Masuk Daftar
My Getplus

Lika-liku Blueprint PSSI

Blueprint jangka panjang pembinaan memang tidaklah populer. Namun jika tak punya kemauan menjalankannya, “nonsense” bicara prestasi.

Oleh: Randy Wirayudha | 27 Feb 2023
Timnas Garuda Muda yang akan berlaga di Piala Dunia U-20 di rumah sendiri (pssi.org)

PIALA Asia U-20 2023 di Uzbekistan dan Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia sudah di depan mata. Selain punya ekspektasi menjadi tuan rumah yang baik, sepertinya mustahil berharap banyak tim nasional Indonesia U-20 memetik prestasi. Pasalnya, skuad muda Indonesia bukan lahir dari sebuah proses panjang berdasarkan cetak-biru (blueprint) yang dijalankan secara menyeluruh.

Menurut pengamat sepakbola Kesit Budi Handoyo, masyarakat Indonesia hanya bisa mengharapkan skuad asuhan Shin Tae-yong yang memberikan hasil optimal. Piala Asia U-20 pada 1-18 Maret 2023 akan lebih dulu jadi ujian pertama guna melihat kesiapannya sebelum Piala Dunia U-20 pada 20 Mei-11 Juni 2023.

“Ya skuad sekarang campuranlah ya. Banyak pemain yang sudah gabung klub-klub Liga 1. Ini kan modal ke Piala Asia dulu. Kita enggak usah muluk-muluk berprestasi. Yang penting tampil bagus dan tidak malu-maluin saja. Karena di Piala Dunia, lawan-lawan yang dihadapi adalah negara-negara yang lolos lewat kualifikasi yang lebih teruji, sementara kita tuan rumah yang otomatis lolos,” kata Kesit dalam Live Dialog Sejarah Historia bertajuk “Utak-utik Blueprint PSSI”, Jumat (24/2/2023) petang.

Advertising
Advertising

Baca juga: Medali yang Dirindukan Tim Garuda

Skuad U-20 saat ini bukanlah tim yang lahir dari proses panjang yang dibidani oleh sebuah blueprint pembinaan sepakbola jangka panjang. Realita itu mungkin mendorong Erick Thohir, ketua umum PSSI yang baru, akan menyusun sebuah blueprint menuju Olimpiade 2036 dan Piala Dunia 2040.

“Kami mendapat arahan bagaimana sepakbola harus punya blueprint, apakah jangka pendek, menengah, dan panjang. Artinya apa? Tentu kita harus punya blueprint menuju 2040. Apakah itu di program, apakah itu infrastruktur, apakah itu juga mendorong percepatan timnas kita atau pembinaan secara menyeluruh. Kalau blueprint tidak ada ujung, ya hanya blueprint. Kalau blueprint ini ada tujuan, siapapun ketua PSSI-nya, kita punya tujuan yang sama, mengibarkan merah putih di kompetisi tertinggi,” kata Erick usai bertemu Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara pada 20 Februari 2023.

Audiensi Erick Thohir (kiri) selaku ketua umum PSSI terpilih dengan Presiden RI Joko Widodo (Twitter @PSSI)

Patut ditunggu seperti apa lebih konsep blueprint yang akan dibuat PSSI yang dinakhodai Erick Thohir, mengingat akan lebih dulu diadakan sebuah sarasehan sepakbola dengan segenap stakeholder pada medio Maret 2023. Menurut Kesit, jika memang ingin disiapkan untuk Olimpiade 2036 dan Piala Dunia 2040, maka fondasinya mulai dari pembinaan usia 6-7 tahun sudah harus disiapkan dari sekarang.

“Pencarian bibit pemain, pembinaan, dan kompetisinya ini kan belum ada sekarang. Karena fondasi yang ada saat ini, khusus untuk timnas, sama sekali belum kuat. Kita belum memiliki pola pembinaan usia muda yang kontinyu, pelatih-pelatih hebat untuk menangani usia muda, kompetisi usia muda yang berjenjang. Kalau sekarang kan terputus, tidak ada jenjang. Karena ujung-ujungnya bagaimana pembinaan usia muda. Sebagus apapun program, kalau pembinaan usia mudanya tidak jalan, nonsense. Kita mau bicara apa? Karena bibit-bibitnya kan dari sini,” sambung Kesit.

Blueprint Tak Berjalan, Proyek Instan Bertindak

Harus diakui, sejak 1991 ketika timnas Indonesia meraih emas SEA Games di Filipina, tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan. Jangankan untuk mempertahankan kebanggaan sebagai “Macan Asia” di era 1960-an dan 1970-an, untuk level Asia Tenggara saja kini publik sepakbola Indonesia acap dibikin geregetan.

“Kita dulu punya Ramang, Soetjipto Soentoro, Iswadi Idris, dan lain-lain memang karena bakat. Tapi kalau dari segi perkembangan sepakbola sekarang ini, bakat tidak cukup. Yang dibutuhkan pembinaan. Itulah gunanya PSSI dan klub melakukan pembinan yang jelas, terutama pembinaan usia muda,” ujar wartawan sepakbola senior Budiarto Shambazy dalam kesempatan berbeda.

Blueprint atau semacamnya sebetulnya bukan tidak pernah ada dalam persepakbolaan tanah air. Pada 1979, PSSI membuat terobosan dengan menelurkan Pola Pembinaan Sepakbola Nasional (PPSN) –sebuah konsep komprehensif tentang apa yang harus dilakukan PSSI– dan diresmikan dua tahun kemudian.

Baca juga: Saatnya Belajar dari Sepakbola Jepang

Mengutip buletin Pedoman Pembinaan Sepakbola Nasional terbitan PSSI pada 1995, PPSN mengatur penyeragaman cara bermain hingga pembentukan karakter. Pembinaan usia mudanya dibagi menjadi enam tahap: Pembibitan (12-16 tahun), Pematangan (16-19 tahun), Pematangan (16-23 tahun), Penggalangan Prestasi (19-30 tahun), dan Prestasi Puncak. Selain tetap menggulirkan kompetisi amatir Perserikatan berikut liga remaja taruna (remtar) di bawahnya, PPSN juga melahirkan kompetisi semi-profesional Liga Sepakbola Utama (Galatama).

“Tahun 1980-an ada kompetisi remtar, setiap minggu pasti main. Semisal Liga Persija, anggotanya kan banyak. Mereka bertanding di internal untuk suplai di tim utama Persija. Salah satunya itu. Jadi dulu pemain-pemain muda bisa begitu bersemangat karena punya cita-cita untuk bisa masuk ke tim utama Perserikatan masing-masing, lalu berjenjang menjadi pemain nasional. Jadi betul-betul mengikuti kompetisi. Sekarang sudah enggak terlihat lagi,” sambung Kesit.

Pengamat sepakbola Kesit Budi Handoyo (Tangkapan layar Youtube Historia)

Kendati sudah punya PPSN, PSSI di sisi lain menggulirkan banyak proyek mercusuar alias program-program jangka pendek. Mulai dari mengirim tim PSSI Binatama ke Brasil pada 1979, PSSI Garuda I juga ke Brasil pada 1984, PSSI Garuda II ke Cekoslovakia pada 1987, hingga PSSI “Basiska” ke Jerman Barat pada 1989.

“Kombinasi” itu lalu diperkuat dengan proyek tambahan berupa penggemblengan ala militer di Pusdik POM Cimahi. Hasilnya, juara Piala Kemerdekaan 1987 dan medali emas SEA Games 1987 serta 1991.

“Karena ada kebutuhan. Jadi sebenarnya pemain-pemain ini sudah ada dan siap. Yang kurang adalah mental dan karakter. Bagaimana caranya? Ya sudah masukin ke barak militer, kira-kira seperti itu. Diharapkan dari segi mental mereka ketika fight sudah enggak takut lagi. Problem kita saat itu kalau suda di lapangan ketemu tim-tim seperti Thailand, sudah drop duluan,” imbuhnya.

Baca juga: Nostalgia Emas SEA Games di Manila

Namun alih-alih melanjutkan PPSN, pada 1991 PSSI di bawah Azwar Anas memunculkan konsep baru bernama Pola Pembinaan Persepakbolaan Indonesia (P3I). P3I disusun setelah PSSI menggelar sejumlah seminar yang dihadiri banyak pelatih dan konsultasi dengan sepakbolawan Jerman Franz Beckenbauer.

“Menurut Beckenbauer, penyebab tidak majunya sepakbola Indonesia adalah kualitas pelatih yang tidak beres, wasit-wasit perlu ditingkatkan kualitasnya, sistem pelatihan kelompok umur secara bertingkat tidak berkesinambungan, dan sistem kompetisi bermasalah,” tulis Abrar Yusa dalam Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang.

Tim PSSI Primavera (Instagram @yeyen_tumena)

Hasil darinya yakni, pembentukan Direktorat Pembinaan Usia Muda. Selain itu, pembangunan empat sentra pembinaan: di Medan, Makassar, Bandung, dan Surabaya.

Tapi ketika konsep itu sudah dirumuskan dengan baik, justru tak berjalan. Malah, lagi-lagi, “direcoki” proyek instan PSSI Baretti dan Primavera ke Italia. Hanya beberapa pemain hebat macam Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, dan Yeyen Tumena yang dihasilkan, tetapi prestasi timnas tetap belum bisa hadir.

“Sebenarnya antara PPSN dengan P3I hampir sama karena yang ingin ditekankan bagaimana membentuk karakter pemain dan bagaimana Indonesia punya ciri permainan dengan kelemahan dan kelebihan pemain kita. Kalau itu sudah tercipta, mau dimainkan dengan gaya apapun, oke. Tapi karena tidak ditunjang dengan kompetisi berjenjang yang bagus, akhirnya tidak tercipta tujuan dari PPSN. P3I kemudian memang tidak jalan. Blueprint-nya sebatas dokumen yang tidak diaplikasikan secara menyeluruh,” tutur Kesit lagi.

Baca juga: Ketika Timnas Primavera Puasa di Italia

Syahdan setelah sekian lama P3I ditinggalkan, baru pada 2012 PSSI punya terobosan dengan mengeluarkan Kurikulum Sepakbola Indonesia: Untuk Usia Dini, Usia Muda & Senior. Disusun direktur Pembinaan Usia Dini PSSI Timo Scheunemann, kurikulum itu konsepnya disusun berdasarkan hasil dari riset ke daerah-daerah terpencil di Indonesia dipadu dengan pola pembinaan sepakbola di Jerman dan “meminjam” 45 dari ratusan halaman kurikulum USSF (induk sepakbola Amerika Serikat).

Aspek terpenting yang disusun Timo adalah pola-pola latihan dan pembinaan, baik teknik, fisik, maupun mental pemain dari usia 5 tahun. Scouting juga menjadi faktor krusial yang mesti dilakoni setiap klub kendati pembinaan bagi setiap klub masih dianggap membebani.

Kurikulum itu juga menggarisbawahi pentingnya akademi-akademi terpusat untuk pelatih hingga wasit. Namun karena tak mendapat dukungan penuh, Timo meletakkan jabatannya dan kurikulumnya tinggal nama.

“Kenyataannya saya tidak diberi wewenang dan kemudian juga tidak diberi dukungan dalam hal dana dan sebagainya, sehingga saya tidak bisa melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Dan itu sayang sekali, bukan karena saya merasa, oh saya hebat, saya pasti bisa berbuat untuk Indonesia yang luar biasa yang orang lain tidak bisa. Sama sekali pemikiran saya tidak seperti itu,” aku Timo via platform daring Zoom pada kesempatan berbeda.

Tim SAD musim 2013 (Twitter @depindoofficial)

Alhasil PSSI kemudian sekadar mempertahankan proyek mercusuar. Pada 2007, PSSI mengirim tim usia 17 dan 19 untuk mengikuti liga kasta keempat dan kelima di Uruguay dalam kerangka Sociedad Anónima Deportiva (SAD) Indonesia. Para alumnusnya yang sempat mengenakan jersey timnas antara lain Alfin Tuasalamony, Abdul Rahman Lestaluhu, Rizky Pellu, Manahati Lestusen, Ryuji Utomo, dan Hansamu Yama Pranata.

Lima tahun berselang, Direktur Teknik PSSI Danurwindo merilis blueprint anyar: Kurikulum Pembinaan Sepakbola Indonesia –kadang disebut “Kurikulum Filanesia”. Juga memuat tentang pembinaan usia dini dari umur enam tahun, konsep Filanesia lebih konkrit dengan perhatian terhadap sejumlah Sekolah Sepakbola (SSB) dan tim-tim akademi U-19 Liga 1 yang akan diadu di Elite Pro Academy (EPA).

“Filosofi bermain Elite Pro Academy akan selalu berbasis pada Filosofi Sepakbola Indonesia (Filanesia). Filanesia adalah cara bermain yang dipilih oleh Elite Pro Academy untuk meningkatkan kualitas permainan sepakbola ke level yang lebih tinggi,” tulis Buku Panduan Elite Pro Academy: Kerjasama PSSI-Klub Liga 1.

Namun lagi-lagi, Filanesia pun seperti tak dilakoni serius. Selain EPA sempat terhenti pada 2020, PSSI lebih gemar menyelinginya dengan proyek-proyek naturalisasi. Hasilnya lagi dan lagi tidak sesuai harapan. Menurut Kesit, mestinya pengurus PSSI sudah paham bahwa pembinaan adalah ujung tombak para pemain nasional di masa depan.

“Kalau bicara PPSN, P3I, programnya Timo, Filanesia, itu hampir sama. Intinya sama. Dari banyak faktor yang membuat semua itu enggak berjalan, yang paling utama adalah keinginan yang kuat menjalankannya. Kemauan itu harus kuat. Memang tidak populer, tapi itu harus jalan. Kalau kita mau sedikit berkorban, kita bangun, kuatkan fondasinya, kita petik hasilnya 15-20 tahun mendatang tapi harus kontinyu,” tukas Kesit.

Baca juga: Kenapa Sepakbola Indonesia Kalah Melulu?

TAG

pssi sepakbola dialog sejarah

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan Memori Manis Johan Neeskens Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football? Kakak dan Adik Beda Timnas di Sepakbola Dunia