Peristiwa Tanjung Priok: Darah Pun Mengalir di Utara Jakarta
Ratusan orang tewas disiram peluru tentara di kawasan Tanjung Priok. Bermula dari isu politik hingga pelecehan agama.
ZULKARNAIN masih ingat peristiwa berdarah 34 tahun lalu itu. Sebagai anak umur sembilan tahun, dirinya merasa aneh dan takut ketika kawasan Jalan Yos Soedarso dipenuhi truk-truk tentara dan mobil-mobil pemadam kebakaran malam itu. Bau anyir darah serasa menusuk hidung bersanding dengan bunyi teriakan para serdadu dan polisi mengusir orang-orang untuk menghindari kawasan tersebut.
“Kebetulan saya dan bapak habis beli sepatu dan lewat daerah itu ketika mau pulang ke Cilincing,” ujar lelaki berdarah Sumbawa itu.
Nasib Zulkarnain dan bapaknya tentu saja jauh lebih bagus dibanding Wasjan bin Sukarna (saat kejadian berlangsung berumur 32 tahun). Pengemudi mesin pengangkut barang di Pelabuhan Tanjung Priok itu tengah menunggu angkutan umum untuk pulang kala dia melihat munculnya keruman massa yang tengah berlari. Seiring kemunculan mereka, tetiba terdengar rentetan senjata.
“Saya sempat tidak ingat setelah itu, namun saat tersadar kepala saya sudah berdarah dan saya ada di selokan dekat jalan,” ungkapnya.
Wasjan sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat dengan taksi oleh dua orang yang dia tak kenal. Namun empat hari kemudian, beberapa tentara menjempunya lalu membawa dia ke suatu tempat untuk diperiksa. Selanjutnya Wasjan dipindahkan ke RTM (Rumah Tahanan Militer) Cimanggis, Depok.
Orang yang senasib dengan Wasjan sejatinya masih banyak. Menurut catatan Muslim on Trial yang dikeluarkan oleh Tapol London pada 1987, ratusan orang yang tidak bersalah mendapat luka-luka akibat tembakan. Alih-alih dirawat pemerintah Indonesia, mereka malah menjadi tahanan politik dalam status tersangka pelaku kerusuhan di Tanjung Priok pada 12 September 1984.
Baca juga: Borobudu diledakkan sebagai balas dendam atas peristiwa berdarah di Tanjung Priok
Hingga kini, jumlah korban tewas pun tak pernah menemui kejelasan. Kepada media, pemerintah Indonesia melansir jumlah yang tewas adalah 33 orang. Sedangkan lembaga-lembaga kemanusiaan asing menyebut jumlah sekira ratusan orang terbunuh dalam peristiwa tersebut.
“Kurang lebih 400 muslim syahid, ratusan lagi luka-luka dan beberapa ulama ditangkap setelah kejadian itu,” tulis Abdul Qadir Djaelani dalam Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Islam di Indonesia.
Jakarta Utara Membara
Beberapa minggu sebelum 12 September 1984, kawasan Jakarta Utara bak api dalam sekam. Di wilayah kaum buruh dan nelayan kecil yang dikenal kumuh serta kerap banjir tersebut, isu-isu politik berbalut keagamaan bertiup kencang. Hampir tiap minggu, para ulama via masjid-masjid mengumandangkan kritik keras terhadap pemerintah Orde Baru yang dinilai tidak berpihak kepada umat Islam. Dua tema yang kerap menjadi “santapan rohani” para jamaah masjid-masjid di Tanjung Priok adalah soal pemaksaan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang harus dicantumkan termasuk bagi organisasi-organisasi Islam dan diskriminasi pihak pemerintah terhadap para siswa serta mahasiswa berjilbab.
Abdul Qadir Djaelani adalah salah satu ulama yang kerap mengisi dakwah-dakwah yang distel secara keras itu. Lelaki yang dikenal sebagai aktivis GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) itu merupakan ustadz favorit para jamaah. Menjelang terjadinya insiden berdarah 12 September, Qadir sempat berceramah di depan jamaah masjid Al Araf seraya mengancam Presiden Soeharto.
“Anda paksakan Asas Tunggal itu, maka anda akan melihat darah kami mengalir di bumi Indonesia ini! ”ujarnya. Belakangan rekaman dakwah di Al Araf ini banyak beredar ke kota-kota lain termasuk Sukabumi dan Cianjur.
Baca juga: LBH berdiri atas restu Orde Baru kemudian menjadi musuh Orde Baru
Selain Abdul Qadir Djaelani, ustad-ustad keras yang kerap menyambangi Tanjung Priok adalah Mawardi Noer, Ratono, M. Nasir, Oesman al Hamidy dan Syarifin Maloko. Nama terakhir kemudian dicurigai oleh salah satu tim pembela korban peristiwa Tanjungpriok dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Adnan Buyung Nasution sebagai seorang intel tentara.
Insiden Assa’adah
Waktu sudah berjalan 34 tahun, namun Mushola Assa’adah di bilangan Gang IV Koja, Tanjung Priok tidak banyak berubah. Sejarah mencatat di sinilah pada 7 September 1984 seorang Babinsa (Bintara Pembina Desa) yakni Sersan Satu Hermanu memerintahkan jamaah mushola tersebut untuk menurunkan poster-poster yang mengajak para muslimah untuk berjilbab. Permintaan itu ditolak.
Karena tidak digubris, beberapa hari kemudian Hermanu bersama prajuritnya mendatangi kembali Assa’adah. Untuk kedua kalinya dia meminta jamaah untuk mencopot poster-poster itu. Lagi-lagi para pengurus mushola enggan menuruti perintahnya. Merasa tidak dihargai, Hermanu emosi. Dia lantas mengeluarkan pistolnya dan mengancam orang-orang di sekitar untuk melaksanakan perintahnya.
Baca juga: Bagaimana sebuah mesjid kampus mempraktikan nilai-nilai demokrasi
Berita insiden di Assa’adah pun menyeruak ke khalayak. Isu yang berkembang malah semakin provokatif: ada tentara masuk ke mushola Assa’adah tanpa melepas sepatu lars-nya lantas mencabuti poster-poster dakwah dengan menggunakan air got. Wilayah Koja pun menjadi panas. Para pengurus Assa’adah lalu meminta bantuan kepada Syarifuddin Rambe dan Syafwan Sulaeman, dua pengurus DKM (Dewan Keluarga Masjid) Baitul Makmur, yang letaknya memang berdekatan dengan Mushola Assa’adah.
Syarifuddin dan Syafwan berinsiatif mengundang Hermanu dan kawan-kawannya untuk bermusyawarah. Alih-alih menemui kata kata mufakat, massa yang berkumpul di luar mushola malah membakar sepeda motor Hermanu. Akibatnya Syarifuddin, Syafwan dan dua orang pengurus musola Akhmad Sahi serta Mohammad Nur langsung diciduk.
Darah Tertumpah
Massa yang marah lantas mengadukan penahanan empat aktivis masjid itu kepada Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat yang dikenal memiliki hubungan luas dengan para pejabat militer di lingkungan DKI Jakarta. Secara cepat Amir melakukan pendekatan ke pihak Polres Jakarta Utara dan Kodim 0502 Jakarta Utara namun upayanya sia-sia.
Guna mendesak pembebasan empat kawan mereka yang ditahan tersebut, para aktivis masjid di Koja lantas mengadakan sejenis tabligh akbar di suatu lapangan pada 12 September 1984, tepat usai magrib. Beberapa ustadz berganti turun naik mimbar untuk melancarkan kecaman mereka kepada pihak militer dan pemerintah Indonesia. Amir sendiri naik ke atas mimbar dan memberikan ultimatum kepada para penahan untuk membebaskan keempat aktivis masjid hingga pukul 23.00.
“Jika tidak dibebaskan juga, maka kita akan mengerahkan massa yang lebih besar lagi untuk unjuk rasa,” ujar Amir, disambut takbir dan teriakan sekira 1500 peserta tabligh akbar tersebut.
Baca juga: Kesaksian Peristiwa Tanjung Priok
Jarum jam masih menujukan angka sepuluh lebih, ketika massa mulai bergerak ke arah Markas Kodim Jakarta Utara. Namun sebelum mencapai tempat itu, tepat di depan Mapolres Jakarta Utara, sekira satu regu tentara bersenjata berat plus ranpur dan truk-truk militer melakukan penghadangan. Terjadi aksi dorong mendorong dan ketika satu letusan pistol berbunyi, berhamburanlah peluru-peluru tajam dari moncong senjata-senjata berat itu. Teriakan histeris menggema, darah pun tumpah.
“Suasana sangat mencekam sekali dan kacau, mayat-mayat bergelimpangan dan orang-orang yang terluka mengerang-erang penuh iba,” ujar Usman (bukan nama sebenarnya). Dalam peristiwa itu Amir Biki sendiri meninggal karena terkena tembakan.
Baca juga: Rezim Orde Baru melarang perempuan memakai jilbab
Besoknya kepada media, Pangdam V Jakarta Raya Mayjen TNI Try Soetrisno (yang didampingi Pangkopkamtib Jenderal TNI L.B. Moerdani dan Menteri Penerangan Harmoko) menyatakan bahwa Peristiwa Tanjung Priok merupakan hasil rekayasa orang-orang yang menggunakan agama untuk kepentingan politik tertentu dengan melawan hukum yang berlaku. Ia pun menyebut data-data korban jiwa serta luka-luka yang berbeda dengan kesaksian para saksi di tempat kejadian.
“Sembilan orang meninggal dunia dan 53 orang luka-luka,” ujarnya seperti dilansir Sinar Harapan, 13 September 1984.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar