Nostalgia Emas SEA Games di Manila
Asa membumbung tinggi setelah Timnas U-23 bekap Thailand, 2-0. Pengentasan dahaga 28 tahun mulai terbuka di Manila.
SUDAH 28 tahun medali emas sepakbola SEA Games tak pernah “mampir” ke timnas Indonesia lagi. Sejak Indonesia ikut pesta olahraga se-ASEAN itu pada 1977, Indonesia baru dua kali memetiknya, yakni tahun 1987 di Jakarta dan 1991 di Manila. Apakah prestasi itu bisa diulangi di kota yang sama?
Di SEA Games ke-30 di Filipina, timnas U-23 Indonesia tergabung di Grup B. Lawannya tak main-main: Laos, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Thailand.
Tim terakhir jadi lawan perdana, Selasa (26/11/2019) sore. Lewat laga di Rizal Memorial Stadium, Manila itu asa penggila bola tanah air terbuka setelah Indonesia menekuk Thailand, tim level Asia, 2-0.
Baca juga: Stadion Rizal Memorial Dulu dan Kini
Timnas U-23 bakal memikul beban berat di pundak mengingat babak belurnya senior mereka di pra-Piala Dunia. Ketum PSSI baru, Mochamad Iriawan, datang ke penginapan tim pada Senin (25/11/2019) dan menitipkan motivasi pada skuad asuhan Indra Sjafri.
“Saya ingin pemain tampil maksimal. Mari kita berjuang untuk mendapatkan hasil terbaik. Dengan usaha, kerja keras, dan doa, kita yakin bisa,” seru jenderal polisi yang akrab disapa Iwan Bule itu, dikutip situs PSSI, Senin (25/11/2019).
Nostalgia Manila
Seperti diungkapkan di atas, sudah hampir tiga dekade sejak terakhir kali emas SEA Games dipetik Indonesia. Menariknya, emas itu diraih di ibukota Filipina. Saat itu timnas dikomando manajer IGK Manila dan pelatih Anatoli Fyodorich Polosin asal Rusia.
Dalam biografi Manila yang ditulis duet jurnalis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso, IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara, disebutkan persiapan timnas digenjot dalam empat bulan sebelum SEA Games, 24 November-3 Desember 1991. Sebanyak 18 pemain terbaik akhirnya dipilih dari 57 pemain yang turut dalam seleksi.
Sebagai suntikan semangat di awal kepemimpinannya sebagai manajer menggantikan Acub Zainal, Manila menawarkan program asupan nutrisi lebih baik. Selain itu, para pemain juga diganjar gaji Rp350 ribu per bulan dan THR Lebaran Rp500 ribu per pemain.
Sementara, pelatih Polosin masih di tahap pengenalan dengan gaya para pemainnya sehingga belum menggeber pola latihan yang sesungguhnya. Sempat muncul kendala kiper utama Edy Harto nyaris tak bisa bergabung lantaran klubnya, Krama Yudha Tiga Berlian, enggan melepaskannya demi Piala Winners Asia.
“Waktu itu sebenarnya ada komunikasi yang kurang baik antara pengurus PSSI dengan Pak Syarnoebi Said, pemilik KTB. Setelah (komunikasi) diperbaiki, Edy bisa masuk tim,” ungkap Manila.
Timnas lantas menjalani dua ujicoba, yakni tur ke Hong Kong dan Piala Presiden di Seoul. Hasilnya? Jeblok. Musababnya pada laga di Seoul, Manila ambil keputusan mencoret nama Ricky Yakob.
Baca juga: Ada Apa dengan Ricky Yakob
Keputusan Manila itu mendapat tentangan dari Ketum PSSI Kardono. Kardono heran kenapa pilar penting itu bisa sampai dicoret Manila. Keputusan Manila jelas menambah beban di pundak Kardono yang di pengujung masa jabatan keduanya itu diberi misi khusus oleh Presiden Soeharto.
Dalam Selamat Jalan Pak Harto: Dokumen Kepergian Pemimpin Bangsa, Soegiono M.P. menyatakan Kardono mestinya sudah lepas jabatan pasca-timnas Indonesia meraih emas SEA Games 1987. Namun, Soeharto belum berkenan Kardono meninggalkan PSSI.
“Prestasi itu (emas SEA Games 1987, red.) cukup menjadi alasan Soeharto memperpanjang masa jabatan Kardono. Ternyata keinginan Soeharto untuk mempertahankan Kardono satu periode lagi, empat tahun ke depan, juga disepakati Kongres PSSI,” sebut Soegiono.
Namun Manila bergeming. Ia teguh pada keputusannya dan bahkan mengancam mundur jika Kardono memaksanya kembali memasukkan Ricky Yakob ke tim. “Saya tidak melamar posisi manajer tim. Tapi saya bekerja sungguh-sungguh. Nama saya dan bapak dipertaruhkan. Saya tidak main-main,” tutur Manila pada Kardono.
Kombinasi Shadow Football dan Latihan Militer
Ricky Yakob bukan satu-satunya bintang Indonesia nan tengah bersinar yang bakal terpental dari seleksi Manila dan Polosin. Gelandang/sayap Mustaqim terdepak dari tim karena cedera.
Fachri Husaini dan Jaya Hartono juga angkat koper sepulang dari ujicoba di Hong Kong dan Seoul. Keduanya protes terhadap pola latihan Polosin yang mulai menggenjot fisik pemain dengan beragam latihan ekstrem dan pola latihan “Shadow Football”. Fachri dan Jaya merajuk lantaran latihannya lebih mirip latihan militer ketimbang latihan sepakbola.
Protes itu sontak membuat Manila geram. “Kalau kalian ragu, silakan tinggalkan tim,” katanya.
Dari sisa tiga bulan masa persiapan SEA Games, dua bulan di antaranya digunakan Polosin untuk menggenjot latihan shadow football. Porsi latihan pun ditambah dari biasanya dua kali sehari menjadi tiga kali sehari. Pola latihan itu diterapkan selalu tanpa bola.
“Bola imajiner ditunjuk pelatih. Ke mana tangan menunjuk, ke sana pemain harus bergerak. Metode ini juga diterapkan di pantai dan kolam renang,” ungkap Hardy dan Edy.
Metode itu dilanjutkan dengan latihan bermain tanpa arahan Polosin. Asistennya, Urin, ditugasi mencatat hitungan sentuhan bola per pemain. Polosin menekankan pentingnya sentuhan bola dan memonitor pemain mana saja yang malas mengejar bola.
Gaya macam ini kembali bikin sejumlah pemain “terpental” dari tim. Kini giliran Mecky Tata, Singgih Pitono, Eryono Kasiba, dan Ansyari Lubis yang terpental. Keempatnya dicoret lantaran tak tahan dikuras fisik lewat pelatihan ala militer pada sebulan terakhir.
Latihan ala militer itu dilakukan Manila dengan mengirim tim ke Pusdik POM Cimahi untuk dilatih lebih keras. Latihan fisik ditambah lari jarak jauh naik-turun bukit dan gunung. Latihan berat itu membuat banyak pemain keteteran.
“Sudirman sampai mulas-mulas dengan latihan tersebut. Terpaksa ketika berlari, Sudirman buang hajat di rerumputan bukit. Sudirman akhirnya mengaku dirinya mencret selama digojlok Polosin,” tulis Hardy dan Edy.
Dari latihan ekstra berat sebulan penuh itu terpilihlah 18 anggota skuad SEA Games yang diragukan banyak pihak lantaran tak diperkuat sejumlah pemain bintang. Di mistar gawang ada Edy Harto dan Erick Ibrahim. Beknya Robby Darwis, Ferril Hattu (kapten), Sudirman, Aji Santoso, Salahuddi Abdul Rachman, Herry Setyawan. Lini tengah diisi Toyo Hartono, Maman Suryaman, Heriansyah, Kashartadi, dan Yusuf Ekodono. Barisan depannya Widodo Cahyono Putro, Peri Sandria, Hanafing, Rochi Putiray, dan Bambang Nurdiansyah.
Bambang jadi yang tertua di tim, berusia 32 tahun. Ia dimasukkan terakhir atas permintaan Manila sehingga tak digojlok sebagaimana para juniornya. Manila punya “misi” lain mengikutsertakannya.
Baca juga: IGK Manila Sigap Menangkal Babi-Babi Suap
Jelang keberangkatan, muncul keluhan sejumlah pemain soal rupiah. Diwakili kapten tim Ferril Hattu, mereka menyatakan kerisauan soal iming-iming bonus. Tim dijanjikan bonus Rp3 juta, padahal di SEA Games 1989 mereka diguyur bonus Rp1,5 juta per pemain setiap kali menang.
Manila pun menyikapinya dengan kepala dingin. Kendati terkesan “mata duitan”, Manila sadar “neraka” seperti apa yang sudah mereka alami demi bisa lolos seleksi sejak April hingga November 1991. Oleh karena itu Manila lalu mendatangi jajaran pengurus PSSI Kardono dan pemilik klub Arseto Sigit Harjojudanto. “Saya juga ikut dimintai uang, harus patungan,” ujar Sekjen PSSI Nugraha Besoes, dikutip Hardy dan Edy.
Setelah “modal” dianggap cukup, Manila menjanjikan bonus yang lebih baik. Jelang laga pembuka Grup B kontra Malaysia, 26 November 1991, Manila mengiming-imingi bonus USD100 per pemain (kurs 1991, 1USD=Rp1.900).
Hasil Tak Mengkhianati Kerja Keras
Kerja keras tim dan iming-iming bonus menggiurkan membuat para pemain seperti “kesetanan”. Dari empat laga di Grup B, Indonesia tak pernah kalah. Malaysia, Vietnam, dan tuan rumah Filipina dibuat tak berdaya.
Di semifinal dan final, Indonesia baru mendapat ujian sesungguhnya. Di semifinal, 2 Desember 1991, Singapura sudah menunggu. Singapura sarat pemain berpengalaman dengan skill di atas rata-rata pemain Indonesia. Namun Indonesia unggul fisik dan disiplin. Alhasil dari dua babak, kedua tim bermain sama kuat tanpa gol. Pun dengan dua babak perpanjangan waktu, hingga pemenang mesti ditentukan lewat adu penalti.
Dewi fortuna akhirnya memihak tim garuda, menang 4-2 di babak tos-tosan. Publik Singapura menangis. The Strait Times 3 Desember 1991 sampai menurunkan judul di halaman mukanya “Penalty shoot-out agony for Lions”.
Di final yang dimainkan di Rizal Memorial Stadium, 4 November, Indonesia menghadapi Thailand. Ferril Hattu cs. Kembali menahan lawan tanpa gol di dua babak dan perpanjangan waktu. Publik tanah air yang menyaksikannya lewat TVRI, berharap kembali dihampiri dewi fortuna.
Drama adu penalti itu amat mendebarkan. Saat kedudukan sudah 3-3, Polosin menunjuk Sudirman untuk jadi penentu. “Sudirman baru 21 tahun. Tapi ia punya mental dan karakter yang tegas. Teman-temannya menjuluki dia jenderal, seperti nama Jenderal Besar Sudirman di masa revolusi,” sambung Hardy dan Edy.
Baca juga: Soedirman Suka Main Sepakbola
Sementara, Manila punya cara lain untuk menyuntik spirit para pemain. Manila memperlihatkan batu aji yang dikalunginya lalu memerintahkan semua pemain menyentuh batu yang disebutnya bertuah itu. Para pemain manut. Manila lalu komat-kamit dan membakar semangat dengan seruan “Indonesia Juara.” “Padahal (komat-kamit) itu cuma acting,” kata Manila mengenang.
Yang pasti, hasilnya sepakan Sudirman merobek jala gawang Thailand. Skor akhir 4-3. Indonesia pun menyempurnakan posisi juara umum SEA Games dengan tambahan satu emas di cabang paling bergengsi.
Saat para pemain dan ofisial bereuforia, Manila menangis saking bahagianya. Sepulangnya ke Jakarta, tim dijamu Presiden Soeharto di kediamannya, Jalan Cendana. Para pemain diganjar bonus US$2.000 per kepala. Manila pun lantas melepas jabatannya dan kembali bertugas di CPM.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar