Kisah Tarigan, Laskar Buronan Westerling di Medan
Pentolan laskar yang paling dicari tentara Sekutu ini diringkus Westerling dalam operasi senyap.
Setelah berhasil memimpin operasi penerjunan pasukan ke kota Medan, Letnan Raymond Pierre Westerling menetap di Hotel Mijn de Boer. Hotel itu kini telah bersalin rupa menjadi Hotel Dharma Deli dengan hiruk-pikuk lalu lintas kendaraan di depannya. Tapi, ketika Westerling tinggal di sana, suasana di sekitar hotel yang letaknya di pusat kota itu masih asri.
“Saya menemukan tempat yang menawan, dengan banyak vila-vila yang cantik terletak di taman bunga yang indah,” kenang Westerling dalam memoarnya Challenge to Terror.
Pada Oktober 1945, Westerling mengemban misi untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Medan. Tugasnya antara lain mengorganisasikan pasukan sambil merencanakan operasi intelijen. Di Hotel de Boer itulah Westerling sehari-hari menjalankan pekerjaannya. Bersamaan dengan itu, tentara Sekutu pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di Medan. Jadi, keberadaan Westerling di Medan berada di bawah supervisi Sekutu (Inggris).
Westerling sebenarnya betah tinggal di Medan. Hotel de Boer, penginapan merangkap kantornya, adalah hotel paling nyaman. Kalau ingin makan atau sekedar kongko, Westerling suka nongkrong ke restoran bergaya Eropa “Tip-Top” yang letaknya di pecinan Kesawan. Yang menjengkelkan Westerling ialah ulah para pemuda milisi bersenjata di Medan.
Baca juga: Cita Rasa Eropa di Paris van Sumatra
Terakan alias Tarigan
Atas nama mempertahankan kemerdekaan, para pemuda menentang kedatangan Sekutu. Secara sembunyi-sembunyi, mereka menembaki jip-jip milik Sekutu setiap hari. Perwira dan prajurit Inggris bahkan dibunuh satu demi satu. Begitulah cara mereka berjuang.
Bagi Westerling, para pemuda itu hanyalah sekelompok bandit yang mengacau. Westerling sering menerima informasi tentang aksi kelompok pemuda laskar. Pasukan Sekutu yang tugasnya melucuti serdadu Jepang kerap dibikin repot. Dalam memoarnya, Westerling menyebut satu nama yang paling meresahkan.
“Pemimpin kelompok itu diketahui bernama Terakan dan markas besarnya berada di kampung, atau desa terpencil, dekat Medan,” tutur Westerling.
Baca juga: Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo
Westerling menyebut Terakan setengah Cina dan setengah Jepang. Namun, menurut Yandi Syaputra Hasibuan, Terakan yang dimaksud Westerling ialah pemuda bermarga Tarigan yang berasal dari suku Karo. Tarigan bersama anggotanya melakukan perdagangan gelap hasil-hasil perkebunan yang dijual ke Singapura. Hasil perdagangan itu digunakan Tarigan untuk kepentingan perjuangan para pemuda di Medan, semisal untuk memperoleh amunisi.
“Tindakan yang dilakukan Tarigan bersama pasukannya membuat Inggris kewalahan. Inggris sudah berkali-kali menangkap Tarigan, tetapi tidak pernah berhasil,” tulis Yandi dalam skripsinya di Universitas Sumatra Utara, “Aksi Kekerasan Westerling di Kota Medan (1945--1946)”.
Sepak terjang Tarigan masuk dalam radar pengamatan Westerling. Hanya saja, untuk meringkus Tarigan, Westerling harus menunggu perintah. Lagipula menjangkau markas Tarigan yang terletak di tengah hutan dan rawa bukan perkara mudah. Anak buahnya selalu berjaga siang dan malam.
Nyawa Seharga Sebotol Wiski
Saat yang ditunggu-tunggu Westerling tiba. Seorang perwira Sekutu berpangkat mayor meminta Westerling menangkap Tarigan. Dalam suatu percakapan di tempat makan, sang mayor menjanjikan sebotol wiski Skotlandia “Black and White” apabila Westerling berhasil. Westerling menyanggupi dan hanya minta diberi waktu satu hari menjalankan pekerjaan itu. Mendengar itu mayor Inggris tersebut tertawa terbahak-bahak tanda tidak percaya. Pukul 21.00 malam itu juga Westerling bergerak mengejar Tarigan.
Westerling memilih dua orang untuk pergi bersamanya. Seorang dari suku Batak berperan sebagai mata-mata yang mengetahui gubuk tempat Tarigan tinggal. Satu lagi orang Madras. Mereka membekali diri dengan sebilah belati, sebotol kloroform, dan borgol. Pistol dan granat tangan juga dibawa tapi Westerling berharap tidak perlu menggunakannya. Untuk menyamarkan diri, Westerling dan anak buahnya mengenakan pakaian hitam. Wajah mereka dilumuri arang. Cara tersebut diyakini Westerling dapat menakut-nakuti lawannya.
Baca juga: Aksi Sadis Westerling di Medan
Dengan mengambil jalan pintas menyeberangi rawa-rawa, Westerling berhasil menghindari sebagian besar penjagaan anak buah Tarigan. Pukul 01.00 dini hari, Westerling tiba di lokasi tujuan operasi. Di depan gubuk Tarigan, Westerling menghadapi tiga orang penjaga. “Menangani” penjaga adalah pelajaran dasar yang ditimba Westerling saat pelatihan komando di Skotlandia. Ketiga penjaga itu segera dilumpuhkannya dengan mudah. Mayat mereka dibuang ke sungai untuk menghilangkan jejak.
Westerling memasuki gubuk sedangkan anak buahnya berjaga di luar. Di dalam kamar, Tarigan didapatinya sedang tidur pulas. Westerling lantas menyiramkan kloroform ke kain yang dipakai untuk menekan hidung dan mulut Tarigan. Meski sempat meronta, dalam hitungan menit Tarigan pingsan. Westerling bersama anak buahnya menggotong Tarigan ke kantor untuk diintergasi.
Dalam keadaan kaki terikat di kursi, Tarigan diinterogasi Westerling. Sementara, orang Madras anak buah Westerling berdiri di samping Tarigan dengan pedang teracung. Efek kloroform yang mulai menghilang membuat kesadaran Tarigan perlahan kembali. Saat itulah Tarigan mencoba berlari menerjang ke arah Westerling. Namun, anak buah Westerling dengan sigap bereaksi melayangkan pedangnya.
Baca juga: Preman Medan dari Zaman ke Zaman
“Kepala Terakan, yang dipotong rapi dari bahunya, mengambil arah berlawanan dan menabrak lantai dengan tidak menentu,” ujar Westerling dalam memoarnya.
Westerling memungut kepala Tarigan, mengemasnya dengan daun pisang, dan menyimpannya ke dalam kaleng biskuit. Kurang dari 24 jam, Westerling menyerahkan kepala Tarigan kepada mayor Inggris dalam jamuan makan malam di Hotel de Boer. Seketika itu pula nafsu makan sang mayor hilang. Westerling pun memenangkan sebotol wiski Skotch kesukaannya dari si mayor.
Macan Putih
Keesokan harinya, Westerling mendatangi lagi kampung tempat Tarigan berbasis. Bersama anak buahnya, Westerling memasang pasak di tengah kampung. Di atasnya, kepala Tarigan ditancapkan sementara di bagian bawah tertulis peringatan bagi para anak buah Tarigan. Westerling membubuhi catatan peringatan itu dengan tertanda dari: Macan Putih.
“Malam itu, warga desa mengadakan upacara kecil-kecilan. Di rawa, dari mana mereka menilai pengirim mereka telah datang, mereka mengadakan semacam kebaktian syukur untuk menghormati Macan Putih,” Westerling mengisahkannya dengan jemawa tanpa rasa bersalah.
Baca juga: Perang Westerling di Timur Jauh
Menurut sejarawan Belanda Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia, 1945--1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah, aksi spionase dan kontragerilya yang dilancarkan Westerling lekat dengan stigma kekerasan di luar batas, kejahatan perang, intimidasi, dan pembunuhan. Itu tentunya tidak sesuai dengan garis haluan resmi dari pimpinan militer. Setelah Tarigan, episode kebrutalan Westerling terus berlanjut sampai ke Makassar hingga dirinya memimpin Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar