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan Presiden Sukarno lewat Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, Sukatno tetap menjadi anggota legislatif, di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) hingga Peristiwa G30S meletus pada 1965. Pasca- G30S dan PKI dihabisi, Sukatno memilih ikut melawan dengan bergerilya di Jawa Timur ketimbang pasrah menyerah. Di sanalah dia ditangkap dan ditahan di Cipinang, Jakarta.
Menurut Fauzi, Sukatno termasuk tapol yang suka diskusi di dalam sel. Ketika rombongan tapol dari kluster Partai Rakyat Demokrat (PRD) masuk Cipinang, Sukatno tak bisa ikut diskusi lagi.
“Ketika kami masuk ke Cipinang, kondisinya sudah sangat parah akibat stroke serta komplikasi penyakit lain. Ia hanya terbaring di tempat tidur, dirawat oleh kawan-kawan napol PKI dan seorang korvenya. Ia sudah tidak bisa bicara dan mengenali lingkungan sekitarnya,” catat Wilson, salah satu tapol PRD, dalam Dunia di Balik Jeruji: Kesaksian Perlawanan.
Satu hari sebelum Idul Adha tahun 1997, yang jatuh pada 18 April, keadaan Sukatno memburuk. Para tapol berdatangan melihat Sukatno di selnya. Setelah pihak Lembaga Pemasyarakatan Cipinang mendapat izin dari militer, Sukatno dibawa ke RS Polri di Kramat Jati. Di rumahsakit itu juga Sukatno, yang lahir beberapa jam jelang tahun baru 1930, akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya sekitar 17 April 1997.