Insentif untuk Para Petugas Medis
Pemerintah mengalokasikan insentif untuk para petugas medis. Hal sebaliknya terjadi di era kolonial.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp405,1 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menangani wabah covid-19. CNN Indonesia mengabarkan, dana tersebut akan diberikan untuk insentif kesehatan sebesar Rp75 triliun, insentif perlindungan sosial Rp110 triliun, insentif perpajakan dan Kredit Usaha Rakyat Rp70,1 triliun, dan insentif pembiayaan dan restrukturisasi Kredit Rp150 triliun.
Adapun insentif untuk petugas kesehatan yang ikut menangani covid-19 diberikan sebanyak Rp15 juta untuk dokter spesialis, Rp10 juta untuk dokter umum, Rp7,5 juta untuk bidan dan perawat, dan Rp5 juta untuk tenaga medis lainnya.
Pada masa kolonial, insentif juga diberikan kepada petugas medis yang dikerahkan untuk menangani wabah. Kala malaria melanda Jawa pada abad ke-19, Kepala Dinas Kesehatan Koloni dokter Willem Bosch mengusulkan agar seluruh petugas kesehatan yang ikut menangani wabah mendapat status pegawai negeri.
Baca juga:
Sejak 1824 para vaksinatur diangkat sebagai pegawai negeri. Residen Pasuruan dalam suratnya kepada Gubernur Jeneral Duymaer mengusulkan agar vaksinatur atau mantri cacar di daerahnya mendapat gaji f40 per bulan. Mereka juga diizinkan untuk mengenakan payung kala berpergian. Hal serupa juga berlaku untuk dokter Jawa. Kala itu, payung jadi simbol status sosial bagi orang Jawa dan Madura juga di mata para pejabat Eropa.
Bosch tidak menyukai rekomendasi itu. Pada Maret 1853 ia memberi tahu gubernur jenderal bahwa mantri cacar adalah jabatan medis paling rendah. Mereka tak tahu banyak tentang penanganan kesehatan selain instruksi vaksinasi paling sederhana, sehingga tidak seharusnya mereka mendapat penghargaan sebanyak itu. Menurut Liesbeth dalam bukunya Healers on the Colonial Market, Bosch khawatir penghargaan sosial yang tak beda jauh antara mantri dan dokter Jawa akan berdampak negatif pada perekrutan dokter Jawa baru dari keluarga Jawa terpandang.
“Tidak jelas juga apakah lulusan sekolah dokter Jawa yang mendapat posisi sebagai pemberi vaksin menikmati gaji dan status yang sama seperti vaksinatur biasa,” kata Liesbeth.
Baca juga: Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi
Pada 1854 di Priangan kala cacar mewabah, mantri cacar mendapat kenaikan gaji dari 3 gulden menjadi f21 per bulan. Dan usulan residen Pasuruan untuk menggaji mantri cacar sebanyak f40 gulden per bulan dikabulkan. Gaji tersebut dua kali lipat dari standar gaji mantri yang maksimum f25 per bulan.
Apresiasi pada kerja para mantri rupanya tak berlanjut kala malaria melanda Jawa. Untuk memberantas malaria, Dokter Eropa JT Terburgh dan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dibantu 10 mantri ditugaskan di daerah terjangkit. Hans Pols dalam Nurturing Indonesia mengisahkan, para mantri dibayar amat rendah. Mereka pun beerkeluh-kesah pada Tjipto sebagai dokter pribumi sekaligus atasan mereka.
Tjipto melaporkan hal tersebut ke pejabat Eropa setempat. Laporan Tjipto disanggah Terburgh dengan menyatakan para mantri Jawa hanya mau bekerja jika dibayar di atas standar upah. Lebih jauh Terburgh menuduh Tjipto dan para mantri Jawa tidak paham dengan kerja kemanusiaan.
Tjipto jelas tidak terima dengan tuduhan Terburgh. Tjipto pun mengancam kalau permintaan kenaikan gaji tidak dikabulkan, dia akan mengundurkan diri. Pada akhirnya Terburgh menolak protes Tjipto dan dia mengundurkan diri.
Baca juga: Dokter Pribumi Menolak Diskriminasi Gaji
Sementara, kala pes pertama kali merebak, dokter Logem datang bersama 14 dokter Jawa ke daerah terjangkit. Martina Safitry, dosen IAIN Surakarta, menyebut dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, para mantri dan dokter Jawa jadi ujung tombak pemberantasan pes yang bermula di Malang pada 1910. Para dokter Eropa enggan masuk ke desa-desa untuk mengobati penduduk pribumi secara langsung. Selain karena sekat rasial dan kelas, akses yang jauh membuat mayoritas dari mereka enggan masuk ke desa-desa.
Tjipto menjadi salah satu dokter yang terjun langsung menangani wabah itu bersama para mantri dan dokter Jawa lain. Namun sayang, para dokter Jawa ini mengalami diskriminasi berupa upah yang kecil. Padahal, mereka bertugas sejak jam 6.30 pagi hingga 5 sore. Setelah menangani pasien, mulai pukul 5.30 mereka harus membuat laporan kepada dokter Eropa yang mengawasi kerja mereka. “Bikin laporannya bisa sampai jam 9 malam. Jadi sudah tak ada jeda untuk diri mereka sendiri,” kata Martina pada Historia.
Meski terjun ke lapangan kala wabah pes, nasib para dokter Jawa kian buruk pada masa kepemimpinan dokter O.L.E. de Raadt. Gaji mereka diturunkan dari f60 menjadi f40. Selain itu, menurut Tjahaja Timoer 14 Januari 1914, fasilitas rumah mereka dicabut.
“Gaji perawat Eropa yang mengajar perempuan Jawa f250 per bulan. Jauh sekali gajinya, sangat diskriminatif,” kata Martina.
Baca juga: Ternyata Nasser Suka Kue Lêmpêr
Banyaknya beban kerja dus gaji kecil tersebut akhirnya memicu protes. Martina menyebut banyak konflik ketika kepemimpinan de Raadt yang dipicu pengurangan gaji.
Perubahan struktur besar-besaran dalam penanganan pes pun mulai dilakukan pada 1914. Jumlah mantri dan dokter Jawa yang diterjunkan makin banyak. Tugas mantri tidak terbatas pada vaksinasi tetapi juga penerangan (sosialisasi) tentang penyakit pes. Petugas medis Eropa sekali-dua berkunjung ke pedalaman.
Namun demikain, ada atau tidaknya perubahan insentif untuk tenaga medis tidak disebutkan. Faktanya, hingga generasi Bahder Djohan menjadi dokter tahun 1927, diskriminasi pada tenaga medis pribumi masih tercatat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar