ALA bisa karena biasa. Witing tresno jalaran soko kulino, kata orang Jawa. Terbiasa melihat sang ayah dan mendengar kiprah sang kakek yang berprofesi sebagai pembela rakyat kecil yang memiliki masalah hukum, Alex Maramis pun memutuskan mengikuti jejak mereka: menjadi pokrol bambu.
Pokrol bambu adalah sebutan untuk orang yang menjadi pembela bagi orang-orang yang tersangkut perkara hukum pada masa kolonial. Mereka umumnya cukup berpendidikan meskipun bukan lulusan sekolah hukum. Mereka juga memiliki kepedulian untuk membela rakyat kecil yang sedang berperkara. Salah duanya Ayah dan kakek Alex Maramis.
Alex Maramis bukan sekedar pokrol bambu. Ia seorang advokat sungguhan lulusan dari salah satu universitas bergengsi di negeri Belanda, Universitas Leiden. Meester in de Rechten (Mr.), gelar bergengsi bidang hukum pada masa kolonial resmi disandangnya pada 19 Juni 1924, tepat sehari sebelum ia berulang tahun ke-27. Seperti dikutip Provinciale Overijsselsche en Zwolsche Courant, 20 Juni 1924.
Usai lulus, Alex bergegas pulang ke Manado untuk menemui keluarga tercinta. Namun tak lama, dia berlayar ke Batavia untuk segera memulai karirnya sebagai seorang advokat. Darah pejuang yang mengalir di tubuhnya tak menghendakinya menjadi abdi penjajah sebagai ambtenaar. Pilihannya mantap : menjadi advokat partikelir.
Alex Maramis yang sangat menyadari pilihan karirnya tidak main-main dalam menempatkan posisi profesionalnya. Ia mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkedudukan di Bogor pada 15 November 1924, untuk memberinya izin menjadi Advokat dan Pokrol dari Pengadilan Negeri di Semarang.
“Permintaan tersebut disambut baik oleh pemerintah kolonial. Melalui surat keputusan tertanggal 12 Februari 1925 No. 19, mulai saat itulah Mr. A.A. Alex Maramis resmi menjadi Advokat dan Pokrol yang untuk pertama kalinya berkedudukan di Semarang,” tulis Parengkuan dalam A.A. Alex Maramis, SH
Profesi sebagai advokat di kota utama Jawa Tengah tersebut tak berlangsung lama. September 1926 Alex Maramis mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal untuk pindah ke Palembang, Sumatera. Permohonan itu direstui. “Gubernur Jenderal menyetujui kepindahannya ke Palembang dengan beslit No. 14 mulai tangga1 4 November 1926,” catat Algemeene handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 08 Oktober 1926.
Tidak terlalu jelas apa yang menjadi alasan Alex Maramis mengajukan kepindahan dari Semarang ke Palembang. Kemungkinan karena tak banyak perkara hukum yang ditanganinya selama di Semarang. Parengkuan mencatat saat di Palembang inilah Alex Maramis menangani kasus-kasus yang kemudian menunjukan kelasnya sebagai seorang advokat jempolan.
Selama lebih dari sepuluh tahun berpraktek di Palembang, Alex Maramis menunjukkan sisi kemanusiaannya yang begitu luhur dengan tak membeda-bedakan perlakuan terhadap klien yang dibelanya. Dari sekian kasus yang ditanganinya, dua kasus yang cukup menarik perhatian adalah saat ia membela seorang janda bernama Hadji Marijem binti Hadji Mohd. Tohir dan Dirk Jurriaan Manupassa yang memegang jabatan sebagai Controleur PTT di Tanjungkarang.
Hadji Maridjem hampir kehilangan rumah peninggalan almarhum suaminya. Dia mendapat gugatan dari saudara almarhum suaminya yang merasa juga memiliki hak secara adat terhadap rumah tersebut. Setelah proses hukum berjalan, dia mendapati kenyataan pahit. Rumahnya akan dilelang oleh panitia lelang pemerintah.
Merasa tidak diperlakukan tidak adil oleh pemerintah setempat, dia mengirim surat kepada Gubernur Jenderal untuk memohon keadilan. Dia bahkan mengirim pula surat kepada ketua Volksraad alias dewan rakyat.
Kasus tersebut menimbulkan kesimpangsiuran. Saat itulah Alex Maramis tampil sebagai pembela Hadji Maridjem dan sukses menjernihkan akar permasalahan.
Kata Alex Maramis, Hadji Maridjem adalah orang sederhana yang tidak mengerti prosedur hukum. Karena itu, Alex mengirim surat kepada Gubernur Jenderal dan Ketua Volksraad. Dia Maramis menjernihkan perkara tersebut dengan mengurai duduk perkaranya secara lengkap.
Berkat pembelaannya tersebut, kasus Hadji Maridjem menjadi jernih dan terarah. Residen Jambi kemudian menyurati Gubernur Jenderal pada 14 Maret 1938. Isinya, akan memperhatikan sungguh-sungguh masalah itu dan menyelesaikannya sesuai hukum yang berlaku.
Sementara itu kasus Dirk Jurriaan Manupassa, Controleur PTT di Tanjungkarang.yang ditangani Alex Maramis adalah kasus dirugikannya seorang pegawai kolonial karena tak dipenuhinya hak yang seharusnya diperolehnya. Tunjangan isterinya tak pernah dibayar oleh pemerintah.
Melalui kerjasama dengan sesama advokat yang bekerja di Batavia, Mr. Cl. A.S.M. Martens, Alex Maramis mengadukan perkara ini kepada Gubernur Jenderal dalam sepucuk surat bertanggal 14 Oktober 1933. Alex memenangi perkara tersebut. Tunjangan isteri D.J . Manupassa dibayarkan sepenuhnya.
Selepas dari Palembang, pada Juli 1939, Alex Maramis pindah berpraktek ke Batavia. Dia berkongsi dengan Mr. K.E. Kan. Keduanya diberi izin praktek di dalam wilayah kewenangan Mahkamah Agung Bagian B.
Advokat Nasionalis
Selain karena darah keluarga dan pengalaman bersekolah di Batavia, kecintaan pada tanah air dan bangsa dalam diri Alex Maramis mengental selama menempuh studi di Belanda. Dia, seperti kebanyakan mahasiswa Indonesia di Belanda pada dekade 1920-an, memilih bergabung dengan Indonesische Vereeniging alias Perhimpunan Indonesia (PI).
Saat dia kembali ke Hindia-Belanda, dia bergabung dengan PNI pimpinan Sukarno. Tidak banyak informasi mengenai keterlibatan Alex Maramis dalam PNI, namun beberapa aktivitas politik di luar statusnya sebagai advokat tersebut sempat tercatat jejak rekamnya.
Buku Rupiah Di Tengah Rentang Sejarah terbitan Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa Alex Maramis pernah ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai anggota pimpinan harian PNI. Disebut pula bahwa Alex Maramis menyampaikan pemikirannya tentang perundingan Linggarjati, dalam kongres Istimewa PNI di Malang pada 1947.
Alex Maramis berpandangan bahwa jika Linggarjati diterima oleh Indonesia, itu berarti Indonesia tak memiliki kemerdekaan secara penuh. Sebab, persetujuan tersebut hanya mengakui kekuasaan de facto atas Jawa dan Sumatera saja.
Pendapat Maramis beroleh dukungan dari Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Sartono, Sidik Djojosoekarto, dan Mr. Wirjono Prodjodikoro.
Selain PNI, Alex juga sepertinya aktif di organisasi kepemudaan Persatuan Pemuda Maesa. Organisasi ini berbasis kesukuan. Anggotanya pemuda Minahasa. Tapi apa saja sumbangsih Alex di organisasi ini, tak tercatat secara terang.
Menurut Parengkuan, Alex Maramis merupakan salah satu tokoh senior Persatuan Pemuda Maesa. Alex dihormati bersama beberapa tokoh lainnya seperti Dr. Sam Ratulangi, G.A. Maengkom, E.J. Lapian, J.R.O. Supit, A.E. Maengkom, M.R. Dajoh, P.W, dan Wuwungan. Keterangan itu diperoleh dari wawancara dengan G.A. Maengkom, Menteri Kehakiman pada Kabinet Djuanda (1957—1959).
Status Alex sebagai seorang ahli hukum lulusan universitas ternama di Belanda sebenarnya membuka peluangnya untuk jadi ambtenaar atau pegawai pemerintah Hindia Belanda. Dia bisa hidup sangat sejahtera dari situ. Tapi Alex telah memilih jalan pedangnya sendiri : menjadi advokat partikelir.
Meski pendapatannya jauh di bawah ambtenaar, Alex dapat mewujudkan cinta dan simpatinya pada bangsa serta orang-orang kecil melalui jalan advokat partikelir. Darah juangnya mengalir dan terpatri kuat. Dia seperti kakek dan ayahnya : mengabdikan diri untuk membela saudara sebangsanya. Tak seorang pun menduga, Alex yang pendiam itu punya semangat menggelegak terhadap bangsanya dan rakyat kecil,
Sebagai seorang nasionalis, Alex Maramis lebih memilih jalur sepi dengan langsung terjun pada persoalan-persoalan konkret yang dihadapi oleh saudara sebangsanya sebagai seorang advokat.
Alex Maramis, anak seorang pokrol bambu tersebut, nyata-nyata seorang advokat nasionalis yang andal.*