Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan
Kapolri Hoegeng Iman Santoso diganti dengan dalih peremajaan. Benarkah pengantinya lebih "remaja" dari Hoegeng?
KEMUNCULAN kasus Sum Kuning –gadis penjual telur yang diperkosa sekelompok pemuda anak gedongan– yang sensitif bagi banyak pejabat Orde Baru, lalu kasus penyelundupan mobil mewah oleh pengusaha Robby Tjahyadi dkk., dan kematian Rene Conrad membuat kepolisian menjadi sibuk. Instansi yang dikepalai Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso yang dikenal antisuap dan antikorupsi itu pun berupaya berbuat maksimal.
Namun, langkah kepolisian terbentur tembok tinggi penguasa. Kasus-kasus tersebut melibatkan beberapa orang yang dekat dengan Cendana atau pejabat-pejabat penting di sekitar Cendana. Kapolri pun tak bisa berbuat banyak. Bahkan, sebelum kasus-kasus itu tuntas, pada Oktober 1971 Kapolri Hoegeng digantikan oleh pejabat lain dengan dalih “peremajaan”.
Istilah “peremajaan” tentu membuat wartawan terpantik untuk mempertanyakannya. Selain waktu penggantian Hoegeng tidak umum, yakni dilakukan di tengah yang bersangkutan dalam proses menangani kasus-kasus tadi, istilahnya pun tidak beres.
“Apakah Bapak sedang diremajakan atau dipertuakan? Sebab, pengganti Bapak lebih tua daripada Bapak?” tanya wartawan kepada Hoegeng dengan pertanyaan yang terkesan mengolok-olok keputusan Presiden Soeharto itu, sebagaimana dikisahkan dalam otobiografi Hoegeng, Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan.
Baca juga:
Usia Hoegeng kala itu 49 menjelang 50 tahun. Sementara usia penggantinya, Komisaris Jenderal Mohamad Hasan, satu setengah tahun lebih tua dari Hoegeng. Hasan kelahiran Muara Dua, Sumatra Selatan, 20 Maret 1920. Kendati Hasan lebih dulu menjadi polisi –yakni di zaman Belanda; Hoegeng di zaman Jepang– Hasan kalah cepat dari Hoegeng lulus dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
“Bahwa peremajaan tak usah dilihat dari umur pengganti saya yang lebih tua. Bahwa saya diganti dengan Pak Hasan karena dalam segala hal Pak Hasan lebih progresif,” kata Hoegeng.
“Pak Hoegeng ngibul, Pak Hoegeng ngibul,” kata para wartawan menimpali.
“Baiklah kalau Anda menganggap saya ngibul maka wawancara tak perlu dilanjutkan. Jadi sampai di sini saja,” kata Hoegeng hendak pergi.
“Jangan, jangan Pak,” kata wartawan yang ingin tahu lebih dalam lagi mengenai pemberhentian Hoegeng.
Setelah Hoegeng diberhentikan, kasus-kasus yang gagal di zamannya tetap saja tidak tuntas penanganannya. Masyarakat masih mempertanyakan hingga banyak yang menduga-duga bahwa kasus penyelundupan Robby Tjahyadi melibatkan pejabat negara, sebagaimana dikisahkan Hoegeng dalam otobiografinya.
Sedangkan dalam kasus Sum Kuning, aparat kepolisian kesulitan karena menyangkut beberapa orang penting. Di antara pemerkosa Sum Kuning adalah anak pejabat penting di Yogyakarta, bahkan ada anak Pahlawan Revolusi.
“Masalah Sum Kuning adalah suatu tantangan yang cukup serius bagi Kepolisian. Perjuangannya buka saja meringkus menyeret penculik-penculik pemerkosa-pemerkosa itu ke muka pengadilan, akan tetapi juga mengembalikan kewibawaannya di dalam masyarakat,” kata Kepolisian dalam Sum Kuning, Korban Pentjulikan, Pemerkosaan, Proses Perkaranja dengen Tuduhan telah Menjiarkan Kabar Bohong.
Baca juga:
Dalam kasus Rene Conrad, mahasiswa ITB yang tewas ditembak taruna Akademi Kepolisian (Akpol) saat melintas dekat truk yang mengangkut para taruna Akpol, aparat kepolisian tampaknya memang berupaya menutupi dan tak menyelesaikan perkara hukumnya lantaran pelaku penembakan merupakan anak jenderal polisi. Kendati penyelesaiannya telah diupayakan Hoegeng semasa masih kapolri, kasus tersebut tetap tidak selesai hingga Hoegeng sudah keluar dari kepolisian. Belakangan, Brigadir Dua Polisi Djani Maman Surjaman yang tak ada sangkut-pautnya dengan kasus tersebut “ditumbalkan” jadi tersangkanya.
“Lukisan 'Toga-toga hijau' (1971) terinspirasi kasus penembakan mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Rene Conrad, oleh tentara (ABRI maksudnya, di mana Kepolisian menjadi bagiannya, red.). saya merasakan kekuasaan militer yang sangat besar telah merasuki kampus,” kata pelukis Srihadi Soedarsono dalam Srihadi Soedarsono Sang Seniman Empat Zaman.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar