CAT kamuflase wajah yang dikenakan tak melunturkan kejelitaannya. Seragam hijau yang membalut tubuh gemulainya dan sepatu bot merah khas IDF (Tentara Israel) yang membungkus kakinya juga tak mengurangi keanggunannya. Balutan keanggunan dan daya mematikannya kian lengkap dengan baret hijau muda yang bertengger di kepala Sersan Gaya Bertele.
Bintara dari kesatuan Batalyon ke-227 “Bardelas”, salah satu batalyon campuran (prajurit pria-wanita) di bawah Brigade Regional Eilat, Komando Militer Selatan IDF, itu amat bangga dengan profesinya. Sersan Gaya sempat berkiprah hingga menjadi komandan skuad di salah satu batalyonnya yang punya lingkup tugas di wilayah Arava di perbatasan Israel-Mesir.
Tetapi lantaran sebuah insiden yang membuatnya cedera, Gaya dipindah dari kombatan di lapangan ke belakang meja di markas brigade. Namun itu tak mengurangi rasa bangga prajurit cantik berusia 23 tahun itu, yang mungkin bisa bikin kakek dari pihak ayahnya bangkit dari kubur.
Sang kakek, Johann Bertele, merupakan mantan walikota di sebuah kota kecil di Jerman selatan dan kader Partai Nazi-nya Adolf Hitler.
“Kakek saya tak pernah menyesali dukungannya terhadap Naziisme dan teori ras. Dia juga tak mengubah pemikirannya itu setelah perang dan mempertahankannya sampai dia mati. Saya yakin jika dia tahu putranya, ayah saya, akan beralih keyakinan dan saya menjadi komandan tempur di IDF, dia akan marah dan bangun dari kuburnya,” tutur Gaya, sebagaimana disitat Jewish Breaking News, 20 Agustus 2017.
Gaya adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Hans dan Galit Bertele. Hans yang lahir pada 1945 di Jerman kemudian pindah ke Tel Aviv untuk bekerja sebagai chef pastry di Hilton Worldwide –kini ia membuka toko pastry sendiri. Setelah menikah, Hans yang penganut Kristen lalu pindah menjadi Yahudi.
“Saya mengikuti jejak ayah. Pada usia 26 tahun dia sempat mendaftarkan diri ke IDF. Dia bahkan bertempur sebagai penembak jitu di Perang Yom Kippur (6-25 Oktober 1973, red.). Sementara dari pihak ibu, nenek buyutnya merupakan penyintas Holocaust di Auschwitz, di mana ia kehilangan segenap keluarganya yang lain,” sambungnya.
Baca juga: Adik Hermann Goering Anti-Nazi & Penyelamat Yahudi
“Saya belajar tentang perlakuan Nazi terhadap Yahudi dari sekolah, namun karena kakek saya seorang Nazi, saya mengerti semua prosesnya dengan lebih jelas. Saya paham apa itu ideologi antisemit Nazi, bagaimana mereka memandang Yahudi. Pekerjaan kakek saya adalah melestarikan kemurnian ras Arya di kota kecil yang ia pimpin. Ini yang jadi motivasi saya menjadi prajurit Israel. Ada lingkaran spiritual di sini, untuk membela bangsa saya yang dahulunya hendak dilenyapkan Nazi,” tandasnya.
Tapi, Hans dan Gaya bukan satu-satunya orang berdarah Jerman dengan latarbelakang Nazi yang pernah angkat senjata di bawah panji bintang Daud.
Petualangan Ulrich Schnaft
Kisah prajurit Israel mantan Nazi yang pernah bikin gempar adalah kisah Ulrich Schnaft. Mantan serdadu Schutzstaffel (SS) kelahiran Königsburg pada 1923 itu, sebagaimana disebutkan Ephraim Kahana dalam Historical Dictionary of Israel Intelligence, pada akhir 1944 ditangkap pasukan Amerika di dekat Sungai Po saat invasi Sekutu ke Italia. Dua tahun pasca-Perang Dunia II, Schnaft dibebaskan namun sulit mendapat penghidupan mengingat negerinya porak-poranda.
“Tapi Schnaft melihat situasi di mana para Yahudi yang selamat dan dibebaskan dari kamp-kamp konsentrasi keadaannya jauh lebih baik. Sekutu dan banyak kelompok relawan menyediakan sandang, pangan, papan. Entah bagaimana Schnaft bisa menyamarkan dirinya sendiri menjadi orang Yahudi dengan nama samaran Gavriel Weissman,” tulis Kahana.
Setelah mendengar bahwa sejumlah orang Yahudi berencana migrasi ke Palestina secara ilegal, Schnaft pun memulai petualangannya dengan ikut bermigrasi. Sayangnya di Marseille kapal yang membawa sejumlah imigran gelap itu dicegat kapal AL Inggris. Weissman alias Schnaft lalu ditahan di Siprus.
“Setelah berdirinya negara Israel pada 1948, para interniran di Siprus itu dibebaskan dan Schnaft sebagai imigran baru langsung dikenakan wajib militer IDF. Mengingat ia berpengalaman dalam teknik-teknik militer, kariernya melesat hingga berpangkat kapten di korps artileri. Tetapi gara-gara sering meracau saat mabuk tentang masa lalunya sebagai prajurit Nazi dan bahwa ia menggunakan identitas samaran, komandannya memilih tak memperpanjang masa wajib militernya pada 1952,” lanjut Kahana.
