Ketika Tahun Baru Warga Palembang Berubah Haru
Pertempuran berkobar di Palembang setelah terompet tahun baru. Dikenal sebagai Pertempuran Lima Hari Lima Malam.
MENJELANG malam pergantian tahun 2024 ke 2025, Penjabat Walikota Palembang Cheka Virgowansyah melarang masyarakat memasang petasan. Para pedagang kaki lima juga dilarang berjualan di titik-titik yang telah ditentukan. Imbauan yang disampaikannya lewat surat edaran itu bertujuan untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan kebersihan di berbagai titik keramaian kota.
“Mohon untuk dipatuhi dan mari kita jaga keamanan, ketentraman serta ketertiban. Demi kenyamanan bersama,” ujarnya, dikutip sumsel.suara.com, 30 Desember 2024.
Kenyamanan, apalagi keamanan, merupakan hal mendasar yang penting diupayakan untuk masyarakat. Bila tidak ada keduanya, kehidupan menjadi kacau dan membahayakan. Masyarakat kota Palembang pernah merasakannya di masa lalu, tatkala Republik Indonesia masih “bayi merah”.
Baca juga:
Setelah ada gencatan senjata antara tentara Belanda dengan tentara pendukung Republik Indonesia di Palembang akhir 1946, tentara belanda menggantikan tentara Inggris yang undur diri dari sana pada Maret 1946. Menjelang akhir tahun, tentara Belanda semakin kuat meski hanya berkuasa atas Benteng Kuto Besak, Rumahsakit Charitas, dan Talangbetutu.
Menurut Abu Hasan Said dalam Bumi Sriwijaya Bersimbah Darah, pasukan (KNIL) yang –dipimpin Kolonel Fritz Mollinger (1899-1980), mantan komandan pasukan elite Belanda di Srilangka semasa Perang Dunia II– terdiri dari Batalyon Infanteri ke-10 Gadjah Merah, Batalyon Infanteri ke-7, Batalyon Infanteri ke-8, dan satuan artileri sudah siap tempur di Palembang.
Begitu juga pasukan Regiment Stoottroepen (Resimen Pasukan Pemukul) dari Koninklijk Landmacht (KL). Koran Trouw tanggal 22 Juli 1948 menyebut, pasukan Regiment Stoottroepen (Resimen Pasukan Pemukul) dan Batalyon Gadjah Merah dipimpin Letnan Kolonel Wim van Beek pernah bertugas di Bali.
Baik pasukan KNIL maupun KL amat terbantu oleh armada pesawat tempur Belanda di Lanud Talangbetutu (kini Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II). Selain bisa mempercepat lalu lintas logistik, pesawat-pesawat itu juga bisa memberi dukungan moril dengan raid-raid mereka.
Baca juga:
Maka kendati pada 31 Desember 1946 sebetulnya “hari libur” untuk bersenang-senang menyambut pergantian tahun, para serdadu Belanda di kesatuan-kesatuan tadi justru harus bersiap. Mereka dikomando oleh para komandan tertinggi, termasuk Kolonel Mollinger, untuk bekerja pada 1 Januari 1947. Jadi hingga pukul 00.00, tepat pergantian tanggal dan tahun, yang biasanya dimeriahkan dengan kembang api, mereka justru sibuk dan tegang.
Sekitar pukul lima dini hari 1 Januari, sebagian tentara itu mulai keluar dari tangsi-tangsi mereka dengan membawa senjata berpeluru penuh dan bawaan pendukung tempur lain. Mereka akan memasuki daerah yang dalam gencatan senjata tak boleh dimasuki. Di Jalan Tengkuruk, mereka memberondong markas Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). Di titik lain yang seharusnya menjadi jatah wilayah Republik Indonesia pun mereka menyerang dan menduduki.
“Itulah awal dimulainya perang lima hari lima malam di kota Palembang,” kenang Ibnu Sutowo, kelak menjadi deputi KSAD dan dirut Pertamina, dalam buku Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita.
Baca juga:
Setelah diserang, pasukan Republik Indonesia pun merespon dengan mencari posisi tentara Belanda. Tentara Belanda ternyata berada di Benteng Kuto Besak, Charitas, Gedung Borsumij 13 Ilir, Boom Yetty, Sekanak, BPM Handelzaken, IMP, Talang Semut, Bagus Kuning, dan Plaju. Charitas dan Benteng dianggap sasaran sulit untuk diserang. Selain kuat di dalam kota, militer Belanda mengerahkan bantuan dari sungai dan udara.
“Bantuan itu sering berupa tembakan mortir atau howitzer atau dukungan tembakan dari kapal De Ruiter. Kapal Belanda memang sering hilir mudik di Sungai Musi, khususnya jenis korvet. Kapal seperti itu sering melepaskan tembakan membabi-buta dengan Howitzer ke arah Masjid Agung, 26 Ilir dan sekitar Rumah Sakit Charitas,” kenang Alamsyah Ratu Prawiranegara, kelak menjadi menteri agama RI, dalam Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu.
Pertempuran antara pasukan Belanda dan para pejuang RI pun berlangsung sepanjang tanggal 1 Januari 1947. Sekitar pukul 16.00 waktu setempat, pertempuran agak mereda. Namun ternyata hanya setengah jam saja. Pertempuran kembali pecah hingga malamnya.
Baca juga:
Superioritas militer Belanda atas kombatan RI yang bersenjata sangat minim membuat kantor walikota, kantor pos, dan kantor residen di Jalan Merdeka dapat diduduki tentara Belanda pada hari pertama pertempuran. Esoknya, pertempuran masih berkobar hingga 5 Januari 1947. Akibatnya, tak hanya kombatan RI yang kesulitan tapi juga penduduk kota kian sengsara.
“Kita akan hancur total jika terus bertempur sebab tiga perempat dari kekuatan dan persenjataan seluruh Sumatera Selatan berada di kota Palembang,” kata Alamsyah, salah satu komandan pasukan RI.
Perundingan damai lalu diadakan pada 5 Januari 1947. Demi strategis dan teknis, pihak Republik mau tak mau harus mundur 20 km dari titik nol Palembang yang berada di sekitar Masjid dekat Jembatan Ampera sekarang.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar