Kala Bandung Dilanda Bingung
Para pemimpin Bandung tidak dapat mengambil sikap saat menghadapi berita proklamasi. Keputusan akhirnya diambil oleh para pemuda.
TERSIARNYA berita pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak hanya membuat suka cita, tetapi juga kebingungan. Bandung menjadi salah satu daerah yang mengalami situasi tersebut.
“Seperti halnya di berbagai tempat, di sini pun telah ada bermacam-macam kelompok lokal yang sulit dikoordinasikan berhubung rapinya pengawasan Jepang,” tulis A.H. Nasution, dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 1.
Baca juga: Dilema Nasution
Namun walau begitu, para pemuda Bandung tidak kehilangan cara untuk mengabarkan proklamasi,. Alih-alih kehilangan nyali, mereka malah lebih bersemangat untuk menyiarkan berita kemerdekaan Indonesia di kotanya.
“Dengan menaiki sepeda masing-masing, kami bergegas ke balai kota, menemui shicho (walikota). Pada waktu itu walikota adalah Pak Atmadinata. Beliau sudah berumur,” kenang Achmad Tirtosudiro dalam biografinya, Jenderal dari Pesantren Legok: 80 Tahun Achmad Tirtosudiro karya Rayani Sriwidodo.
Misi utama para pemuda itu adalah meminta walikota untuk menginstruksi penurunan bendera Jepang yang tersebar di sudut-sudut kota Bandung, dan segera menggantinya dengan mengibarkan bendera merah putih.Di antara mereka yang pergi menemui walikota ada Mashudi (pangkat terakhir Letanan Jenderal dan mantan gubernur Jawa Barat), serta Achmad Tirtosudiro (pangkat terakhir Letnan Jenderal).
Setelah berhasil bertemu, Achmad dan Mashudi langsung meminta jawaban walikota atas situasi kemerdekaan tersebut. Tetapi bukannya mendapat arahan yang tegas, Atmadinata malah kebingungan.
Para pemuda yang tidak sabar mendesak walikota untuk segera mengambil tindakan sebelum situasi bertambah kacau. Namun bukannya mengambil sikap, sang walikota malah nyaris menangis karena bingung, tidak berani menentukan tindakan apa yang harus diambil sebelum ada instruksi resmi.
Dalam situasi yang semakin tidak menentu karena ketidaktegasan sang walikota, para pemuda itu segera pergi menemui syucho (residen). Saat itu karesidenan Priangan dipimpin oleh Puranegara.
Baca juga: Begini Naskah Proklamasi Dirumuskan
Namun setelah berhasil menemui residen, lagi-lagi para pemuda tidak mendapat perintah yang jelas dan tegas. Mereka malah kembali harus melihat ketidakmampuan para pemimpin untuk menentukan sikap dalam situasi yang harus serba cepat itu.
“Kami, para pemuda yang sedang haus-hausnya akan kepastian tindakan yang seharus dilakukan ketika itu, malah tidak mendapat pengarah sama sekali,” kata Achmad.
Nasution menyebut bahwa pertimbangan-pertimbangan militer dari para pemuda Bandung mengalami jalan buntu. Mereka memutuskan untuk menunggu instruksi dari Jakarta. Keyakinan para pemuda dan barisan rakyat Bandung sangat besar terhadap para pemimpin di pusat.
"Suatu keyakinan yang ternyata sangat naif. Dan seharusnya kita jangan berat sebelah dalam memperhitungkan pemberontakan secara militer," tulis Nasution.
Tanpa di sangka-sangka, beberapa kelompok rakyat Bandung melakukan pergerakan. Walau masih ragu-ragu, karena tekanan polisi Jepang, tetapi mereka sudah berani turun ke jalan. Mahasiswa dan masyarakat bersatu melakukan aksi demonstrasi. Senjata dan kendaraan milik pasukan Jepang dengan cepat diliucuti.
Baca juga: Kisah di Balik Bandung Lautan Api
Tambahkan komentar
Belum ada komentar