Reputasi pejuang yang bergerilya masuk hutan hingga kini tetap mulia di banyak kepala orang Indonesia. Sementara, mereka yang ikut gerakan bawah di kota untuk melawan tentara Belanda masih sulit mendapat predikat mulia.
Hal itu sudah dipikirkan Zulkifli Lubis, komandan Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI), sejak awal kemerdekaan Indonesia. Irawan Sukarno dalam Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen mencatat, doktrin Zulkifli Lubis tentang prajurit perang fikiran.
“Sebagai Prajurit Perang Fikiran aku bekerja dan berjuang di mana saja aku berada; Sebagai Prajurit Perang Fikiran aku ‘hilang’,” ajar Lubis.
Baca juga: Intel Liar Kolonel Zulkifli Lubis
Hilang berarti tak tampak. Prajurit perang pikiran jelas seorang prajurit tak terlihat yang jika mati tak dikenang dan jika berhasil tak mendapat penghargaan. Biasanya, perjuangan mereka kerap tidak diakui. Di zaman revolusi kemerdekaan Indonesia, banyak dari mereka berada di wilayah lawan bahkan tidak sedikit yang bekerja untuk Belanda, namun hati mereka tetap cenderung ke Republik Indonesia yang miskin.
Satu dari sekian banyak pejuang tipe itu adalah Anang Acil di Balikpapan. Sopir yang bekerja untuk jawatan militer Belanda itu memimpin para pemuda Indonesia dalam penyerangan terhadap tentara Belanda.
Pejuang tipe “senyap” itu ada di berbagai daerah. Di Makassar, yang diduduki tentara Belanda, juga ada pemuda macam Anang Acil.
“Seorang pemuda yang bekerja pada bahagian pengangkutan KNIL, bemama Azis Taba dapat mempengaruhi anggota-anggota KNIL yang bersedia digerakkan untuk gerakan 1 Januari,” catat Lahadjdji Patang dalam Sulawesi dan Pahlawan-Pahlawannya: Sejarah Perjuangan Kemerdekaan.
Baca juga: Ketika Eks KNIL Menyerang Markas APRIS
Gerakan 1 Januari yang dimaksud merupakan Gerakan 1 Januari 1949. Gerakan tersebut merupakan upaya perlawanan para pejuang untuk membuat kekacauan di Makassar dengan tujuan politis antara lain mengimbangi upaya penangkapan dan penawanan para pemimpin republik di Yogyakarta oleh Belanda. Dalam gerakan itulah Azis Taba berperan penting.
Azis Taba merupakan pemuda kelahiran Palopo sekitar tahun 1930. Menurut catatan Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII, Azis Taba tumbuh besar di Bantaeng, Jeneponto, dan Makassar. Dia pernah sekolah di Taman Siswa, sebelum kursus tata buku dan telegrafi.
Antara 1945 dan 1946, dia bergabung dengan laskar RI di Pangkajene dan Makassar. Ketika itu tentara Belanda belum kuat di Makassar. Namun sejak 1946, dia kemudian bekerja menjadi supir KNIL. Meski begitu, dia tetap berhubungan dengan gerakan bawah tanah.
Azis diserap oleh pejuang macam Arif Rate dan Mobile Batalyon Ratulangie (MBR). Di sanalah perannya mendukung RI banyak terjadi namun tidak dilihat banyak orang.
Baca juga: Zaman Australia di Makassar
“Apapun bantuannya secara diam-diam kepada kaum gerilyawan yang mungkin telah diberikannya, dalam pandangan umum ia tidak akan dipersamakan dengan mereka (yang bergerilya),” kata Barbara Harvey.
Pada 1950, Azis Taba menjadi komandan kompi dalam MBR. Pada 1951 MBR kemudian masuk dalam Corps Tjadangan Nasional (CTN) yang hendak tidak diaktifkan dalam ketentaraan. Dia menuruti perintah Kahar Muzakkar untuk memimpin MBR masuk hutan.
Azis Taba tidak lama di hutan. Meski orang Palopo, dia tidak dekat dengan Kahar Muzakkar. Dia juga bukan bangsawan yang membuatnya akan dihormati di daerah. Di antara anggota CTN yang ikut Kahar masuk hutan, Azis Taba termasuk buruk posisinya.
“Azis Taba mungkin paling lemah posisinya dibanding komandan batalyon lainnya untuk disebut pejuang,” catat Barcabara Harvey (1989:194). Ini terkait posisinya sebagai supir KNIL.
Tempat terbaik untuk orang biasa yang pintar seperti Azis Taba kala itu adalah di Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di zaman Kolonel Gatot Subroto menjadi panglima Tentara dan Teritorium VII Wirabuana yang membawahi seluruh Indonesia Timur, Azis Taba dan ratusan bekas pejuang lain masuk TNI.
Baca juga: Nasution dan Lubis Akur, Gatot Subroto Senang
Azis Taba yang pintar itu pada 1952 diberi kesempatan ikut pelatihan militer di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Jawa Barat. Setelah pulang, dia tidak lagi memimpin bekas anak buahnya atau pasukan lainnya. Tak ada lagi jabatan menterang macam komandan disandangnya.
Namun dia tetap menjadi orang berguna di militer. Dari 1953 hingga 1956, dia hanya menjadi staf di markas Wirabuana di Makassar. Pada 1956-1959, dia menjadi kepala staf di Kesatuan Reserve Umum (KRU) Hasanuddin ketika komandan Kodam-nya M Jusuf. Lalu pada 1959-1961, Azis menjadi kordinator pendidikan dan latihan di Kodam Hasanuddin. Pernah pula dia menjadi Asisten 2 (operasi) di Kodam tersebut.
Pangkat terakhirnya di TNI adalah Kolonel. Ketika M Jusuf jadi menteri perindustrian, Azis ditugaskan pula ke departemen tersebut.