Orang Hulu Kuasai Kota Palembang
Di Sumatra Selatan, orang dari daerah pedalaman bisa unggul dalam pendidikan. Ada andil politik pemerintah kolonial Belanda.
WARGA Palembang dan Sumatra Selatan dibuat repot dengan padamnya listrik dua hari ini. Selain mengganggu aktivitas kerja atau rutinitas aktivitas sosial mereka, padamnya listrik juga membuat rutinitas rumah tangga mereka terganggu.
"Sudah hampir 24 jam air dan listrik padam, saya harap pemerintah ikut turun mencarikan solusi. Di rumah panas, gelap dan tidak bisa mandi, bahkan BAB saja susah. Bingung, gimana mau siramnya karena kosongnya air,” ujar Sipa, warga Jalan Letnan Jaimas Cinde, Palembang, seperti diberitakan detik.com, 5 Juni 2024.
Baca juga: Tanpa Pajak, Palembang Kaya
Palembang merupakan kota terbesar di Sumatra belahan selatan. Di zaman Hindia Belanda, Palembang adalah pusat keresidenan yang membawahi seluruh bagian selatan pulau. Bekas wilayah keresindenan itu kemudian menjadi Provinsi Sumatra Selatan, Lampung, Jambi dan Bangka-Belitung. Kota Palembang tentu paling modern di wilayah ini. Penduduk Palembang dari waktu ke waktu semakin beragam. Di antara warga kota Palembang, punya keterikatan hubungan keluarga dengan daerah-daerah luar kota adalah orang-orang daerah Ogan dan Komering.
“Secara kultural, keruangan Palembang membuat tiga pembagian yang jelas antara Kota Palembang, Iliran Palembang dan Uluan Palembang,” catat Dedi Irwanto Muhammad Santun dalam Venesia Dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang Dari Kolonial Sampai Pascakolonial.
Baca juga: Mencari Sriwijaya di Palembang
Iliran merujuk pada daerah pesisir Sungai Musi yang lebih dekat Palembang, sementara Uluan merujuk pada daerah perbukitan (seperti Lahat dan Pagaralam) yang cenderung sulit dijangku. Iliran yang dekat dengan Kesultanan Palembang kerap dipunguti pajak sementara Uluan agak merdeka.
Setelah 1900-an, karet menjadi komoditas penting di Keresidenan Palembang. Harga karet pernah jatuh antara 1919-1922, namun membaik kembali setelah itu. Bagi petani karet, yang sangat bergantung pada harga jual komoditas tersebut, harga karet mempengaruhi gaya hidup mereka. Harga karet yang baik membuat anak keluarga terpandang bisa bersekolah dengan baik. Bahkan di daerah Uluan yang terkesan udik, harga karet atau hasil bumi yang bagus bisa membuat orang sana menghambur-hamburkan uang di hadapan orang Iliran yang merasa lebih modern dari mereka.
“Ketika pemerintah Belanda membuka kran pendidikan, yang paling banyak dapat memanfaatkan keadaan ini justru anak Ulu,” catat Dedi Irwanto.
Baca juga: Cheng Ho dan Bajak Laut Buronan di Palembang
Orang Iliran kurang mendapatkan manfaat dari pendidikan bukan tanpa sebab. Mereka diragukan kesetiaannya kepada Belanda karena berpotensi lebih dekat dengan Kesultanan Palembang yang sejak lama diawasi Belanda. Pandangan kolonialis itu membuat orang Iliran kurang diberi kesempatan.
Di pedalaman Keresidenan Palembang, terdapat pesirah atau kepala marga yang disegani di desa-desa. Pesirah yang bisa menyetor banyak ke kas pemerintah bisa diberi gelar Pangeran.
Golongan pesirah banyak menyekolahkan anak-anak mereka ke kota Palembang. Ada di antara anak-anak pembesar Uluan yang bersekolah di Sekolah Kelas Satu, yang belakangan menjadi Hollandsch Inlandsch School (HIS). Ada pula anak mereka yang bersekolah seperti anak Belanda di Europe Lagere School (ELS). Kedua sekolah itu setara dengan sekolah dasar, dengan masa belajar tujuh tahun.
Baca juga: Jejak Demak di Palembang
Sejak 1927, ketika Meer Uitgebrid Lager Onderwijz (MULO) atau SMP dibuka di Palembang, ada pula anak Uluan yang bersekolah di sana. Menurut Suyuthi Pulungan dalam Sejarah Pendidikan Islam, antara 1920-an hingga 1940, sekolah swasta seperti yang dibangun Muhammadiyah berkembang di kota Palembang, daerah Iliran, bahkan Uluan.
Pendidikan tentu mempengaruhi nasib seseorang, termasuk anak-anak pembesar Uluan. Sebelum 1930-an, ijazah SD tujuh tahun bisa jadi modal untuk bekerja di kantor, yang merupakan impian banyak orang. Dedi Irwanto mencatat, banyak orang Uluan berpendidikan bisa bekerja di Gemeente (kotapraja) Palembang. Mereka yang pernah sekolah itu setidaknya bisa menjadi klerk (kerani), schrijver (juru tulis), veld politie (polisi lapangan), opzieter (pengawas) dan lain-lain.
Beberapa pejuang Sumatra Selatan setelah Indonesia merdeka adalah keturunan pembesar Uluan. Antara lain putra Pangeran Ibrahim dari Gunung Meraksa (Lahat) yang bernama Noerdin Pandji. Mayor Noerdin Pandji ikut melawan tentara Belanda pada 1945-1949 dan setelahnya menjadi anggota DPR. Dia adalah ayah mantan Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin.
Namun tak semua anak pembesar Uluan menjadi abdi negara. Ada pula yang terjun ke bidang perdagangan. Salah satunya Basyaruddin Rahman Motik, putra Pangeran Abdurrahman dari Bunga Mas, Lahat. Dia salah satu pengusaha nasional Indonesia yang terkenal di masa Orde Baru.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar