Jejak Soemantri Brodjonegoro Diteruskan Anaknya
Ayah dan anak ini sama-sama pernah menjadi menteri dan sama-sama pernah menghadapi demonstrasi pada masanya. Waktu jadi rektor, Soemantri menghadapi demontrasi mahasiswa di kampus UI sedangkan Satryo didemo oleh ASN di kementeriannya.
MENTERI Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro didemo oleh para Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan kementeriannya. Aksi itu diduga dipicu oleh sikap sang menteri yang dinilai kasar dan arogan. Satryo disebut suka pecat pegawai semena-mena hingga menggampar pekerja di rumah dinas. Beredar pula isu rencana mutasi besar-besaran oleh Menteri Satryo di kementeriannya dalam rangka penghematan anggaran negara. Namun belakangan, Satryo membantah tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
“Itu tidak pernah ada sama sekali. Dan mereka (pelaku unjuk rasa) menyampaikan minta maaf dengan ungkapan yang disampaikan, yang ternyata tidak berdasar sama sekali,” kata Menteri Satryo dalam klarifikasinya di KompasTV (20/1).
Menteri Satryo merupakan putra sulung dari Soemantri Brodjonegoro. Seperti Satryo, ayahnya juga adalah seorang menteri. Soemantri Brodjonegoro bahkan tiga kali menjadi menteri, yakni menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (1967-1968 dan 1968-1973) dan menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1973). Tidak hanya Satryo, anak Soemantri yang lain, Bambang Soemantri Brodjonegoro, juga pernah menjadi menteri pada masa kepresidenan Joko Widodo. Seperti ayahnya, Bambang tiga kali menjabat menteri: menteri Keuangan (2014—2016), menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (2016—2019), dan menteri Riset dan Teknologi (2019—2021).
Baca juga: Menteri Latief Bicara Harga Cabai
Satryo masih berusia 16 tahun ketika Soemantri, ayahnya, wafat pada 18 Desember 1973. Sementara kedua adiknya, Irsan dan Bambang masing-masing berusia 12 dan 6 tahun. Soemantri meninggal dunia pada usia 47 tahun semasa menjabat menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan II.
“Upacara pemakaman di makam pahlawan Kalibata dipimpin oleh Wakil Presiden Sultan Hamengku Buwono,” diberitakan Indonesia Raya, 19 Desember 1973.
Dalam Indonesia Raya, Soemantri disebutkan memperoleh pendidikan sebagai insinyur teknik kimia di Universitas Delft di negeri Belanda. Gelar doktor juga diperoleh Soemantri pada universitas yang sama. Sepulangnya ke Indonesia, Soemantri dikenal sebagai teknokrat dan guru besar teknik kimia Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sebelum menjadi teknokrat, Soemantri sempat menjadi tentara dari Korps Tentara Pelajar. Pada 1948, Soemantri merupakan perwira staf dengan pangkat kapten dalam Brigade XVII. Soemantri juga bertugas sebagai ajudan Kolonel Abdul Haris Nasution yang saat itu panglima Komando Jawa.
Pertengahan 1950-an, Soemantri disekolahkan negara ke Belanda sebagai mahasiswa tugas belajar dari Angkatan Perang Republik Indonesia. Semasa kuliah di Belanda, Soemantri memelopori berdirinya Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), yang anggotanya tersebar di seluruh Eropa. Dalam perkumpulan tersebut, Soemantri terpilih sebagai ketua dan menjadi ketua pertama organisasi itu.
Setelah merampungkan pendidikannya, Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia (UI) menarik Soemantri sebagai staf pengajar. Tidak berselang lama, fakultas tersebut mengangkat Soemantri sebagai guru besar teknik perminyakan. Di sinilah awal kiprahnya mempersiapkan ITB. Dalam lembaran sejarah ITB, Soemantri termasuk dalam Panitia Persiapan Pendirian “Institut Teknologi” di Kota Bandung yang kemudian dikenal sebagai ITB. Soemantri diangkat sebagai Panitera Presidium ITB sejak ITB diresmikan pada 2 Maret 1959 hingga 1 November 1959.
Baca juga: Kritik Soe Hok Gie kepada Rektor UI
Jejak karier Soemantri di UI pun terbilang moncer. Soemantri menjadi rektor ke-6 UI selama dua periode, yaitu 1964-1968 dan 1968-1973. Soemantri merupakan rektor UI dengan masa menjabat terlama.
Selama menjadi rektor, Soemantri kurang suka dengan protokoler ketat. Selain itu, dia enggan menggunakan pendekatan kekuasaan dan ancaman kepada bawahan atau mahasiswa. “Sikapnya terhadap para karyawan di kantor rektor tidaklah seperti bos,” ulas Nizam Yunus dalam biografi Soemantri Brodjonegoro, Teguh di Jalan Lurus.
Semasa menjadi rektor UI, Soemantri mengalami masa-masa krusial ketika kemelut politik 1965 pasca-Peristiwa G30S turut merembet ke dalam kampus. Soemantri kerap dibikin repot oleh aksi demonstrasi mahasiswa UI yang menuntut Presiden Sukarno turun. Acapkali aksi demonstrasi mahasiswa itu berujung rusuh hingga bentrokan fisik.
Warta Berita, 3 Februari 1966, memberitakan tentang terjadinya bentrokan fisik dalam kompleks UI. Kerusuhan itu memprihatinkan bagi Soemantri. Dalam pernyataan resminya, Soemantri dengan rasa masygul menyaksikan bentrokan fisik antar-mahasiswa di kampus UI makin menjadi-jadi. Bentrokan itu merupakan akibat dan kelanjutan dari bentrokan di luar kampus UI, yang menyangkut mahasiswa dari berbagai perguruan tiggi, ormas, serta bukan pula dari pihak mahasiswa. Pernyataan Soemantri mengindikasikan demonstrasi dan bentrokan tersebut ditunggangi pihak lain.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI
Ketika kampus UI diumumkan akan dibuka kembali pada 12 April 1966, Soemantri mengeluarkan seruan agar mahasiswa menghindarkan diri dari sikap-sikap yang bisa memicu bentrokan. Soemantri mengimbau para mahasiswa untuk mempersiapkan mental di samping mengadakan pembersihan kampus serta menghilangkan coretan-coretan vandalisme di tembok kampus. Soemantri juga berharap agar kekompakan di antara staf penjagar, mahasiswa, dan karyawan terus terjaga.
“Jauhilah cara-cara bertindak sendiri dan menjadi hakim sendiri, sebab ini tidak menguntungkan perjuangan. Janganlah ada perasaan lebih pahlawan daripada temannya, sebab di sinilah terletak unsur perpecahan. Kita harus pegang teguh sasaran perjuangan kita: musuh kita adalah sisa-sisa Gestapu PKI dengan gerilya politiknya, sedang tujuan kita adalah menyukseskan Tri-Tuntuntan Rakyat,” kata Sumantri dikutip Harian Angkatan Bersendjata, 5 April 1966.
Pada masa Orde Baru, Soemantri ditunjuk Presiden Soeharto menjabat menteri pertambangan (kini Menteri ESDM) pada 1967. Penunjukan Soemantri sebagai menteri sempat menuai polemik rangkap jabatan karena pada saat yang sama ia masih menjadi rektor UI. Soemantri akhirnya melepaskan jabatan rektor untuk fokus bekerja di kementerian.
Baca juga: Kisah Rektor UI yang Rangkap Jabatan
Pada Kabinet Pembangunan I, Soemantri kembali ditunjuk jadi menteri pertambangan. Pada Kabinet Pembangunan II, Soemantri masih dipercaya Soeharto, namun kali ini sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Jabatan itu diemban Soemantri hingga akhir hayatya.
Karena masa kepemimpinannya di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang singkat, menurut direktori profil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945—2018, Soemantri tidak banyak meninggalkan jejak ide dan gagasan dalam bidang pendidikan di kementerian tersebut. Kendati demikian, jejak Soemantri sebagai menteri diteruskan oleh anak-anaknya di kemudian hari: Satryo dan Bambang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar