Ketika Berhaji Dilarang VOC
Bagaimana pelaksanaan rukun Islam ke-5 itu pernah menjadi sesuatu yang menakutkan bagi orang-orang Belanda.
Indonesia secara resmi telah mengumumkan untuk tidak mengirimkan jamaah haji tahun ini. Selain karena Kerajaan Arab Saudi belum membuka akses layanan penyelenggaraan ibadah haji pada 2021, juga (karena pandemi) Indonesia belum juga diundang untuk menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan haji.
"Pemerintah melalui Kementerian Agama menerbitkan keputusan Menag RI Nomor 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 H 2021 M," ungkap Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers yang disiarkan secara langsung oleh akun Instagram Kementerian Agama pada Kamis (3/6/2021).
Jauh sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri, pelaksanaan ibadah haji pernah sering tidak terselenggara. Menurut sejarawan Henri Chambert-Loir, sejak sebagian wilayah Nusantara dikuasai oleh VOC (Maskapai Dagang Hindia Timur) pada akhir 1600-an, izin berhaji ke Mekkah mulai dipersulit. Hal tersebut dilakukan karena adanya kekhawatiran pihak VOC terhadap pengaruh ajaran perang sabil yang didapat oleh para haji selama mengunjungi tanah Arab.
Baca juga:
Catatan Perjalanan Haji Muslim Nusantara
VOC sangat merisaukan bahaya jihad. Tentu saja itu terjadi bukan tanpa alasan. Ketika orang-orang Eropa muncul di perairan Nusantara pada awal abad ke-16, resistensi sudah mulai muncul di kalangan raja-raja muslim lokal. Para raja tersebut tidak begitu menyukai cara dagang VOC yang memaksa dan menyerukan jihad untuk melawan kongsi dagang itu.
Memang selalu ada raja-raja lokal yang menawarkan kerjasama untuk berdagang atau untuk memerangi raja lain. Namun demikian, semangat jihad tidak berarti langsung hilang. Bahkan lebih lanjut, bagi orang-orang Eropa seruan religius itu merupakan bentuk bahaya laten.
Karena itu, pihak VOC berkepentingan melakukan larangan berhaji kepada wilayah-wilayah Nusantara yang dikuasai-nya. Minimal, para calon haji harus membekali diri mereka dengan surat izin resmi dari VOC. Jika tidak, maka hukuman penjara dan pengasingan akan menanti para haji sepulang dari tanah Arab.
“Pada Maret 1689, VOC menangkap 3 orang Bugis yang baru pulang dari Tanah Arab dan membuangnya ke Srilanka lalu diteruskan ke Tanjung Harapan,” ungkap Loir dalam Naik Haji di Masa Silam, Tahun 1482—1890.
Peraturan itu tidak terkecuali berlaku pula untuk para penguasa yang sudah menjadi sekutu VOC. Sebagai contoh, hal tersebut pernah terjadi di wilayah Cianjur dan Bogor pada 1778. Ketika itu Bupati Cianjur Raden Enoh alias Aria Wiratanu VI dan Tumenggung Bogor sempat berencana mengirimkan beberapa ulama ke Mekkah untuk berhaji.
Baca juga:
Namun upaya itu tak pernah terlaksana karena Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1777—1780) sama sekali tak memberi izin. Itu jelas melukiskan suasana kekhawatiran dan kebijakan garis keras VOC terhadap isu kebangkitan Islam yang bisa menjadi ideologi perantara untuk melawan kolonialisme Barat, kata Loir.
Ketakutan VOC memang tidak sepenuhnya salah. Dalam buku Trade and Civilization in The Indian Ocean An Economic: History from The Rise of Islam to 1750, K.N. Chaudhuri menyebut jika Mekkah memang merupakan titik temu semua muslim dunia yang akan melaksanakan haji.
“Itu memiliki arti penting dilihat secara politik dan ekonomi,” ungkap Chauduri seperti dikutip M. Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial.
Di Mekkah persinggungan antara orang-orang Islam dari Nusantara dengan muslim lainnya yang berasal dari negara lain kadang memunculkan kesadaran politik yang lebih religius untuk melawan penindasan yang dilakukan orang-orang Eropa. Sebagai contoh, kasus Haji Prawatasari di Cianjur bisa jadi merupakan hal yang membuat VOC harus berlaku hati-hati (bahkan keras) terhadap kebijakan berhaji.
Syahdan pada awal tahun 1700-an, Bupati Cianjur Aria Wiratanu II (1691--1707) merasa pusing dengan prilaku sang adik yang bernama Raden Prawatasari. Bagi pejabat yang mengabdi kepada VOC itu, sikap keras Prawata terhadap orang-orang Belanda membuat-nya ada dalam posisi dilematis. Supaya sang adik lebih “dewasa” dan berpikir dingin, maka Aria Wiratanu II memberangkatkan Prawatasari untuk pergi berhaji ke Mekkah.
Selesai berhaji, Raden Prawata tidak langsung pulang ke Cianjur. Dia justru singgah terlebih dahulu di Giri dan bergaul akrab dengan “ulama-ulama fanatik”. Begitu sampai ke kampung halamannya, menak Cianjur yang dijuluki “haji pengembara” itu mulai melancarkan pemberontakan terhadap kekuasaan VOC.
“Dia membangkitkan keyakinan penduduk dan semangat memberontak melawan orang asing yang tidak beragama,” ungkap Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870.
Baca juga:
Menurut sejarawan Cianjur Luki Muharam, harapan Aria Wiratanu II agar sang adik bisa “lebih tenang dan dewasa” sepulang dari Mekkah ternyata tak pernah terwujud. Alih-alih menjadi lebih mudah diatur, Haji Prawatasari malah semakin keras memegang sikap berontaknya terhadap kompeni.
“Dia bahkan melancarkan perlawanan bersenjata yang sulit dikendalikan di wilayah Jawa Barat, jauh sebelum Pangeran Diponegoro mengobarkan perlawanan terhadap Belanda di Jawa Tengah,” tutur Luki Muharam.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar