DARI Hotel de Boer, Letnan Raymond Westerling bekerja mengoperasikan jaringan intelijen tentara Belanda di Medan. Dalam waktu singkat, setelah tiba di Medan pada September 1945, Westerling mendapat pasokan informasi tentang orang-orang setempat yang dicurigai. Mereka masuk kategori pemberontak atau teroris. Satu nama yang menjadi incaran Westerling adalah Sihita.
“Saya ingat, suatu saat kami sedang menyerang seorang pembunuh berbahaya bernama Sihita, yang keberadaannya di sekitar kami telah dilaporkan oleh beberapa teman kami,” kenang Westerling dalam memoarnya Challenge to Terror.
Untuk meringkusnya, Westerling hanya disertai tiga orang pengawal. Dua anggota milisi dari kelompok anti-teroris, dan seorang lagi mata-mata. Tapi, misi itu tidak berlangsung mulus. Ketika Westerling bersama pengawalnya menyergap maju, mereka malah dihajar dengan lemparan granat. Serangan balik itu, seperti dicatat Westerling dalam memoarnya, hampir saja menewaskan dirinya. Serpihan ledakan granat pertama mengenai bagian belakang telinga Westerling. Dia pun jatuh pingsan seketika.
Baca juga: Menculik Pacar Westerling
Westerling berhutang budi kepada para pengawalnya. Mereka bertarung menghadapi para laskar hingga akhirnya bisa membawa Westerling ke tempat yang aman. Westerling sendiri dalam keadaan tidak sadarkan diri. Setelah diperiksa dokter, ada pecahan serpihan granat yang menempel pada tulang tengkorak Westerling. Kendati luput dari maut, peristiwa itu meninggalkan bekas tonjolan di belakang telinga kanan Westerling.
Di kemudian hari, selama penugasannya di Medan, Westerling dikenal atas tindakan beringasnya. Dia memburu orang-orang yang berjuang di pihak Republik atau yang menentang pendudukan Sekutu dan Belanda. Bak algojo sadis, Westerling membunuh buron tangkapannya lalu mempertontonkan ke muka umum sebagai bentuk teror. Namun, perkara Sihita tak pernah dituntaskannya. Westerling gagal menjagal Sihita, orang yang hampir merenggut nyawanya. Siapa sebenarnya Sihita?
Sihita bukanlah nama. Penyebutan yang kaprah ialah Sihite, salah satu marga suku Batak Toba yang berasal dari Bakkara. Orang bermarga Sihite yang melukai Westerling aslinya bernama Hendrik Sihite.
Baca juga: Kisah Tarigan, Laskar Buronan Westerling di Medan
Menurut Officiële bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen 1945-1950, Volume 37, (Dokumen Resmi Mengenai Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950), Hendrik Sihite adalah seorang pejabat polisi tidak resmi yang memimpin Pasukan Kelima. Sementara itu, sejarawan Tengku Haji M. Lah Husny dalam Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur/Tapanuli menyebut Pasukan Kelima dibentuk oleh Hendrik Sihite yang juga adalah Wakil Ketua Umum Pesindo Sumatra Timur. Dengan demikian, Pasukan Kelima yang dibentuk Sihite adalah unit pasukan khusus dari Pesindo Sumatra Timur.
Informasi mengenai Hendrik Sihite banyak diperoleh dari keterangan Takao Fusayama, perwira penghubung (LO) tentara pendudukan Jepang. Takao mengenal Sihite sehubungan dengan kedudukan Jepang dalam menjaga status quo di Medan. Sebagai perwira penghubung, Takao bertugas menjaga hubungan dengan berbagai pihak, mulai dari pihak Sekutu, pemerintah Indonesia, hingga kelompok laskar.
Menurut Takao, Pesindo merupakan kelompok laskar terkuat di Sumatra Timur pada masa awal Indonesia merdeka. Sementara itu, Pasukan Kelima cukup berkuasa di Medan. Itulah sebabnya dia ditugaskan menemui Sihite agar mencegah kelompoknya bergesekan dengan orang Jepang.
Baca juga: Lagak Laskar Sumatra Timur
“Kekuasaan Sihite yang pada waktu bersamaan memegang komando Pesindo dan Pasukan Kelima tidak ubahnya sebagai matahari yang lagi terbit dan dianggap lebih berkuasa daripada Gubernur Hasan ataupun Komandan Divisi TKR, Kol. Achmad Tahir. Para pemuda dari Kelompok Intel dalam Pasukan Kelima berada dalam keadaan yang penuh semangat,” catat Takao Fusayama dalam memoarnya A Japanese Memoir of Sumatra, 1945-1946: Love and Hatred in the Liberation War.
Namun, di balik kekuatan pasukannya yang diperhitungkan, sosok Sihite menyandang reputasi buruk. Sihite diisukan sebagai agen Belanda yang menyamar sebagai pemimpin pejuang kemerdekaan. Di kantor Liaison Jepang, Takao mendengar desas-desus kedekatan rahasia Sihite dengan Kolonel Knottenberg, pimpinan NICA yang sohor karena keahliannya dalam bidang manuver.
“Tidak diketahui sejauh mana kebenaran rumor itu. Sejumlah tanda keragu-raguan bagaimanapun timbul di sekelilingnya,” demikian Takao Fusayama.*