Ketika Bendera Belanda Terkoyak
Seperti juga di Surabaya, Si Tiga Warna pun pernah menjadi mangsa para nasionalis muda di Bandung.
GEDUNG tua di mulut Jalan Braga, Bandung itu masih berdiri dengan gagahnya. Gaya arsitekturnya yang bercorak art deco masih berwujud tegas dan tak lekang dimakan zaman. Pada ujung masa pemerintah Hindia Belanda, di sinilah Bank DENISH (De Erste Nederlands Indische Spaarkas en Hypotheekbank) memutar roda bisnisnya sehari-hari.
Saat ini, bekas gedung DENISH dipergunakan untuk kantor Bank Jawa Barat Banten (BJBB). Kendati sudah berumur lumayan tua, namun pesonanya masih terpancarkan. Itu dibuktikan dengan masih banyaknya orang yang mengunjunginya. “Terutama para pegiat sejarah kota Bandung,” ujar Hasan Sobirin, koordinator Historical Trip Bandung.
Baca juga: Mengapa Bandung Dijuluki Parijs van Java?
Namun tak banyak orang tahu, Gedung DENISH memiliki kisah sendiri dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Beberapa bulan usai proklamasi Indonesia dikumandangkan, di sinilah tempat-nya para pemuda Bandung memamerkan semangat nasionalisme-nya dalam menghadapi kolonialisme Belanda di Indonesia.
“Hari ini orang sudah mulai lupa dan hanya mengetahui bahwa perobekan bendera Belanda hanya terjadi di Hotel Yamato, Surabaya saja,” ujar R.H. Eddie Soekardi, pelaku sejarah sekaligus veteran pejuang Perang Kemerdekaan di Jawa Barat.
Akhir November 1945. Hari belum beranjak siang ketika bendera berwarna merah putih biru dikibarkan secara provokatif oleh sekelompok orang Belanda di puncak Gedung DENISH. Aksi itu kontan menggemparkan kota Bandung dan mengundang ratusan pemuda datang dari berbagai pelosok kota untuk datang ke sana. Mereka kemudian bergerombol di depan gedung karya arsitek Belanda Albert Frederik Aalbers tersebut.
“Dengan wajah marah, para pemuda berteriak-teriak menuntut penghuni gedung untuk secepatnya menurunkan Tri Warna,” ujar R.H.Eddie Soekardi dalam buku Hari Juang Siliwangi.
Demi menghadapi tuntutan masa pemuda Bandung tersebut, para serdadu Jepang dan Inggris yang berjaga di depan Gedung DENIS malah memperlihatkan sikap menantang. Beberapa di antara mereka, bahkan ada yang menembakkan bedilnya ke udara. Alih-alih menjadi gentar, keberingasan pemuda malah semakin menggila. Bunyi tembakan musuh justru dijadikan isyarat komando untuk menyerbu. Maka terjadilah pertarungan jarak dekat yang begitu brutal.
Baca juga: Kala Bandung Dilanda Bingung
“Beberapa serdadu Jepang menjadi korban, kepala mereka sebagian dipuntir (dipelintir sekaligus dipatahkan),” ujar Mohamad Endang Karmas, salah seorang pelaku sejarah dalam insiden tersebut
Mengabaikan ancaman peluru yang bersiliweran dan membahana, para pemuda Bandung malah semakin merangsek dan membentuk formasi tempur pula. Seiring terdengarnya teriakan "siap!" dari berbagai penjuru, sekelompok pemuda dari Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bergerak cepat melucuti serdadu-serdadu Jepang dan Inggris yang bertahan penuh rasa kecut di gerbang utama Gedung DENISH.
Sementara itu, di bawah komando Kapten Husein Wangsaatmadja, sekelompok pelajar SLP (setingkat SMP) yang baru tamat Sekolah Kader Militer di Tegallega, masuk ke dalam gedung. Setelah terlibat perkelahian satu lawan satu dengan serdadu-serdadu Belanda, beberapa di antara mereka langsung naik ke menara gedung, di mana Si Tiga Warna berkibar dengan pongah-nya.
Para serdadu Inggris yang bermarkas di Hotel Savoy Homan (jaraknya hanya beberapa ratus meter dari Gedung DENISH) tentu saja tak tinggal diam melihat kejadian tersebut. Mereka lantas menghadiahi para pemuda dengan peluru-peluru tajam. Tapi dasar pemuda Bandung, bukannya menjadi takut, mereka malah semakin nekat.
Baca juga: Kisah Pemenggal Prajurit Gurkha
Dua pemuda bernama Karmas dan Mulyono berhasil mencapai menara tempat bendera Belanda dikibarkan. Mereka kemudian berusaha menurunkan bendera tersebut. Namun sial, angin terlalu kencang bertiup hingga kabel pengibar menjadi semakin kuat dan liar. Mereka berusaha menjangkau kain bendera namun gagal karena posisinya yang terlampau tinggi.
“ Kumaha yeuh, Mul?!” tanya Karmas sedikit panik karena tembakan dari arah Hotel Savoy Homan terasa semakin gencar.
“Coba lagi aja !” jawab Mulyono.
Tiba-tiba datang ide di kepala Karmas. Sambil memegang ujung bendera yang saat itu tengah terkulai, Karmas menghunus bayonetnya. Ditopang bahu Mulyono yang ia pijak, Karmas lantas mencabik-cabik bagian warna biru Si Tiga Warna hingga serpihan-serpihan kainnya jatuh dan bertebaran di Jalan Braga.
Setelah merasa cukup mengoyak bendera milik musuhnya itu, kedua anak muda itu lantas meneriakkan kata "merdeka" berkali-kali, mereka lantas turun dan langsung menghilang di lorong-lorong Jalan Naripan. Koyaknya bagian warna biru itu, menyebabkan Si Tiga Warna yang masih berkibar terlihat sebagai Sang Merah Putih, bendera Republik Indonesia.
Baca juga: Desas-Desus Sabotase Banjir Bandung 1945
Tambahkan komentar
Belum ada komentar