Baca juga: Intel Indonesia Dilatih Intel Israel
Kembali terpuruk dengan kondisi kantong kering hingga tak bisa pulang ke negerinya lantaran otoritas imigrasi Jerman Barat menolak paspor Israelnya, pikiran culas kembali menghampiri. Schnaft memutuskan untuk menjual sejumlah informasi dan rahasia militer Israel kepada Mesir, musuh negeri Zionis itu dalam Perang Arab-Israel (15 Mei 1948-10 Maret 1949).
Ia mengontak Konsulat Jenderal Mesir di Genoa yang lantas memerantarakannya dengan atase militer di Kedutaan Mesir di Roma. Sebagai imbalannya, Schnaft minta dibantu agar bisa pulang ke Jerman. Pihak Mesir setuju dan paspor Israelnya pun “ditukar” dengan paspor Mesir dengan identitas baru: Robert Hayat.
Di Kairo, Hayat alias Schnaft dengan enteng membeberkan semua informasi tentang IDF. Mulai dari unit-unitnya, markas-markasnya, program-program latihannya, hingga sejumlah nama perwira yang pernah ia kenal semua diceritakannya kepada pihak intelijen Mesir.
Namun pengkhianatannya terendus Shin Bet (Agensi Keamanan Israel). Pada 1956 ia ditangkap agen Mossad (Dinas intelijen Israel) di Frankfurt. Setelah divonis bersalah, ia dihukum tujuh tahun bui. Setelah bebas pada 1961, ia kembali ke Frankfurt dan dikabarkan menjadi pendeta di salah satu Gereja Lutheran hingga kini.
Otto Skorzeny Agen Mossad
Sebagaimana Marsekal Erwin Rommel, Jenderal Heinz Guderian atau Kolonel Claus von Stauffenberg, pamor perwira SS Otto Skorzeny di mata para musuh Jerman muncul berkat kegemilangan menyelamatkan diktator fasis Italia Benito Mussolini. Pada akhir perang, sang obersturmbannführer (setara letnan kolonel) dengan bekas codet khas di wajahnya itu diseret ke Pengadilan Dachau dengan dugaan pelanggaran hukum perang.
Namun sebelum ketuk palu vonisnya, Skorzeny melarikan diri dari kamp interniran di Darmstadt. Dalam pelariannya, ia “bertualang” menjadi penasihat militer di Mesir hingga Argentina. Meski begitu, ada satu bab dalam petualangannya yang sempat diragukan publik, yakni ketika Skorzeny direkrut Mossad pada 1962.
Baca juga: Otto Skorzeny yang Ditakuti
Keraguan terhadap perekrutan Skorzeny oleh Mossad kemudian dibantah oleh sebuah artikel investigasi di Majalah Matara tahun 1989. Sebagaimana dinukil Haaretz, 27 Maret 2016, mulanya sekelompok agen Mossad yang mengetahui aktivitas Skorzeny di Madrid, Spanyol, pasca-jadi penasihat militer Mesir, sempat ingin mencabut nyawanya. Tetapi rencana itu diurungkan setelah Direktur Mossad Isser Harel melarangnya dan mengatakan bahwa Skorzeny masih bisa “dimanfaatkan” mengingat masih panasnya tensi Israel-Mesir setelah Perang Arab-Israel.
Skorzeny yang ditemui beberapa agen Mossad di kediamannya di Madrid, bersedia membocorkan rahasia pengembangan roket Mesir oleh beberapa ilmuwan Jerman sejauh yang diketahuinya. Pamrihnya tak lain agar sisa hidupnya tak lagi diusik dengan perkara kejahatan Nazi di masa lalu. Deal.
Setelah diberi pengenalan latihan dasar intelijen khas Mossad, Skorzeny beroperasi “dikawal” dua agen Avraham Ahituv dan Rafi Eitan. Ketiganya turut terlibat Operasi Damocles, operasi klandestin dengan target sejumlah ilmuwan Jerman dan Austria yang tengah mengembangkan roket untuk Mesir. Selain Otto Joklik, ilmuwan tersebut adalah Wolfgang Pilz, Hans Kleinwachter, dan Heinz Krug.
Baca juga: Kisah Mossad Mengejar Gembong Nazi Adolf Eichmann
Nama terakhir merupakan figur terpenting proyek roket Mesir. Krug tak hanya ilmuwan tetapi juga pebisnis yang selalu menyuplai kebutuhan perangkat keras militer Mesir. Krug dilaporkan hilang pada September 1962 dekat kediamannya di Munich. Menurut Ronen Bergman dalam Rise and Kill First: The Secret History of Israel’s Targeted Assassinations, muncul dua klaim atas hilangnya Krug.
“Yang pertama, dia hilang karena dibunuh Otto Skorzeny dan jenazahnya tak pernah ditemukan. Tetapi klaim lainnya menyebut dia diculik di Munich oleh agen-agen Mossad yang dipimpin langsung Isser Harel di lapangan dan setelah disiksa dalam interogasinya, Krug dihabisi nyawanya,” tandas Bergman.