Tak Ada Perjalanan Haji Saat Perang Dunia I hingga Ultimatum Belanda
Berikut ini sejarah tak ada perjalanan haji saat Perang Dunia I, kerusuhan rasial di Bandung, perang Kusamba di Bali, Aceh menjadi daerah istimewa, dan nota ultimatum Belanda kepada Indonesia.
7 Mei 1915 Tak Ada Perjalanan Haji Saat Perang
Pemerintah Hindia Belanda, melalui Javasche Courant, mengumumkan bahwa selama masa perang tidak ada perjalanan haji ke Makkah. Pertimbangan pemerintah: biaya hidup di Makkah terlalu mahal, perubahan kurs mata uang Turki terhadap gulden Hindia Belanda, serta maskapai pelayaran Belanda menetapkan tak akan mengoperasikan kapal hajinya tahun ini.
Keputusan itu diprotes pemerintah Turki, yang melibatkan diri dalam Perang Dunia I. Namun, perang berimbas ke Timur Tengah, yang menyebabkan Makkah dianggap tak lagi aman. Demi memulangkan warga Hindia Belanda di Makkah yang terlantar, pemerintah mengirim kapal untuk mengangkut pulang mereka.
10 Mei 1963 Kerusuhan Rasial di Bandung
Perkelahian terjadi di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) antara mahasiswa Tionghoa dan non-Tionghoa akibat senggolan sepeda motor, yang menyulut kerusuhan rasial terbesar di Jawa Barat. Toko-toko Tionghoa menjadi sasaran amuk massa.
Dalam laporan staf Angkatan Kepolisian Sukarno Djojonagoro, toko-toko di Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, Jalan Oto Iskandardinata, dan Pasar Baru rusak. Selain itu, ratusan mobil dan sepeda motor dirusak atau dibakar. Kerusuhan ini kemudian menjalar ke kota-kota lain di Jawa Barat seperti Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon, dan Sukabumi.
Kerusuhan itu berawal dari sidang pengadilan di Cirebon pada Maret 1963 yang mengadili seorang pemuda, putra Dr. Murad (aktivis Partai Sosialis Indonesia), atas kasus kecelakaan yang menewaskan seorang pemuda Tionghoa. Rupanya putusan hakim yang membebaskan terdakwa tak memuaskan keluarga korban dan teman-temannya. Terjadilah perkelahian di halaman pengadilan, yang merembet pada pengrusakan toko-toko Tionghoa.
Kerusuhan menjalar ke Tegal sebelum pecah pula di Bandung dan sekitarnya. Buntut dari kerusuhan 10 Mei, enam mahasiswa ITB dan Universitas Padjadjaran (Unpad) ditetapkan sebagai terdakwa dan dijatuhi hukuman penjara oleh Pengadilan Negeri Bandung.
24 Mei 1849 Perang Kusamba
Pecah perang antara pemerintah kolonal Hindia Belanda dan Kerajaan Klungkung, Bali, di desa Kusamba. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal A.V. Michiels mulanya menghadapi perlawanan sengit di Pura Goa Lawah.
Karena kalah jumlah, pasukan Klungkung lari ke Kusumba. Di Kusumba, mereka kembali dipukul. Belanda menguasai Kusumba. Pasukan Belanda mendirikan perkemahan. Sedangkan pasukan Klungkung yang selamat membakar desa-desa di sekitar Kusumba agar pasukan Belanda tidak menyerang Pura Klungkung.
I Dewa Agung Istri Kenya, Ratu Klungkung, mengutus Anak Agung Ketut Agung untuk memimpin pembalasan. Laskar pamating (berani mati) dan telik tanem (pengintai) melakukan serangan pada pagi buta, keesokan harinya. Pasukan Belanda yang sedang beristirahat berhasil dikalahkan. Michiels tertembak, kemudian meninggal setelah mundur ke Padang Bai.
Perang Kusumba dilatarbelakangi kontrak-kontrak dan perjanjian bikinan Belanda yang merugikan Klungkung.
25 Mei 1959 Keistimewaan Aceh
Melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959, pemerintah memberi status “Daerah Istimewa” kepada Daerah Swantatra Tingkat I Aceh. Dengan predikat itu, Aceh memiliki hak otonomi yang luas di bidang agama, adat-budaya, dan pendidikan.
Pemberian status “Daerah Istimewa” dilatarbelakangi ketidakpuasan dan perlawanan rakyat Aceh, terutama pemberontak Darul Islam di Aceh. Untuk menyelesaikan masalah keamanan di Aceh, pemerintah mengirim satu misi khusus yang dipimpin Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi, sehingga dikenal dengan sebutan “Missi Hardi”.
Dalam perundingan, Dewan Revolusi Aceh menuntut agar Aceh menjadi negara bagian yang berdasarkan Islam. Karena ditolak, mereka menawar sebuah provinsi Islam dalam Republik Indonesia. Ini pun ditolak. Missi Hardi tetap menyodorkan konsepsi “Daerah Istimewa” yang diakhirnya disetujui. Keistimewaan Aceh ini kelak diperkuat dengan Undang-undang No. 22/1999.
Baca juga: Bangsawan Aceh dan Piagam Jakarta
27 Mei 1947 Nota Ultimatum Belanda
Pemerintah Belanda melalui Komisi Jenderal Belanda mengeluarkan nota ultimatum kepada pemerintah Republik Indonesia yang harus dijawab dalam waktu 14 hari.
Isinya: 1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama; 2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama; 3. Republik Indonesia harus mengirim beras ke daerah-daerah yang diduduki Belanda; 4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); 5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas ekspor dan impor.
Ultimatum itu dikeluarkan akibat perbedaan penafsiran antara Belanda dan Indonesia mengenai ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan Linggarjati. Perdana Menteri Sjahrir menyampaikan balasan yang mengakui kedudukan istimewa Belanda selama masa peralihan, namun menolak gendarmerie bersama. Kompromi itu menimbulkan oposisi dan mengakibatkan Kabinet Sjahrir jatuh. Belanda kembali mengeluarkan nota ultimatum, namun tak dijawab Kabinet Amir Sjarifuddin. Maka, Belanda pun melakukan agresi militer I.*
Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 30 Tahun III 2016
Tambahkan komentar
Belum ada komentar