Jenderal Pertama di Sumatra Selatan
Bekas perwira Legiun Mangkunegaran menjadi komisaris polisi di Lampung. Setelah diculik laskar, ia malah jadi jenderal mayor di Sumatra.
MULANYA Raden Mas Panji Soehardjo Hardjowardojo (1900–1969) merupakan perwira dalam Legiun Mangkunegaran. Ketika berseteru dengan Loem Tjien Goen di pengadilan Malang atas tuduhan pemalsuan, ia sudah berpangkat kapten. Demikian diberitakan koran De Locomotief, 2 Februari 1937.
Soehardjo, disebut koran Soerabaijasch Handelsblad, 7 Juni 1937, juga aktif dalam organisasi bernama Menoedjoe Membrantas Penganggoer Pemoeda (MMPP) yang mengadakan pelatihan pertanian di Jawa Timur. Di antara hasil pelatihan itu ada yang diarahkan ke Lampung sebagai daerah transmigrasi. Soehardjo juga akhirnya pindah ke Lampung yang sudah banyak didiami transmigran Jawa yang mencari hidup.
Setelah Belanda dikalahkan Jepang, Soehardjo mulai jadi orang penting di Lampung. Alamsjah Ratu Perwiranegara dalam Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu menyebut Soehardjo pernah mencoba bergabung dengan tentara sukarela Giyugun di Sumatra bagian selatan.
Baca juga: Jenderal yang Hampir Mati Dieksekusi Belanda
Namun, mantan perwira Legiun Mangkunegaran yang dianggap dekat dengan KNIL itu ditolak. Meski begitu pemerintah militer Jepang di Sumatra tidak menyia-nyiakannya. Soehardjo dijadikan perwira polisi di Lampung. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, Soehardjo adalah komisaris polisi di Lampung. Ia lalu dijadikan kepala polisi Republik Indonesia daerah Lampung.
Dalam kekacauan revolusi, Soehardjo pernah jadi korban penculikan laskar Angkatan Pemuda Indonesia (API). “Ternyata bukan hanya beliau yang diculik,” kata Memed Roeyani dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan I. Suranto dan Taniran juga diculik API. Dari keduanya diketahui Soehardjo dibawa ke daerah Pesing. Badan Keamanan Rakyat (BKR) berhasil membebaskannya.
BKR Lampung dipimpin Pangeran Emir Muhamad Noer, bekas Gyugun didikan Pagaralam. Ia cukup dihormati para bekas perwira Gyugun dan pejuang di Sumatra bagian selatan.
Baca juga: Bekas KNIL Masuk APRIS di Sumatra Selatan
Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal Bakal Tentara Nasional di Sumatra menyebut Pangeran Noer paham politik dan cukup berpengaruh di kalangan tentara. Di Lampung, kemudian berdiri Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dialah yang diinginkan banyak perwira bekas Gyugun bagian selatan Sumatra sebagai panglima TKR di sana.
Namun, Adnan Kapau Gani, koordinator TKR Sumatra, tidak suka pada bekas didikan Jepang macam Pangeran Noer. Ia lebih mempercayai Soehardjo untuk memimpin markas besar TKR Sumatra.
Soehardjo lalu menjadi Panglima Komandemen Sumatra sejak 3 Juli 1946 hingga 9 Februari 1947. Dengan jabatan itu, Soehardjo diberi pangkat jenderal mayor, setara brigadir jenderal dan mayor jenderal saat ini. Ia bertugas mengkoordinasikan pertahanan Sumatra yang tidak mudah. Sebab, revolusi adalah era para perwira bertindak sesuai kehendak sendiri.
Baca juga: Jonosewojo Jadi Jenderal di Usia 24 Tahun
Soehardjo tidak lama menjabat Panglima Komandemen Sumatra. Terlepas dari kesulitannya, ia tetap dapat membuat semua perwira di Sumatra solid. Perubahan struktur di ketentaraan yang kerap terjadi di awal revolusi membuat Soehardjo tergantikan.
Terakhir di Sumatra, menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD, Soehardjo pernah menjadi wakil Panglima Besar untuk daerah Sumatra, dari 9 Juni 1947 hingga Januari 1948. Setelahnya ia ditarik ke pusat. Ia pernah menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Perang.
Setelah tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia, sejak 1950 Soehardjo berada di Jakarta. Ia sempat diangkat menjadi Kepala Rumah Tangga Militer Istana Presiden Republik Indonesia Serikat. Ia tutup usia pada 27 November 1969.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar