Cheng Ho dan Bajak Laut Buronan di Palembang
Kisah tentang pelarian Tiongkok yang berkuasa di Palembang dan dicap sebagai bajak laut.
Chen Zuyi, kepala negara Ku-Kang (Palembang) telah lama menjadi bajak laut. Cheng Ho atau Zheng He mengirim utusan yang membawa pesan Kaisar Yongle untuk memanggilnya.
Chen Zuyi pura-pura menurut. Ternyata, ia berencana merampok Cheng Ho. Rencananya gagal dan ia ditangkap.
Pada bulan ke-9 tahun 1407 Cheng Ho kembali ke Tiongkok dari misi pelayarannya ke Samudera Barat. Ia membawa Chen Zuyi untuk diserahkan kepada kaisar.
Kaisar senang dan memberikan promosi serta hadiah kepada Cheng Ho dan rekan-rekannya. Sedangkan Chen Zuyi dipenggal di pasar ibu kota.
Kisah Chen Zuyi, bajak laut yang menguasai wilayah Palembang pada awal abad ke-15, tercatat dalam Catatan Zheng He, bab biografi orang terkenal dalam Sejarah Dinasti Ming.
Pelarangan Perdagangan Pribadi
Asal-usul Chen Zuyi berawal dari kebijakan Kaisar Hongwu (1328–1398), penguasa pertama Dinasti Ming, yang melarang perdagangan internasional pribadi. Kaisar tak begitu peduli dengan keuntungan dari aktivitas itu dan komersialisasi sistem upeti.
"Kendati hubungan semacam ini sudah berkembang pesat di bawah Dinasti Song, sang kaisar lebih takut pada konsekuensi politik dan sosialnya," tulis Jennifer L. Gaynor, sejarawan dan antropolog spesialis Asia Tenggara dari University at Buffalo, dalam "Piracy in the Offing: The Law of Lands and The Limits of Sovereignty at Sea" yang terbit dalam Anthropological Quarterly, Vol. 85, No. 3 (Summer 2012).
Baca juga: Apa Agama Cheng Ho?
Akibatnya, mereka yang tak mau meninggalkan perdagangan internasional pribadi beralih menjadi bajak laut dan penyelundup.
"Apa yang membuat Chen Zuyi menjadi ‘bajak laut’, harus dilihat dari bagaimana sikap awal Ming terhadap upeti dan larangan perdagangan luar negeri memengaruhi hubungan antara Tiongkok dan pemerintahan tertentu di Asia Tenggara," tulis Gaynor.
Kehadiran Chen Zuyi di Palembang juga terkait dengan kondisi politik Sriwijaya yang meredup.
Menurut sejarawan Universitas Indonesia, Didik Pradjoko dan arkeolog Bambang Budi Utomo dalam Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, sekira abad ke-15, setelah Sriwijaya mengalami kemunduran, terjadi masa kekosongan pemerintahan di Palembang. Berbagai penguasa dari tempat lain menduduki daerah itu. Misalnya, Majapahit pada abad ke-14–15.
Pada awal pelayaran Cheng Ho (1405), Palembang telah menjadi kota yang dikuasai komunitas Tionghoa perantauan. Sebagian besar akibat larangan perdagangan laut pada era pemerintahan ayah Yongle. Termasuk Chen Zuyi.
"Chen Zuyi melarikan diri dari Guangdong selama pemerintahan kaisar Ming pertama ketika larangan perdagangan luar negeri secara pribadi dimulai, dan mengangkat dirinya sebagai kepala suku di Palembang," tulis Gaynor.
Penguasa Tionghoa di Palembang
Ma Huan, penerjemah Cheng Ho, mencatat dalam Yingya Shenglan (1416), bahwa Ku-kang dikenal sebagai San-bo-zhai atau Palembang. Waktu wilayah ini menjadi bawahan Jawa, sejumlah besar penduduknya berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka menetap di Ku-kang setelah melarikan diri dari tempat asalnya.
Chen Zuyi dan teman-temannya termasuk yang melarikan diri dari Guangdong pada tarikh Hongwu atau sekira 1368–1398. Mereka membawa seluruh keluarganya dan menetap di Ku-kang.
Menurut Gaynor, orang Jawa kesulitan mempertahankan otoritas atas komunitas Tionghoa yang semakin padat. Chen Zuyi lalu diangkat menjadi pemimpin mereka. Dalam masa sulit, mereka merampok semua kapal dagang yang lewat.
Baca juga: Saat Bajak Laut Prancis Menguasai Padang
Dalam Sejarah Dinasti Ming disebutkan bahwa sebagai penguasa Ku-kang, Chen Zuyi mengirim upeti ke istana kaisar. Namun, di saat yang sama ia membajak kapal utusan dari berbagai negara yang membawa upeti ke Tiongkok.
Ada yang menyebut tindakan Cheng Ho menangkap Chen Zuyi untuk mengamankan pelayaran dan perdagangan keluar masuk pelabuhan dan kota Palembang.
Menurut arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara pendapat itu wajar mengingat dalam sumber-sumber Tiongkok tercatat kaisar memberi imbalan untuk Cheng Ho karena berhasil menangkap bajak laut Chen Zuyi.
Bahkan, orang sekampung halaman Chen Zuyi, Shi Jinqing, yang mengadukan rencananya ke Cheng Ho juga dianggap berjasa. Kaisar mengizinkannya kembali ke Ku-kang sebagai pemimpin. Setelah ia meninggal, jabatannya diteruskan oleh anaknya.
Penguasa yang Tak Diakui
Namun, menurut Gaynor, dengan mempertimbangkan sumber dan konteks ekonomi dan politik, posisi Cheng Ho dan Chen Zuyi tak sehitam-putih itu.
Jika sumber resmi kekaisaran Tiongkok menggambarkan Chen Zuyi sebagai bajak laut, pedagang dan penduduk lokal di Palembang tunduk dengan damai.
Chen Zuyi hanya menjarah kapal-kapal asing yang lewat, bukan milik orang lokal di Palembang. Itu yang mungkin membuatnya tak mendapatkan perlawanan.
Sebagai penguasa wilayah, Chen Zuyi sepertinya tak berbeda dengan orang lokal yang berkuasa di negara maritim di seantero Asia Tenggara. "Ia seorang pemimpin dan mungkin orang kuat," tulis Gaynor.
Namun, Chen Zuyi tidak punya genealogi penguasa setempat atau perintah resmi dari kaisar sebagaimana yang diterima Shi Jinqing.
"Karenanya dia rentan dianggap tidak sah, palsu, seorang pemimpin bajak laut," tulis Gaynor.
Menurut Gaynor, selama beberapa waktu, Dinasti Ming punya kuasa untuk memberikan dan menghapus pengakuan politik atas negara-negara di Asia Tenggara. Ia pun bisa menerapkan hukuman untuk mengawasi sebagian perairannya.
Kuasa itu terlihat ketika Kaisar Hongwu mengesahkan penguasa Palembang sebagai raja pada 1376. Padahal saat itu Palembang adalah wilayah taklukan Jawa.
Kaisar Tiongkok juga bisa menolak memberikan pengakuan termasuk menghilangkan tokoh-tokoh seperti Chen Zuyi.
"Chen Zuyi tidak luput dari upaya yang dilakukan atas nama kekuatan kekaisaran Tiongkok untuk mengatur batas-batas kedaulatan," tulis Gaymor.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar