Nestapa Pekerja Migran Indonesia di Negeri Jiran
Perlakuan buruk terhadap TKI di Malaysia berpotensi menjadi titik api yang bisa merusak hubungan Indonesia-Malaysia, kata Menlu Ali Alatas.
KASUS aparat Malaysia yang menembak mati pekerja migran Indonesia (PMI) jadi “kado” kecut bagi kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke negeri jiran itu. Kendati begitu, kasus itu tak disebut dalam pertemuan Prabowo dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim dan Yang di-Pertuan Agong XVII Sultan Ibrahim.
Kronologinya bermula dari aparat patroli Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di perairan Tanjung Rhu, Selangor pada 24 Januari dini hari mencegat kapal yang diduga membawa pekerja migran ilegal. Aparat APMM berdalih melakukan pengejaran dan melepaskan sekitar 10 tembakan yang menyasar pada lima PMI, di mana salah satunya tewas di tempat dan empat lainnya terluka.
Kendati begitu, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur yang baru mendapatkan akses kekonsuleran pada Selasa (28/1/2025) atau empat hari pasca-kejadian, mendapati informasi sebaliknya dari dua korban yang masih dirawat. Alhasil kasusnya sampai kini masih simpang siur.
“Dari keempat korban, dua WNI (warga negara Indonesia, red.) telah terverifikasi identitasnya, yaitu HA dan MZ yang keduanya berasal dari Provinsi Riau. Keduanya juga menjelaskan kronologi kejadian dan menyatakan tidak ada perlawanan dengan senjata tajam dari penumpang WNI terhadap aparat APMM,” tulis pernyataan Kementerian Luar Negeri RI di laman resminya, Rabu (29/1/2025).
Baca juga: Demi Keselamatan Buruh Perempuan
Terlepas dari tertundanya akses kekonsuleran yang diberikan pemerintah Malaysia, sayangnya kasus itu sama sekali tak disebut Presiden Prabowo dalam keterangan publiknya ketika menjadi tamu kenegaraan PM Malaysia Anwar Ibrahim pada Senin (27/1/2025). Presiden Prabowo cenderung mengungkit perihal isu PMI ilegal, menyusul deportasi 108 PMI oleh pemerintah Malaysia dua hari sebelumnya, Sabtu (25/1/2025).
“Kita akan selesaikan masalah-masalah bilateral. Masalah tenaga kerja (Indonesia/TKI, kini PMI) pun kita sepakat untuk kita tertibkan. Semua bidang kita sudah sepakat untuk meningkatkan kerjasama,” singkat Presiden Prabowo.
Tak ayal banyak pihak mengharapkan pemerintahan Presiden Prabowo lebih tegas dalam menuntut Malaysia dalam pengusutan kasusnya secara objektif dan menyeluruh. Terlebih kasusnya dianggap sebagai tindakan represif aparat Malaysia dan jadi kasus extrajudicial killing atau pembunuhan tanpa proses hukum. Publik pun turut bereaksi dengan sejumlah massa organisasi buruh menggeruduk Kedutaan Malaysia di Jakarta pada Kamis (30/1/2025), melayangkan tuntutan untuk mengadili para aparat APMM yang jadi pelaku penembakan.
Di sisi lain isu TKI yang kini disebut PMI di negeri jiran Malaysia bukanlah isu baru, baik soal isu legalitas maupun kekerasan yang tak jarang berujung fatal pada kematian. Padahal mulanya Malaysia membutuhkan PMI dari Indonesia untuk membangun ekonomi dan politik negerinya seiring terjadi huru-hara rasial di akhir 1960-an.
Tenaga Kerja Terdidik hingga Golongan Informal
Sambil merantau, mencari lapangan pekerjaan. Setidaknya sudah sejak lama orang-orang Nusantara bermigrasi dan jadi kuli di Sabah untuk menyambung hidup. Menurut sejarawan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr. Endang Rudiatin dalam Malayndonesia: Integrasi Ekonomi di Perbatasan Indonesia-Malaysia, tercatat sudah ada gelombang migrasi orang-orang Bugis asal Wajo ke Sabah sejak abad ke-17. Mereka mengungsi ke Kerajaan Kutai pasca-terjadi konflik dengan Kerajaan Bone pada 1665. Lantas dari waktu ke waktu diikuti gelombang pekerja dari Flores dan Larantuka (Nusa Tenggara Timur) di masa Perang Dunia II.
“Migrasi orang-orang Nusa Tenggara Timur ke Sabah Malaysia sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Jepang (1942-1945, red). Ketika itu Jepang membawa tenaga kerja paksa sebagai romusha untuk mencari kayu dan membuat basis pertahanan. Sebagian mereka tetap menetap meski penjahahan Jepang sudah berakhir,” tulis Endang.
Menetapnya orang-orang Bugis dan etnik Timor itu tak ayal membuka jaringan pengiriman tenaga kerja secara ilegal hingga 1960-an. Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966) turut jadi faktor penyebab penghentian perlintasan wilayah para TKI ilegal itu, mengingat pemerintahan Presiden Sukarno belum melirik TKI sebagai pahlawan devisa negara yang membuat belum dibuatnya aturan-aturan tentang TKI legal.
“Hingga akhir 1960-an penempatan pekerja migran Indonesia belum melibatkan unsur pemerintah. Keadaan yang nyaman bagi pekerja migran (Bugis, Flores, Bawean) di Sabah berubah sejak hubungan Indonesia-Malaysia panas dan muncul politik konfrontasi ganyang Malaysia. Sejak itu ribuan pendatang asal Indonesia yang memegang paspor ‘British Malay’ membakar dan membuang paspornya mengikuti seruan Presiden Soekarno untuk mengganyang Malaysia,” ungkap akademisi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Dr. Ana Sabhana Azmy dalam Perlindungan Negara atas Perempuan Pekerja Migran Indonesia.
Baca juga: Ketika Malaysia Meminta Tenaga Kerja kepada Indonesia
Berganti rezim, berganti pula hubungan kedua negara. Pemerintahan Orde Baru yang memperbaiki hubungan diplomatik menyambut baik permintaan Malaysia akan tenaga kerja terdidik dan profesional demi melanjutkan roda pembangunan dan ekonomi pasca-Insiden 13 Mei 1969 yang berujung pada kerusuhan rasial antaretnis Melayu dengan etnis Tionghoa dan India yang selama ini memegang peranan dalam perekonomian Malaysia.
Permintaan itu datang dari PM Malaysia Tun Abdul Razak pada 1969 yang memohon kepada Presiden Soeharto untuk mengirimkan tenaga kerja dari Indonesia. Itupun PM Malaysia memintanya secara diam-diam.
Presiden Soeharto menyanggupi “operasi senyap” pengiriman TKI-nya dengan menunjuk Agus Sudono, Ketua Umum Gabungan Serikat-Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO), untuk merekrut ribuan TKI untuk dikirim ke Malaysia. Ia dibantu Konsul RI di Malaysia Barat, Jenderal (Purn.) Leonardus Benjamin Moerdani, serta petinggi intelijen Malaysia, Tan Sri Gazali dan Ahmad Yusuf. Syaratnya juga belum se-inklusif sekarang, di mana selain dengan jenjang strata pendidikan sekolah dasar-perguruan tinggi, syarat khusus TKI-nya harus beragama Islam.
“Pengiriman TKI ke negara tetangga ini harus dijalankan dalam rangka silent operation, tidak boleh diketahui oleh rakyat Malaysia maupun Indonesia. Sebagai negara muda, Malaysia membutuhkan tenaga kerja tingkat atas dan pimpinan. Dengan bertambahnya tenaga kerja berpendidikan tinggi dan berkualifikasi pimpinan, Malaysia dapat menyeimbangkan perkembangan ekonomi antara etnis Melayu dan Tionghoa,” tulis Agus dalam otobiografinya, Pengabdian Agus Sudono.
Baca juga: Beda UMNO dengan Golkar
Baru pada 1970 pemerintah meniti aturan dan mekanisme penempatan TKI ke luar negeri melalui Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1970 tentang Program Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) dan Program Antar Kerja Antar Negara (AKAN). Beleid itu memungkinkan pemerintah menempatkan TKI dengan melibatkan pihak swasta, baik TKI dengan jenjang pendidikan tinggi maupun pendidikan rendah untuk di sektor-sektor informal seperti asisten rumah tangga (ART).
“Sebelum tahun 1980, pengiriman buruh migran keluar negeri bukan program pemerintah yang diandalkan. Namun setelah tahun itu, pengerahan buruh migran keluar negeri jadi salah satu program utama pembangunan ketenagakerjaan nasional. Inilah yang mendorong semakin meningkatnya jumlah buruh migran Indonesia,” ungkap Farida Nuraini dalam Buruh Migran Perempuan: Afirmasi Kebijakan bagi Kaum Marginal.
Akan tetapi – terlepas dari problem PMI/TKI ilegal – isu perlindungan masih jadi pekerjaan slotboss88 login rumah, baik bagi pemerintah Indonesia maupun Malaysia. Tak jarang para “Pahlawan Devisa” itu pulang dari Negeri Jiran dengan kondisi memprihatinkan. Tidak hanya ada yang kembali dengan masalah kesehatan secara fisik tapi juga mental dan tak jarang pula yang pulang dalam peti mati.
Data lembaga non-pemerintah, Migrant Care mencatat, kurun 2005-2025 tercatat ada 75 PMI yang tewas akibat penembakan oleh aparat Malaysia. Belum lagi seabrek kasus kekerasan verbal berbau rasis dan xenofobia, hingga kekerasan fisik yang sedikit di antaranya kasusnya dituntaskan.
Baca juga: Purnawirawan TNI Jadi TKI di Arab Saudi
Satu di antaranya kasus penyiksaan PMI bernama Cariyati Dapin pada Juni 2007, di mana ia terpaksa melarikan diri dari secara heroik dari lantai 15 apartemen majikannya karena tak tahan disiksa majikannya. Atau PMI bernama Karniasih pada Agustus 2007 yang wafat setelah dianiaya majikannya, di mana kedua kasus itu sempat bikin berang Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas.
“Perlakuan buruk terhadap TKI di Malaysia berpotensi menjadi titik api yang bisa merusak hubungan Indonesia-Malaysia. Ini adalah sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Karena itu kedua negara harus segera mengawasi ini,” cetus Ali Alatas dalam seminar “50 Tahun Hubungan RI-Malaysia”, dikutip Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petit Histoire” Indonesia, Volume 3.
Atau serangkaian razia yustisi aparat Malaysia terhadap sekira 600 ribu PMI tak berdokumen pada 2017. Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyayangkan razianya dilakukan dengan cara-cara koersif dan represif dengan berlandaskan tendensi rasisme, xenofobia, dan diskriminatif.
“Seharusnya setiap upaya penegakan hukum keimigrasian harus berbasis pada standar HAM (hak asasi manusia). Migrant Care juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membuka crisis center dan melakukan monitoring langsung ke basis-basis buruh migran Indonesia,” tukas Wahyu kepada Historia.ID
Terlepas dari berbagai permasalahan, toh Malaysia tetap membutuhkan PMI, utamanya di sektor-sektor rumah tangga dan perkebunan. Pada 13 Juli 2022 pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium pengiriman PMI sektor pekerbunan karena menganggap pemerintah Malaysia melanggar kesepakatan perlindungan dan sistem rekrutmen daring untuk PMI sektor ART yang sama-sama diteken pada April 2022. Akan tetapi setelah kemudian pihak Malaysia menunjukkan adanya komitmen dan niat baik untuk memperbaikinya, per 1 Agustus 2022 kebijakan moratoriumnya dicabut.
Baca juga: Buruh Sritex dari Timor Leste
Tambahkan komentar
Belum ada komentar