Mengelola Jamaah Haji dari Masa ke Masa
Dahulu perkara perjalanan haji jadi urusan pribadi. Sejak Orde Baru dimonopoli negara.
SALAH satu langkah strategis Presiden Prabowo Subianto usai membentuk Kabinet Merah Putih adalah membentuk Badan Haji dan Umrah yang setara kementerian. Kendati baru akan efektif mulai 2026, badan yang terpisah dari Kementerian Agama (Kemenag) itu akan mengambilalih urusan haji dari Direktorat Haji dan Umrah Kemenag. Sementara belum efektif, Badan Haji dan Umrah hingga 2025 masih tetap berkoordinasi dengan Ditjen Haji dan Umrah.
Menurut peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (PPIM UIN Jakarta) Dadi Darmadi, langkah itu diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan kenyamanan ibadah haji dan umrah. Sebab, beberapa kasus sering terjadi selama ini. Mulai dari konsumsi tak mengenakkan jamaah haji pada 2023 hingga persoalan pengawasan dan transparansi kuota haji yang sempat dipersoalkan Pansus Haji di DPR pada September 2024.
“Pak Prabowo juga menyampaikan sebuah pesan penting. Beliau bilang, masak jamaah haji Indonesia sedemikian banyak, kok enggak bisa bikin perkampungan jamaah haji di (Arab Saudi) sana? Perkampungan haji agar terkonsentrasi di satu wilayah karena kadang-kadang ada rombongan yang tercerai-berai,” kata Dadi dalam gelar wicara “JASMERAH” Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI (Pujasintara Perpusnas RI) bertajuk “Perjalanan ke Tanah Suci: Jamaah Haji Indonesia dalam Arus Sejarah” di Perpusnas RI, Rabu (30/10/2024).
Jamaah haji Indonesia, lanjut Dadi, menjadi jamaah haji terbesar di dunia dalam jumlah sejak 1990-an dan itu dampak dari pengambilalihan pengelolaannya dari sektor swasta menjadi diurusi negara sepenuhnya pada 1970-an. Menjadikannya berbeda dari era Orde Lama apalagi di masa kolonial, di mana perkara ibadah haji menim campur tangan penguasa.
“Karena kata (penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial) Snouck Hurgronje, pemerintah tidak boleh terlibat langsung mengurusi jamaah haji. Karena apa? Karena ini adalah masalah keagamaan yang seyogyanya dijalankan umat Islam sendiri sehingga pada masa itu kira-kira masalah ibadah haji adalah masalah pribadi dan dikelola kelompok-kelompok yang mengurusi haji secara personal lewat kelompok-kelompok syekh dan lain-lain. Jadi bukan negara, bukan kementerian, bukan badan pemerintah lainnya,” sambungnya.
Baca juga: Resolusi Membatasi Haji
Cawe-Cawe Urusan Haji
Catatan paling awal tentang haji yang dilakukan “Muslim Jawi” atau muslim Nusantara (termasuk Melayu) menunjukkan, mereka sudah berhaji setidak sejak abad ke-12. Dalam catatannya, Intinerario de Ludouico de Varthema Bolognese (1510), penjelajah Italia Ludovico di Varthema menuliskan bahwa ketika ia tiba di Makkah pada 1503, ia sudah melihat para jamaah haji dari Nusantara yang ia sebut “India Timur Kecil”.
Kian ramainya umat Islam yang berhaji tak lepas dari dampak kebangkitan kota Jeddah sebagai pelabuhan internasional. Wilayah Hejaz (Jeddah, Makkah, dan Madinah) lalu berkembang tak hanya jadi kota tujuan ibadah haji tapi juga tempat menimba ilmu Islam dan ilmu-ilmu sains. Hal ini juga mendorong makin seringnya kesultanan-kesultanan di Nusantara mengirimkan para cendekiawan (ulama) ke Hejaz. Mulai dari Kesultanan Melaka, Kesultanan Aceh, hingga Kesultanan Banten.
“Yang berhaji biasanya kalau bukan dari kalangan bangsawan, adalah mereka yang didukung patronase dari sultan, hulubalang, atau wazir (menteri) dan sebagainya. Itu ada sponsor dari pihak kesultanan. Jadi ada aspek vertikal yakni ibadah kepada Tuhan, berziarah ke (makam) Nabi Muhammad SAW dan ada juga aspek horizontal, di mana mereka bertemu dengan sesama muslim dari negeri lain,” jelas akademisi Universitas Islam Internasional Indonesia, Zacky Hairul Umam.
Baca juga: Menengok Transformasi Peranan Tarekat Islam
Para ulama yang pulang setelah menimba ilmu di Hejaz itu turut jadi perhatian –yang kemudian diwujudkan lewat kebijakan– para kolonialis yang sedang berkuasa. Portugis mencegah Kesultanan Melaka mendominasi Selat Malaka. Lalu, Kongsi Dagang Hindia Timur VOC mempersulit perjalanan haji karena kekhawatirannya terhadap pengaruh ajaran-ajaran jihad dari Makkah yang masuk ke Nusantara.
Alhasil mulai akhir abad ke-17, VOC ikut “cawe-cawe” untuk urusan perjalanan haji lewat screening sejak sebelum dan setelah berhaji. Mulai 1689, VOC memberlakukan surat izin berhaji. Barang siapa yang tak mematuhinya, hukuman berat bakal menanti.
“Pada Maret 1689, VOC menangkap tiga orang Bugis yang baru pulang dari Tanah Arab dan membuangnya ke Sri Lanka lalu diteruskan ke Tanjung Harapan,” tulis Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam, Tahun 1482-1890.
Semasa Hindia Belanda, pemerintah mulai menetapkan aturan pemberangkatan jamaah haji. Menurut Yudi Latief dalam Genealogi Inteligensia: Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia Muslim Indonesia Abad XX, pada 1825, 1831, dan 1859, pemerintah kolonial menetapkan sejumlah aturan untuk mengawasi dan membatasi perjalanan jamaah haji.
Baca juga: Mula Haji Nusantara
Pada 1859, pemerintah melalui asisten wedana dan aparat pemerintah lainnya mewajibkan setiap jamaah haji harus memiliki dana 500 gulden dan surat izin haji. Lantas mulai 1911, pemerintah juga menetapkan bahwa setiap jamaah haji yang baru pulang dari tanah Arab mesti lebih dulu dikarantina di Pulau Onrust.
Tidak hanya itu, mereka yang baru pulang beribadah haji juga mesti “dilabeli” sebutan haji. Menurut aturan Staatsblad voor Nederlandsch-Indie 1859 nomor 42, label tersebut bisa didapat jika para jamaah haji lulus dalam ujian haji dan menerima sertifikat haji. Izin juga diberikan untuk mengenakan pakaian laiknya haji di tanah Arab.
“Walau hal ini turut dikritik Hurgronje yang menganggap pemeriksaan dan pemberian ijazah haji tidaklah perlu. Terlebih setiap ujian haji dapat ditempuh dengan hasil baik oleh orang yang bukan (jamaah) haji, sementara haji yang agak pandir hanya akan lulus dengan susah payah,” ungkap E. Gobee dan C. Adriaanse dalam Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936.
Baca juga: Ketika Berhaji Dilarang VOC
Sewaktu Perang Dunia I (1914-1918) pecah, pemerintah kolonial memoratorium semua perjalanan haji dan umrah dengan alasan keamanan. Pun juga di masa pendudukan Jepang (1942-1945).
“Jepang membenci para haji karena mereka tidak bisa merekrut tentara dan dana yang dibutuhkan oleh pemerintah militer Jepang. Di sisi lain, para haji maupun para tokoh penggerak yang bergabung dalam Masyumi mendapat tekanan yang tidak main-main dari militer Jepang. Masyarakat yang menabung ikut terdampak karena mereka yang hendak berangkat ke tanah suci terpaksa dirampas oleh Jepang. Selain masalah perampasan, faktor keamanan juga jadi alasan mengapa perjalanan haji di masa Jepang tidak dilakukan,” tulis Kyota Hamzah dalam Haji: Ibadah yang Mengubah Sejarah Nusantara.
Selepas Perang Dunia II (1939-1945), pemerintah Hindia Belanda yang berusaha kembali berkuasa di Indonesia mencoba mengambil hati umat Islam dengan ikut campur membantu pengurusan ibadah haji. Namun, sambung Dadi, mereka mendapat resistensi dari kalangan ulama yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Mereka yang waktu itu berhaji dengan kapal-kapal Belanda, ketika tiba kembali diledek oleh banyak orang sebagai ‘Haji Belanda’. Karena (pendiri Nahdlatul Ulama) KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad, di mana salah satunya melarang jamaah haji Indonesia untuk ikut naik haji kalau difasilitasi Belanda,” terang Dadi lagi.
Baca juga: Tak Ada Perjalanan Haji Saat Perang Dunia I hingga Ultimatum Belanda
Di masa Orde Lama, perjalanan haji sudah banyak dikelola sektor swasta. Salah satunya oleh Yayasan Perjalanan Haji Indonesia yang bekerjasama dengan Bank Haji Indonesia dan perusahaan pelayaran Muslimin Indonesia (MUSI).
“Pada 1950 pemerintah memberikan kuasa kepada yayasan itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Bank Haji Indonesia dan MUSI didirikan. Tapi sepuluh tahun kemudian, MUSI masih saja bertindak sebagai agen dalam men-carter kapal dari perusahaan asing; MUSI tidak mempunyai kapal sendiri hingga akhirnya pada 1962 MUSI dibekukan pemerintah,” ungkap Abdul Haris dalam Akar Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia.
Presiden Sukarno meniti upaya agar negara ikut “hadir” mengurusi haji dengan membentuk Kementerian Urusan Haji pada Kabinet Dwikora I (1964-1965) yang menterinya dijabat Mayjen (Purn.) Farid Ma’ruf. Meski begitu, pemerintah tetap mengizinkan sektor swasta –seperti PT Arafat yang terafiliasi dengan para tokoh Masyumi– ikut mengurusi para jamaah haji.
“Wajar pemerintah mulai ikut campur karena kemudian tetap ada kasus-kasus jamaah yang telantar dan tidak berangkat karena ada masalah di PT Arafat. Baru pada 1970-an di era Orde Baru, pemerintah men-take over secara absolut,” tambah Dadi.
Baca juga: Haji Terganggu Pandemi
Sejak itu, semua urusan haji dipegang Kemenag. Sektor swasta sekadar diizinkan ikut mengurusi para jamaah umrah.
“Makin lama otoritas pemerintah makin besar dan bahkan harus 100 persen (haji) dikelola negara sehingga muncullah suara-suara yang menyatakan ketidakpuasan terhadap pengelolaan haji yang terlalu monopoli oleh pemerintah. Tapi klaim pemerintah sangat wajar karena tidak ingin ada kasus-kasus seperti jamaah yang telantar lagi seperti kasus PT Arafat,” imbuhnya.
Belakangan, pemerintah melonggarkan kontrolnya dengan memberikan kurang dari 10 persen pengelolaan haji kepada swasta dan bertahan hingga pasca-Reformasi. Haji furoda yang mahal pun kian diminati hingga menimbulkan kegaduhan di era akhir pemerintahan Jokowi.
Hingga kini, persoalan transparansi pengelolaan kuota dan dana haji masih jadi pertanyaan. Dengan pembentukan Badan Haji dan Umrah yang terpisah dari Kemenag diharapkan bisa jadi solusi dan mampu meningkatkan pelayanan jamaah haji ke depannya.
“Tapi menurut saya juga ke depannya perdebatan tidak akan hilang karena memang komunikasi dan koordinasi itu tidak mudah. Apalagi juga mungkin akan ada tumpang tindih kebijakan dan yang lainnya sehingga mungkin diperlukan hubungan yang lebih baik antarbirokrasi untuk melahirkan inovasi-inovasi ke depan untuk mengurusi haji dengan lebih baik,” tandas Dadi.
Baca juga: Ketika Orang Sunda Mulai Berhaji
Tambahkan komentar
Belum ada komentar