H.R. Dharsono, Akhir Tragis Mantan Loyalis
Di awal Orde Baru, Dharsono dikenal sebagai perwira yang setia kepada Soeharto. Siapa nyana perkoncoan itu berakhir dengan permusuhan.
HARU bercampur jengkel dalam kalbu Ali Sadikin ketika menghadiri pemakaman H.R. Dharsono. Bagaimana tidak, sebagai tokoh militer yang berjasa bagi negara, pemerintah hanya bersedia memakamkan Dharsono di Tempat Pemakaman Umum Sirna Raga, Bandung. Dharsono kehilangan haknya untuk dikebumikan di Taman Makam Pahlawan karena pernah dipenjara lebih dari setahun. Meski berasal dari matra berbeda, kondisi tersebut membuat Ali Sadikin berang.
“Berbicara sebagai wakil keluarga, waktu itu Ali Sadikin menyatakan bahwa Dharsono ikut mendirikan Orde Baru dan sekarang ia dibunuh oleh Orde Baru. Belum selesai Sadikin berbicara, seseorang telah maju dan merenggut pengeras suara dari tangannnya,” tulis Aris Santoso dkk dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa.
Kemal Idris lebih geram lagi. Tatkala melepas kepergian terakhir sahabatnya itu, Kemal menggerutu. “Seperti menguburkan kucing saja,” kata Kemal seperti dikutip Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Kritik Berujung Bui
Pertengahan Januari 1978, Dharsono yang saat itu menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) ASEAN, berpidato di hadapan anggota eksponen 66 di Bandung. Dalam pidato itu Dharsono menyeru kepada ABRI untuk lebih memperhatikan kesulitan rakyat. Menurut Dharsono yang paling penting bagi pimpinan ABRI adalah mendengarkan aspirasi rakyat kecil.
“Jika mereka tetap mengandalkan kekuasaan dan kekuatan militer, maka rakyat akan menurut karena takut, bukan karena mencintai ABRI,” himbau Dharsono sebagaimana dikutip David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia, 1975—1983.
Kritik Dharsono dilatari penyimpangan pemerintahan Orde Baru yang berubah menjadi rezim represif, keras, dan anti-demokrasi. Untuk mengoreksi dan mengarahkan kembali, maka Dharsono terdorong bersuara. Sekalipun Dharsono berbicara dalam kapasitas pribadi, ucapannya dianggap terlalu keras bagi kelompok penguasa. Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean sampai gusar dan menuntut Dharsono meminta maaf. Ketika Dharsono menolak, pemerintah memutuskan mencopot kedudukannya dari ASEAN.
Setelah tak menjadi Sekjen ASEAN, mantan loyalis Orde Baru itu bergabung dengan Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD. Fosko yang berdiri pada April 1978 ini merupakan wadah tukar pikiran bagi para perwira tinggi pensiunan dari Divisi Brawijaya, Divisi Siliwangi, dan Divisi Diponegoro atau lebih dikenal dengan sebutan Brasildi. Dharsono dipercaya menjadi Sekjen Fosko TNI AD.
Sejak terbentuk, lembaga yang dipimpin Letjen (Purn.) Djatikusumo ini mengambil tempat di jalur kritis. Selain mengkritik Golkar, mereka mempertanyakan arah dwifungsi ABRI dan menyoal ketimpangan sosial-ekonomi. Aksi Dharsono bersama para jenderal pensiunan lain semacam Achmad Sukendro, M. Jasin, dan lainnya menyulut amarah Soeharto dan berujung pada pembubaran Fosko pada 1979.
Cap sebagai musuh pemerintah makin melekat pada diri Dharsono setelah namanya dikaitkan dengan kelompok oposan Petisi 50. Menurut sejarawan Australia yang mengkaji tentang Indonesia Merle Calvin Ricklefs, petisi ini menuduh Presiden Soeharto telah salah menafsirkan Pancasila dengan berlaku seolah-olah dia merupakan perwujudan Pancasila itu sendiri. “Tuduhan lainnya adalah penyalahgunaan ABRI untuk berpihak dalam urusan politik sebagaimana terlihat dalam kebijakan tangan besi ABRI untuk menggenjot suara Golkar, tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Meski tak terdaftar sebagai anggota petisi, Dharsono dikenal dekat dengan Ali Sadikin – salah satu tokoh penggagas Petisi 50. Mengenai Petisi 50, Dharsono pernah menyatakan, “Memang saya tak ikut tanda tangan Petisi 50 tetapi saya sejiwa dengan mereka.” Namun di mata Soeharto, Dharsono setali tiga uang dengan Petisi 50. Yaitu sama-sama pembangkang yang harus ditindak.
Ketika mulai “akrab”dengan kalangan Islam – kelompok yang juga jadi batu sandungan bagi pemerintah, Dharsono betul-betul menjadi incaran. Tudingan subversif yang berbau tipu daya mengantarkan Dharsono ke pintu jeruji besi. “Dharsono pernah menghadiri pertemuan anti-pemerintah yang diadakan di rumah pemimpin Islam dan pendakwah A.M. Fatwa,” demikian menurut Soeharto seperti ditulis Robert Edward Elson dalam Suharto: A Political Biography.
Akibat dipenjarakan dalam usia senja, kondisi fisik Dharsono merosot drastis. Penjara LP Cipinang yang lembab menyebabkan Dharsono terkena penyakit bronkitis. Kesehatannya pun memburuk meski bebas dari penjara pada 1990.
Pada hari Rabu 5 Juni 1996, Dharsono menghembuskan nafas terakhir di Bandung karena komplikasi penyakit. Ketika hendak dimakamkan, timbul polemik. Jenazah Dharsono ternyata tak boleh dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Menurut Salim Said, Soeharto tak memperkenankannya.
Berselang dua tahun kemudian, rezim Soeharto runtuh. Pada 1998, Presiden Habibie yang menggantikan Soeharto, merehabilitasi nama baik Dharsono. Dharsono yang meninggal setelah lama dipenjara karena mengkritik Soeharto, diberikan penghargaan Bintang Mahaputra Utama, penghargaan tertinggi dalam sistem penghormatan Indonesia, sebagai pengakuan atas sumbangan Dharsono terhadap kemerdekaan Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar