Pembersihan Setelah Pembantaian di Tanjung Priok
Pasca insiden berdarah di Tanjung Priok, pemerintah Orde Baru menangkap orang-orang yang dianggap sebagai pembangkang politik.
NERAKA itu menghampiri A.M. Fatwa tepat seminggu setelah insiden berdarah di Tanjung Priok. Didampingi pengacaranya, lelaki asal Bone tersebut tengah diperiksa polisi ketika beberapa petugas dari Satuan Intel (Satuan Tugas Intelijen Khusus ABRI) langsung menyeretnya.
“Pengacara saya diancam saat akan mendampingi saya,” ujar Fatwa.
Fatwa dibawa ke markas CPM di Jalan Guntur, Jakarta. Dia diperlakukan tanpa mengenal kemanusiaan: dipukuli, disimpan dalam sel penuh air kencing, dihina dan dilarang mengaji serta salat lima waktu. Setelah puas memperlakukannya secara biadab, Satsus Intel membawa Fatwa dengan tangan terbelenggu ke Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Depok.
“Di sanalah saya bergabung dengan sekitar 200 orang tahanan kasus Tanjung Priok yang kebanyakan menderita luka-luka akibat tembakan,” tutur lelaki yang pernah menjabat sebagai wakil ketua MPR periode 2004-2009 itu.
Tuduhan Rapat Gelap
Fatwa diciduk oleh aparat karena dituduh terlibat rapat gelap pada 18 September 1984 (kemudian dikenal sebagai Peristiwa Lembaran Putih). Menurut Kepala Humas Kejaksaan Agung A.A. Ngurah S.H., bertempat di rumahnya di kawasan Jakarta Timur, Fatwa bersama sejumlah tokoh bermufakat membuat aksi balas dendam atas apa yang dialami umat Islam di Tanjung Priok seminggu sebelumnya.
“Lewat teror yang meresahkan masyarakat dan merusak wibawa pemerintah,” demikian kata Ngurah dalam Rekaman Peristiwa ’84 yang dikeluarkan oleh Sinar Harapan. Anehnya, teror ledakan itu baru terjadi pada 4 Oktober 1984, menimpa beberapa kantor BCA (Bank Central Asia).
Fatwa menyangkal tuduhan itu. Dia beralibi bahwa pertemuan tersebut sudah direncanakan jauh sebelum Peristiwa Tanjung Priok. Kalaupun ada pernyataan mendesak pemerintah untuk menyelidiki secara tuntas dan obyektif kasus Peristiwa Tanjung Priok, itu terjadi secara spontan saja.
Baca juga: Peristiwa Tanjung Priok: darah pun mengalir di utara Jakarta
Sehari sesudah kejadian berdarah di Tanjung Priok, pemerintah meringkus satu persatu para pendakwah keras yang kerap aktif di mesjid-mesjid sekitar Jakarta Utara. Mereka adalah Abdul Qadir Djaelani, Tony Ardie, Abdul Rani Yunsih, dan Mawardi Noor. Ulama sepuh Prof. Oesman al-Hamidy, rektor Perguruan Tinggi Dakwah Islam, dicokok dan dijebloskan ke dalam tahanan pada 19 September 1984. Berikutnya pihak militer kemudian menangkap Salim Qadar, Ratono, dan Yayan Hendrayana pada Oktober 1984.
“Kesembilan orang ini (termasuk Fatwa) dianggap oleh pemerintah memegang peranan penting dalam Peristiwa Tanjung Priok,” tulis Tapol London dalam Muslim on Trial.
Selama di tahanan, mereka diperlakukan secara tidak manusiawi. Rata-rata mendapatkan bogem mentah, sundutan rokok, dan penyiksaan-penyiksaan psikologis. Fatwa menjadi saksi bagaimana anggota Polisi Militer di Jalan Guntur memperlakukan Tony Ardhie yang sudah terlihat payah dan kedinginan.
“Ketika saya baru datang ke Guntur, saya lihat mereka menyiramkan air dingin ke tubuh Tony yang sudah tak berdaya,” kenangnya.
Dharsono Mengamuk
Namun, tidak ada penangkapan yang paling heboh selain terhadap H.R. Dharsono, eks Panglima Kodam Siliwangi sekaligus mitra Soeharto saat meruntuhkan kekuasaan Presiden Sukarno pada akhir 1960-an. Namun, sejak dipecat dari jabatan sekretaris jenderal ASEAN pada 1976, Dharsono segera menempatkan dirinya di barisan oposisi pemerintah Orde Baru.
Beberapa hari usai Peristiwa Tanjung Priok, Dharsono bersama Fatwa dan tokoh-tokoh lainnya, ikut membubuhkan tanda tangan protes kepada pemerintah. Dalam nota protes yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Lembaran Putih itu, para penanda tangan mendesak pemerintah Orde Baru untuk bertanggung jawab atas tumpahnya darah rakyat di Tanjung Priok.
“Berbeda dengan saya yang langsung ditangkap, Pak Ton (panggilan akrab H.R. Dharsono) baru diambil pada 8 November 1984,” ujar Fatwa.
Baca juga: HR Dharsono, satu-satunya panglima bintang tiga yang masuk penjara
Di pengadilan Jakarta pada 19 Agustus 1985, Dharsono pun “mengamuk”. Bersama para pembelanya yang dipimpin advokat senior Adnan Buyung Nasution, dia berupaya menelanjangi peranan pasukan keamanan dalam kejadian berdarah di Tanjung Priok. Salah satunya dengan mencela keputusan Dandim 0502 Letnan Kolonel Butar-Butar untuk memanggil bantuan dari Arhanud (Artileri Pertahanan Udara).
“Mereka ini dilatih untuk melakukan pertempuran bukan untuk menghadapi massa pengunjuk rasa!” ungkap Dharsono.
Dharsono pun mempertanyakan peran Syarifin Maloko sebagai provokator dalam acara tablig akbar sebelum meletusnya insiden berdarah di Tanjung Priok. Dia menggugat tidak ikut ditangkapnya Syarifin karena ada kemungkinan lelaki asal Nusa Tenggara Barat itu sebagai intel tentara.
Selain Syarifin, Dharsono juga menanyakan keberadaan Hamzah Haryana, salah satu peserta yang hadir dalam penandatanganan protes di kediaman Fatwa. Dia menyebut perilaku Hamzah sangat mencurigakan karena berlaku sebagai provokator dengan meminta dirinya menyediakan bom guna melancarkan aksi teror.
Baca juga: Perkoncoan Dharsono dan Soeharto berakhir dengan permusuhan.
Namun, pembelaan Dharsono itu sia-sia. Alih-alih mendapat kebebasan, pejuang Perang Kemerdekaan itu malah divonis 10 tahun penjara. Keputusan yang dikecam dan disesali khalayak.
“Tidak sepantasnya Jenderal Dharsono duduk sebagai terdakwa di pengadilan ini,” ujar almarhum Fatwa dalam memoarnya, Menggugat dari Balik Penjara: Surat-surat Politik A.M. Fatwa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar