Ketika Aung San Merangkul Rohingya
Aung San Suu Kyi mendiamkan tragedi kemanusiaan yang menimpa orang-orang Rohingya. Tidak belajar dari pengalaman sang ayah.
KRISIS kemanusiaan di Myanmar semakin berkepanjangan. Praktik kekerasan terhadap etnis Rohingnya pun semakin menggila. Puluhan ribu pengungsi memenuhi perbatasan. Situasi centang perenang itu menurut Hikmahanto Juwana tak lepas dari tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga Myanmar oleh rezim yang tengah berkuasa.
"Bahkan ada kecenderungan pemerintah Myanmar melakukan ethnic cleansing (pembersihan etnis) saat terjadinya konflik antaretnis Rohingya dengan otoritas Myanmar,” ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu kepada Historia.ID.
Apa yang dikatakan Hikmahanto diamini oleh berbagai kalangan. Moshe Yegar dalam Between Integration and Secession: The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma mengungkapkan, masyarakat Rohingya tidak lagi diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar sejak 1982. Dua dekade setelah terjadinya kudeta militer oleh Jenderal Ne Win, hingga menetapkan pemerintahan junta militer.
Baca juga: Aung San Suu Kyi Menulis Sejarah Arakan
Paspor mereka dicabut, hak-hak politik mereka dikebiri. Dalam Debating Democratization in Myanmar yang dirangkum Nick Cheesman dan Nicholas Farrelly, masyarakat Myanmar tidak lagi dicantumkan sebagai satu dari 135 kelompok etnis resmi yang disebut national races di Myanmar.
Padahal secara historis, Bapak Bangsa Myanmar, U Aung San, pernah merangkul kelompok Rohingya. Aung San, tak lain adalah ayah dari Aung San Suu Kyi, tokoh Myanmar yang menerima Nobel Perdamaian pada 1991.
Aung San merangkul kelompok Rohingya, bahkan sebelum Myanmar (dulu Birma/Burma) merdeka pada 1948. Pada Perang Dunia II, Aung San dengan kelompok antifasisnya bahu-membahu dengan milisi Rohingya yang didukung Inggris dalam memerangi Jepang.
“Bokyoke Aung San dengan sangat ramah menerima Rohingya sebagai satu dari ras asli Burma sebagaimana Kachin, Kayah, Karen, Chin, Mon dan Rakhine. Dia menjamin kewarganegaraan (warga Rohingya) saat bertemu para petinggi muslim di Akyab, Mei 1946,” sebut U Kyaw Min alias Shamsul Anwarul Haque dalam artikel Legal Nexus Between Rohingya and the State di jurnal An Assessment of the Question of Rohingya’s Nationality.
Baca juga: Militer Myanmar Sewa Pesawat Indonesia
Setelah Myanmar resmi merdeka, masyarakat Rohingya sempat bisa hidup tenang. Hak-hak ekonomi dan politik bisa turut mereka nikmati. Mereka benar-benar bisa hidup setara di bawah payung Residents of Burma Registration Act yang dirilis 1949 dan disusul Burma Registration Rules pada 1951.
Tidak hanya sebagai pemilik suara, seorang etnis Rohingya pun bahkan berhak menyalonkan diri sebagai anggota parlemen. Itu terjadi sejak 1951, ketika mereka mewakili daerah-daerah pemilihan (dapil) Buthidaung Utara, Buthidaung Selatan, Maungdaw Utara serta Maungdaw Selatan. Tercatat beberapa nama anggota parlemen terkemuka asal Rohingya. Sebut saja nama-nama seperti Abdul Gaffar, Abul Bashar, Sultan Ahmed, Daw Awe Nyunt (a) Zurah, Ezar Meah, Sultan Mahmood, Abul Khair, Rashid, hingga MA Subhan.
Baca juga: Tak Ada Rumah Memanggil Pulang Rohingya
Apresiasi pemerintah terhadap kebudayaan Rohingya diperlihatkan pula dengan adanya acara program bahasa Rohingya d BBS (Burma Broadcasting Service) atau stasiun radio milik pemerintah Myanmar.
Hak-hak beragama pun dijamin oleh pemerintah. Untuk mengikuti ibadah haji misalnya, pemerintah Myanmar menerbitkan paspor bagi masyarakat Rohingya yang sudah memiliki NRC (Kartu Registrasi Nasional) dan FRC (Sertifikat Registrasi Orang Asing), agar mereka bisa pergi naik haji ke Makkah.
Sayangnya, kehidupan mereka perlahan berubah suram semenjak kudeta dilakukan oleh pihak militer pimpinan Jenderal Ne Win pada 2 Maret 1962. Pemerintahan junta militer lantas melindas pemerintahan sipil AFPFL (Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis) yang kala itu dipimpin Perdana Menteri U Nu.
Baca juga: Burma dan Kemerdekaan Indonesia
Usai berhasil menggulingkan U Nu, secara sistematis hak-hak politik masyarakat Rohingya dihapuskan. Baik dalam mengikuti pencalonan, maupun memberikan suaranya dalam pemilu, melalui UU baru tentang Kewarganegaraan Tahun 1982. Benih-benih konflik mulai tertebar hingga menuai krisis hingga sekarang.
“Rohingya telah ada di Rakhine sejak dunia diciptakan. Arakan adalah tanah kami; tanah India selama seribu tahun lalu,” cetus politisi Rohingya Kyaw Min dalam surat kabar The Economist, 3 November 2012.
Pemerintahan junta militer Myanmar sedianya sudah mulai punah sejak 2016. Lewat Pemilu, NLD (Liga Nasional Demokatik) pimpinan Aung San Suu Kyi, hingga wakilnya, U Htin Kyaw jadi presidennya. Pun begitu, nasib masyarakat Rohingya belum menemukan titik terang dan justru belakangan kian suram. Suu Kyi nampaknya tidak belajar dari pengalaman sang ayah yang dikenang sebagai Bapak Bangsa Myanmar.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar