Masuk Daftar
My Getplus

Aspirasi Hari (Perjuangan) Ibu Lewat Seni Kontemporer

Pameran “Indonesian Women Artists #3” akan menghadirkan sepuluh perempuan perupa berikut karya-karya mereka yang mengusung agenda ganda.

Oleh: Randy Wirayudha | 23 Des 2020
Salah satu karya seni rupa kontemporer pada pameran "Indonesian Women Artists #2" tahun 2019 (galeri-nasional.or.id)

HARI Ibu yang jatuh setiap 22 Desember dibuat untuk memperingati Kongres Perempuan Indonesia I yang dihelat pada 1928. Seiring zaman, tafsir terhadap momen itu melenceng bahkan keliru kendati tetap dirayakan kaum perempuan lewat beragam cara hingga kini.

Makna sejati perjuangan perempuan itulah yang ingin ditegaskan kembali Cemara 6 Foundation lewat pameran “Indonesian Women Artists #3: Infusions Into Contemporary Art” (IWA #3) pada 7-21 Maret 2021 mendatang. Pameran tersebut akan memamerkan karya-karya seni rupa kontemporer teranyar dari 10 perempuan perupa: Arahmaiani Faisal, Dolorosa Sinaga, Bibiana Lee, Dyan Anggraini, Indah Arsyad, Mella Jaarsma, Melati Suryodarmo, Nunung W. S., Sri Astari Rasjid, dan Titarubi.

“Tanggal 22 Desember 1928 kita memperingati ikrar para perempuan se-nusantara untuk memperbaiki kehidupan bangsa dan nasib perempuan. Tapi sejumlah perempuan menolak sebutan (Hari Ibu) itu. Padahal di momen itu lebih tepat disebut Hari Perempuan atau Hari Ibu Bangsa,” ujar kurator pameran Carla Bianpoen dalam dialog virtual pra-pameran bertajuk serupa, Selasa (22/12/2020) petang.

Advertising
Advertising

Sederet nama perempuan perupa di atas merupakan perupa kontemporer yang bertahan pada masa Orde Baru (Orba). Menurut kurator seni dan Direktur Biennale Jogja Foundation Alia Swastika, kesepuluh perupa di atas hanya sebagian kecil dari perempuan perupa yang tetap bisa berkarya di kala pemerintah rezim Orba gencar mempropagandakan “Ibuisme” di kalangan perempuan.

Baca juga: Hari (Perjuangan) Ibu

Minimnya kebebasan berekspresi perempuan dalam seni berkaitan erat dengan pergeseran situasi politik pasca-1965 yang ditandai antara lain oleh pembubaran sejumlah organisasi perempuan. Pemerintah Orba mengkampanyekan narasi bahwa perempuan kodratnya hanya berkutat pada urusan kasur dan dapur lewat Panca Dharma Wanita.

“Itu yang diperkenalkan pemerintah Orba dan masuk juga dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), di mana definisi atau deskripsinya menempatkan perempuan di wilayah yang sangat domestik. ‘Ibuisme’ negara terjadi karena konstruksi pemerintah atas bayangan ideal perempuan sebagai pelaku pekerjaan domestik,” kata Alia menimpali.

Alia Swastika, kurator dan Direktur Biennale Jogja Foundation (sharjahart.org)

Akibatnya, nama-nama perempuan perupa itu hilang dalam sejarah pergerakan perempuan dan sejarah seni di Indonesia itu sendiri. Kendati kemudian efek kampanye Orba itu membuat kebanyakan perempuan perupa berhenti dari seniman profesional setelah mereka berkeluarga, ada sedikit di antara mereka yang punya keistimewaan dalam berkarya.

“Dampak lainnya, sebagian besar perupa yang saya temui tidak secara langsung mengidentifikasi dirinya sebagai feminis. Walau tindakan dan karya mereka sebenarnya menunjukkan kesadaran mereka terhadap solidaritas perempuan,” tambahnya.

Sedikit dari perempuan perupa yang masih bertahan di antaranya adalah 10 seniman di atas yang karya-karya terbarunya akan ditampilkan di pameran IWA #3. Masing-masing perempuan perupa yang dipilih punya ideologi dan aspirasi tertentu yang selama ini disampaikan melalui karya-karya mereka.

Nunung W.S., seniman kelahiran Lawang, Jawa Timur, 9 Juni 1948, misalnya. Disebutkan Carla, Nunung satu-satunya perempuan perupa yang bertahan lebih dari 50 tahun mengekspresikan gagasannya lewat lukisan abstrak.

“Nunung menyebut karya-karyanya sebagai lives journey. Ia mengacu pada semangat spiritual berlandaskan religi dan mistik yang magis. Nunung juga secara intuitif merujuk ke budaya tradisional. Karya-karyanya yang menunjukkan bekas-bekas lapisan warna yang jadi dasar lukisannya, mengingatkan kita pada kain batik yang ujungnya biasanya ditandai bahan yang menjadi dasar,” sambung Carla.

Baca juga: Pembatasan Sosial dan Isolasi Diri dalam Lukisan

Selain Nunung, ada Sri Astari Rasjid, perempuan perupa yang selama tiga dekade hingga kini tetap berkarya sembari mengemban tugas negara sebagai duta besar RI untuk Bulgaria, Makedonia Utara, dan Albania. Astari, menurut Carla, merupakan perupa yang memfusikan fungsi seni dan diplomasi untuk menyuarakan kritik gender.

“Terlihat di karyanya yang bertajuk ‘Home’, sebuah instalasi raksasa yang dibuat dari tas branded yang bermakna kritik gender mengenai anggapan bahwa tempat perempan hanyalah di rumah. Ironisnya, karyanya juga jadi simbol seluruh umat manusia yang dipaksa virus COVID-19 untuk stay di rumah saja,” lanjutnya.

10 perempuan perupa, ki-ka: Arahmaiani Faisal, Dolorosa Sinaga, Bibiana Lee, Indah Arsyad, Dyan Anggraini, Mella Jaarsma, Melati Suryodarmo, Titarubi, Sri Astari Rasjid & Nunung WS (museummacan.org/koalisiseni.or.id/galeri-nasional.or.id/Instagram @mellajarsma/@suryodarmomelati/@titarubi/Twitter @kbrisofia/kemdikbud.go.id)

Ada juga Titarubi, yang selama tiga dekade konsisten melawan stereotip, kesenjangan gender, konstruksi kultural, serta represi sosial politik terhadap perempuan sejak era kolonial. Lalu, Arahmaiani Faisal menyajikan karya-karya  yang terpicu oleh kesadaran dan keinginan akan keadilan dalam kemanusiaan, perdamaian, hubungan egaliter, serta pluralisme. Satu dari ratusan karyanya yang ramai diapresiasi di dunia internasional adalah lukisan “Lingga-Yoni”.

“Secara simbolis dan filosofis ia ingin memberi aksen pada bentuk falus dan vagina sebagai entitas sakral yang tak terpisahkan. Awalnya karya ini ditafsirkan sebagai ungkapan aktivis feminis belaka. Padahal karyanya berbicara jauh daripada itu,” papar Carla.

IWA #3 juga akan menampilkan karya-karya Dolorosa Sinaga. Dolo dipilih Carla karena sejak awal berkiprah selalu berpihak dan menyuarakan kaum perempuan yang tertindas dan terpinggirkan lewat karya-karya patungnya.

“Lewat tubuh perempuan ia berbicara mengenai kondisi kemanusiaan. Karya terkenalnya, ‘Solidaritas’, memperlihatkan sosok-sosok perempuan yang menjalin solidaritas dan membangun kekuatan untuk melawan keterpurukan,” tambahnya.

Baca juga: Emiria Sunassa, Perupa Perempuan Genius

Perspektif unik dan apik dihadirkan perupa Dyan Anggraini, yang selama dua dekade menjalani dua kehidupan berbeda sekaligus, sebagai perupa dan birokrat. Dari posisinya itu Dyan menghasilkan banyak karya yang mengkritik birokrasi itu sendiri. Karya kontemporernya yang bertajuk “Priyayi” ramai diperbincangkan di Konferensi Seni dan Pendidikan Seni Internasional (ICADE) II pada 2019 lantaran mengungkapkan kekhawatiran akan terbungkamnya ekspresi bebas para perempuan perupa itu sendiri.

“Dari ranah seni performance, ada nama Melati Suryodarmo yang berkarya sepanjang dua dekade terakhir dan memperkenalkan performance berdurasi panjang. Karya terkenalnya ‘Exergie Butter-Dance’, di mana dia menari di atas potongan mentega yang meleleh sebagai metafora dari kehidupan,” kata Carla.

Ada lagi Mella Jaarsma, yang tak hanya aktif sebagai perupa tapi juga memberi tempat alternatif bagi perempuan perupa lain secara khusus dan seniman-seniman muda lain secara umum lewat pendirian Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta. “Dia adalah driving force, kunci berkembangnya seni alternatif dan eksperimental di Yogyakarta sejak 1970-an,” tutur Carla.

Sementara, Indah Arsyad selalu menyuarakan pengaruh global dalam mengubah karakter otentik manusia desa dan urban seiring zaman. Indah juga perupa yang menyentuh visi futuristik untuk mengusung gagasan akan kritik kekerasan terhadap perempuan hingga perubahan iklim.

“Juga ada Bibiana Lee, perempuan perupa pertama dan satu-satunya yang mengangkat dan mendokumentasikan seluruh sejarah diskriminasi etnis Tionghoa di atas porselen atau keramik. Puncak kreativitasnya terjadi kala memuncak perkara Gubernur Jakarta (Basuki Tjahaja Purnama/Ahok, red.). Maka terjadilah karya besarnya dalam pameran ‘I Am China’ yang menandakan seluruh perjalanan Tionghoa peranakan dari abad ke-17 hingga abad ke-21. Ia menggunakan material yang rapuh untuk memperjelas pesan akan kerapuhan peranakan Tionghoa di Indonesia,” sambungnya.

Perempuan Perupa Agen Ganda

Dari kesepuluh perempuan perupa itu, menurut kurator dan dosen seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Hujatnikajennong, tampak bahwa mereka bukan perempuan perupa biasa. Mereka seolah “agen ganda” karena pemilihannya tidak hanya berdasarkan aspek estetika semata.

“Figur-figur ini memberikan semacam impresi bahwa pameran bertajuk ‘infusion’ ini punya agenda ganda juga. Dari aspek kuratorialnya, dilakukan berdasarkan pertimbangan tidak sekadar karya, makanya punya sisi ganda. Dalam pendekatan studi pameran dan exhibition histories, juga dibicarakan suatu kaitan tentang agency atau keagenan yang berdampak pada medan seni,” timpal Agung.

Kurator Agung Hujatnikajennong (sharjahart.org)

Beberapa figur seperti Mella Jaarsma, misalnya, lanjut Agung, sejak 1980-an sudah tampak perannya sebagai “agen ganda”. Selain sebagai perempuan perupa, ia juga mengelola dan menyediakan ruang bagi sesamanya dengan mendirikan Rumah Seni Cemeti.

“Di sisi lain, dari sosok Mbak Mella, kemudian terlihat aspek subyektivitas tentang perempuan dalam program-program di Cemeti. Ia juga punya andil besar kepada kemunculan para perempuan perupa lain, semisal Murniasih. Ia juga gigih membangun jejaring internasional hingga Indonesia dipandang di kancah internasional,” terangnya.

Baca juga: Zainal Beta, Sang Pelukis Tanah Air

Peran serupa juga ditemukan pada sosok Melati Suryodarmo. Selain konsisten sebagai perupa, dia juga sebagai pengelola festival rutin untuk melahirkan performer-performer muda perempuan. Dari dua tokoh itu saja, Agung melihat bahwa IWA #3 tak ingin seperti pameran-pameran mainstream. 

“IWA #3 bisa melampaui agenda yang sangat tipikal pada pameran-pameran feminis yang biasanya berusaha mencari kanon karya, berusaha merevisi sejarah yang kanonnya sangat patriarkis. Dari pendekatan studi pameran kita bisa melihat pameran bersejarah (dalam IWA #3) yang dikuratori perempuan dan menampilkan isu atau kajian tentang perkembangan perempuan itu sendiri. Mella dan Melati kita lihat agency kuratorial perempuan pada medan seni yang memberi ruang lebih pada subyektivitas perempuan perupa,” imbuh Agung.

Dirjen Kebudayaan RI, Hilmar Farid (galeri-nasional.or.id)

Karya-karya berimpresi agen ganda dari figur-figur itulah yang setidaknya bisa mengisi ruang-ruang kosong yang acapkali diabaikan dalam historiografi seni rupa Indonesia. Hal ini diakui Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid. Menurutnya, sejak ia masih mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dalam satu dekade terakhir masa Orba, tak terdengar luas seniwati berikut karya mereka lantaran perangkat metodologis dan konseptualnya belum siap menghimpun peran-peran mereka.

“Padahal sejak dekade 1970 kita tahu ada banyak yang lain, selain Emiria Soenassa. Tapi historiografi saat itu tidak banyak mempertimbangkan dimensi gender. Tentu kita senang dalam 10 tahun terakhir kekurangan ini sudah mulai diimbangi sehingga pandangan kita mengenai sejarah seni rupa secara umum lebih diperkaya,” ungkap Hilmar.

Literatur sejarah mengenai perempuan perupa sejak masa 1950-an pun, diakui Hilmar, belum banyak eksis. Penelitiannya sering tak menyentuh pengetahuan awam.

“Ini betul-betul pantas kita angkat kembali, untuk memberi tempat yang tepat sehingga penilaian kita tentang narasi sejarah seni rupa secara umum bisa lebih adil. Ini misi penting juga buat kita ketika menyelenggarakan IWA. Diharapkan pameran IWA bisa jadi platform untuk melanjutkan upaya-upaya menghadirkan perspektif perempuan dan punya acuan yang lebih solid mengenai tempat perempuan di dunia seni rupa kita,” tandasnya.

Baca juga: Dolorosa Sinaga dan Patung Bung Karno di Aljazair

TAG

seni rupa perempuan pameran-lukisan hari ibu

ARTIKEL TERKAIT

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Jejak Para Pelukis Perempuan Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Kisah Pengorbanan Seorang Babu