Serdadu Jepang Dimangsa Buaya di Burma
Sejarawan meragukan kisah ratusan serdadu Jepang dimangsa buaya rawa Pulau Ramree di Burma.
Kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya di Myanmar mengundang simpati dari berbagai pihak. Di Indonesia, elite sampai akar rumput ramai-ramai mengutuk perbuatan keji itu.
Di dunia maya, solidaritas begitu tinggi. Unggahan berita terkait Rohingya bertebaran di berbagai laman, disebarkan melalui sosial media hingga grup WhatsApp. Kontan berita itu menyulut emosi para pembaca. Namun, warga net masih banyak yang meyakini dan menyebarkan berita hoax terkait Rohingya. Salah satu yang terkenal yaitu foto seorang pemuda yang tubuhnya terbakar. Berita-berita hoax menyebut pemuda itu Muslim Rohingya yang dibakar hidup-hidup. Padahal, pemuda itu merupakan aktivis Tibet bernama Jamphel Yesh yang membakar diri saat demonstrasi menentang kedatangan Presiden RRC Hu Jintao.
Baca juga:
Dari Rooinga Menjadi Rohingya
Rohingya yang Kian Tersingkir
Ketika Aung San Merangkul Rohingya
Berita dari Burma (kini Myanmar) yang juga disangsikan kebenarannya pernah terjadi di masa lalu dan hingga kini masih dipercaya banyak orang yaitu tentang ratusan serdadu Jepang yang dimangsa buaya muara. Berita itu bermula dari kisah naturalis Bruce Stanley Wright dalam bukunya, Wildlife Sketches: Near and Far.
Wright menceritakan Inggris makin gencar melakukan serangan menyusul melemahnya Jepang pada akhir 1944. Pada awal 1945, Inggris melancarkan operasi untuk merebut Pulau Ramree yang dijaga sebuah garnisun Jepang. Wright ikut dalam operasi ini. Meski Inggris menyerukan agar menyerah, pasukan Jepang memilih mundur sambil melawan, termasuk ketika operasi merebut Ramree mencapai tahap akhir pada Februari 1945.
“Dalam keputusan khas samurai, komandan memutuskan tidak menyerah tapi membawa pasukannya keluar dengan rute yang tidak terblokir melintasi sepuluh mil rawa bakau. Itu adalah skenario mimpi buruk karena rawa-rawa ini adalah hutan lebat tak tertembus, gelap bahkan di siang hari, hanya beberapa mil dari lumpur hitam dalam, penuh dengan ular, nyamuk, kalajengking dan serangga berbahaya lainnya,” tulis Franck McLynn dalam The Burma Campaign: Disaster Into Triumph 1942-45.
Sekira satu batalion pasukan Jepang itu akhirnya mencapai rawa-rawa meski terus diburu pasukan Inggris yang sesekali membombardir dengan artileri dan serangan udara. Pada 18 Februari 1945 malam, pasukan Inggris yang mengejar berhenti dekat rawa-rawa itu. Peristiwa mengerikan pun segera terjadi. Wright mulai mendengar jeritan kesakitan serdadu Jepang. Makin lama, suara jeritan makin banyak. Suara jeritan itu kemudian diikuti suara tembakan membabi buta.
“Malam itu (19 Februari) adalah kejadian paling mengerikan yang pernah dialami beberapa awak ML (motor launch). Tembakan senapan tersebar di rawa hitam yang ditimpali oleh jeritan orang-orang yang hancur terluka di rahang reptil-reptil besar. Saat fajar, burung-burung pemakan bangkai tiba untuk membersihkan apa yang ditinggalkan oleh buaya-buaya. Sekitar seribu tentara Jepang yang memasuki rawa-rawa Ramree, hanya sekira 20 yang ditemukan hidup,” tulis Wright.
Wright mencatat para serdadu Jepang itu dimangsa buaya muara yang menghuni rawa hutan mangrove. Dari sekira 1000 personel hanya 20 orang yang selamat. Kisah ini sampai masuk dalam Guinness Book of Records.
Kesaksian Wright, yang ditulis hampir 20 tahun kemudian, disangsikan banyak sejarawan dan ilmuwan. Selain satu-satunya sumber, kisah Wright tak pernah mendapat pemberitaan setelah dibukukan.
Banyak sejarawan dan ilmuwan, seperti Franck McLynn, lalu melakukan penelitian terhadap kisah tersebut. Mereka tak hanya menggali arsip militer Inggris dan Jepang, tapi juga mewawancara banyak vetaran, baik Jepang maupun Inggris, dan orang-orang tua setempat. Hasil penelitian menyimpulkan tak satu pun yang menyebut pernah mengetahui pembantaian tentara Jepang oleh buaya rawa Ramree.
“Apakah kita benar-benar percaya bahwa pasukan bersenjata Jepang, yang merobek-robek tank dan kendaraan bersenjata Inggris, benar-benar tak berdaya melawan buaya? Lalu tak adakah seorang pun serdadu Jepang yang tewas itu mati karena tembakan pasukan Inggris atau gigitan ular, atau terserang dehidrasi dan penyakit?” tulis McLynn mempertanyakan data-data dari kisah Wright
Baca juga:
Unit 731, Alat Pembunuh Massal Militer Jepang
Sebelum Pearl Harbor, Pesawat AL Jepang Pernah Tenggelamkan Kapal AL AS.
Dari perspektif zoologi sederhana saja, kata McLynn, ekosistem rawa bakau dengan beragam kehidupan mamalia dan persaingan ketat untuk makan di dalamnya tak memungkinkan buaya hidup dalam jumlah begitu besar.
“Bahaya dari ular memang cukup nyata, tapi sepertinya ini tidak cukup mengerikan untuk memuaskan imajinasi. Itu tidak cukup baik untuk para sensasionalis dan pembuat mitos, yang mengarang cerita liar dan tidak mungkin, kecuali (membuat kisah –red.) 20 orang dipenjara oleh Inggris sementara yang lainnya dibunuh oleh buaya. Kisah itu memiliki kemungkinan masuk akal, karena buaya muara atau air asin yang bisa tumbuh sepanjang 20 kaki dikenal sebagai pembunuh dan pemakan manusia,” tulis McLynn. “Yang lebih masuk akal, beberapa (bukan ratusan) serdadu Jepang yang terluka mungkin telah menjadi mangsa buaya air asin.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar