Penerjemahan al-Qur’an di Cina
Menghormati ajaran dan kitab suci umat Islam, nonmuslim dan Yahudi ini menerjemahkan al-Qur’an di Cina.
KENDATI Islam masuk ke Cina sejak era Dinasti Tang (618-907), al-Qur’an baru diterjemahkan dalam bahasa Mandarin utuh 30 juz pada masa Kuomintang berkuasa. Penyebabnya, menurut Prof. Yahya Lin Song (1930-2015) dalam Gulanjing zai Zhongguo (Al-Qur’an di Cina, 2007), karena para cendekiawan muslim di Cina merasa “takut merusak makna asli yang dimaksud Kalamullah.”
Meskipun begitu, bukan berarti al-Qur’an tidak dialihbahasakan sama sekali. Potongan-potongan ayat, surat-surat pendek juz ‘amma yang biasa digunakan dalam salat, diterjemahkan oleh beberapa muslim ahli Islam ketika Dinasti Qing (1644-1912) masih bertakhta.
Misalnya, Liu Zhi (1660-1739), penggagas penyerbukan pemikiran Islam dengan falsafah Konfusius (huiru), menyisipkan terjemahan surat al-Fatihah, an-Nasr, dan al-Masad dalam jilid 7, 13, dan 15 bukunya Tianfang Zhisheng Shilu (Kisah Nyata Nabi Terakhir) yang terbit pada 1724. Terjemahannya meniru gaya penulisan sajak klasik empat larik (siyanti) dalam antologi puisi pertama di Cina, Shi Jing, salah satu kitab suci agama Khonghucu.
Berawal dari situ, terjemahan surat-surat pendek berangsur terbit. Kumpulan surat-surat itu disebut “haiting”, pelafalan ringkas dari “khotim al-Qur’an”, penutup al-Qur’an. Pada 1899, terjemahan “haiting” karya Ma Lianyuan untuk pertama kalinya terbit di Kunming, Yunnan, berjudul Haiting Yijie (Terjemahan dan Penjelasan Haiting)
Sayangnya, penerjemahan yang diprakarsai muslim pakar Islam tidak berlanjut pada seluruh al-Qur’an. Yusuf Ma Dexin (1794-1874) yang fasih berbahasa Arab dan Persia, dibantu santrinya, Ma Anli dikabarkan berhasil menerjemahkan 20 juz. Belum rampung, terjemahan ini hangus terbakar. Beruntung, lima juz bisa diselamatkan dari musibah itu.
Terjemahan Ma Dexin disalin ulang dengan tulisan tangan oleh Ma Pinshi. Setelah lama disimpan seorang muslim, Zhao Zhenxue, terjemahan itu diterbitkan pada Desember 1927 oleh Zhongguo Huijiao Xuehui (Serikat Islam Cina) di Shanghai. Pada saat terjemahannya terbit, Ma Dexin telah meninggal lebih dari setengah abad sebelumnya. Setelah delapan tahun mengembara dan menimba ilmu di Timur Tengah, dia dibunuh orang suruhan Dinasti Qing lantaran terlibat Pemberontakan Panthay (1856-1873). Puluhan karya Ma Dexin tentang keislaman, baik dalam bahasa Arab maupun Mandarin, ditulis di tengah masa yang bergejolak itu.
Hingga Dinasti Qing dirobohkan dalam Revolusi Xinhai pada 1911, belum ada terjemahan 30 juz al-Qur’an yang terbit di Cina. Juga tak ada satupun muslim yang sukses menerjemahkannya.
Kekosongan ini baru berakhir pada Desember 1927. Penerbit Zhonghua Yinshuaju di Beiping (kini Beijing) menerbitkan terjemahan al-Qur’an 30 juz berjudul Kelanjing (Kitab Qur’an) karya Tiezheng, nonmuslim dari suku Han yang tidak bisa bahasa Arab. Dia melandaskan terjemahannya pada al-Qur’an terjemahan bahasa Jepang karya Sakamoto Ken-ichi dan bahasa Inggris karya John Medows Rodwell. Kun fayakun!
Sekalipun bukan terjemahan langsung dari bahasa Arab, Tiezheng dalam pengantarnya mengakui kekhasan bahasa al-Qur’an yang “berirama harmonis.” Tapi, “terjemahan [saya] tidak dipaksakan untuk menyamai irama itu.”
Tak lama setelah terjemahan Tiezheng, pada Maret 1931 terjemahan lain berjudul Han Yi Gulanjing (Kitab Qur’an Terjemahan Mandarin) diterbitkan oleh penerbit Aili Yuan Guangcang Xuequn. Terjemahan al-Qur’an yang disebut “Ji Juemi ben” (edisi Ji Juemi) atau “Hatong ben” (edisi Hatong) ini terdiri dari delapan jilid. Jilid pertama berisi pengantar yang ditulis tangan oleh tujuh orang: Cen Chunxuan, Zheng Yuan, Xia Shoutian, Halim, Hatong, Luo Jialing, dan Ji Juemi. Kecuali Halim, semuanya nonmuslim. Tujuh jilid sisanya berisi terjemahan al-Qur’an.
Terjemahan tersebut hasil kerja berjamaah yang dilakukan di rumah Hatong, didanai dan diterbitkan oleh penerbit milik Hatong di Shanghai. Ada 13 orang dari pelbagai daerah turut dalam usaha penerjemahan yang masing-masing mempunyai peran dan kedudukan tersendiri.
Posisi tertinggi ditempati Hatong dan istrinya, Luo Jialing, sebagai penyunting. Kemudian Ji Juemi sebagai penerjemah utama. Disusul pemeriksa bahasa Arab Li Tingxiang dan Xue Tianhui. Lalu, berurutan, pemeriksa bahasa Inggris Zhong Fuhua dan Luo Youqi; pemeriksa bahasa Jepang Fan Bingqing dan Hu Yi; pemeriksa bahasa Mandarin Fei Yourong; juru tulis Fu Liangxi dan Lu Jiankui; diakhiri oleh pengawas Yang Ruilin. Patut diketahui, Li Tingxiang dan Xue Tianhui adalah pakar Islam terkemuka kala itu. Di antara mereka cuma Li dan Xue yang muslim.
Seperti Tiezheng, Ji Juemi juga nonmuslim yang tidak mengerti bahasa Arab. Namun, sebagaimana ditegaskan dalam pengantarnya, terhadap agama Islam, dia “tidak hanya menghormati ajarannya, tetapi juga kitab sucinya.” Menurutnya, Al-Qur’an penting untuk diterjemahkan lagi sebab “barangkali terdapat beberapa kesalahan dalam terjemahan al-Qur’an oleh Tiezheng.” Karenanya, dia mengumpulkan pakar-pakar bahasa guna menerjemahkan kembali al-Qur’an dengan “melakukan revisi berkali-kali agar kata-kata di dalamnya lebih ringkas, mudah dimengerti, dan indah.”
Tujuan itu tercapai. Menurut Lin Song, dibandingkan terjemahan Tiezheng yang dilakukan sendirian, kualitas terjemahan Ji Juemi yang dikerjakan berkelompok dan melibatkan dua muslim ahli Islam, lebih meningkat.
Lantas, siapakah Hatong? Hatong adalah nama Mandarin dari Silas Aaron Hardoon (1851-1931), seorang taipan masyhur pengembang real estate di Shanghai. Dia lahir di Baghdad dari keluarga Yahudi miskin. Ji Juemi bekerja untuknya. Menjadi butler kepercayaannya. Muslim, di Cina khususnya, berhutang budi pada Yahudi satu ini. Ado-nay Hu na-chalatah, v’tanu-ach b’shalom al mishkavah. Amayn.
Penulis adalah visiting scholar di Sun Yat-sen University, kontributor Historia di Cina.
Baca juga:
Alquran Cetakan Jepang
Riwayat Alquran Bombay
Kitab Para Penyair
Mengorupsi Kitab Suci
Alkitab Seribu Bahasa
Tambahkan komentar
Belum ada komentar