Djamin Gintings Telat Naik Pangkat
Karier Djamin Ginting lama mandek di pangkat kolonel. Sang istri mempertanyakannya langsung kepada orang kedua pimpinan Angkatan Darat, Jenderal Gatot Subroto.
SEBAGAI istri yang peduli pada karier suami, Likas Tarigan prihatin menatap nasib suaminya, Djamin Gintings. Terhitung sejak 27 Desember 1956 hingga 4 Januari 1961, sudah lima tahun Djamin menjabat sebagai panglima Komando TT I/Bukit Barisan dengan pangkat kolonel. Usai meletakkan jabatan panglima di Sumatra Utara itu, Djamin mendapat tugas pendidikan di Staff College Military di Pakistan. Entah mengapa Likas merasa karier militer suaminya itu seolah mandek.
“Suasana hati suamiku sedang kelabu. Aku ingin melakukan sesuatu yang menyenangkannya. Aku merasa kenaikan pangkat suamiku agak tersendat. Suami orang lain, sudah naik pangkatnya. Mengapa suamiku masih kolonel?” tukas Likas dalam otobiografinya yang ditulis Hilda Unu-Senduk, Perempuan Tegas dari Sibolangit.
Djamin, seperti disebut dalam Ensikolopedia Sejarah Indonesia, berperan dalam penumpasan gerakan pemberontakan PRRI di Sumatra Utara. Setelah membaca dengan cermat perkembangan gerakan ini, Djamin mengerahkan pasukannya untuk menangkap pimpinan gerakan sekaligus mantan atasannya Kolonel Maludin Simbolon dan para pengikutnya. Dalam “Operasi Sapta Marga”, Djamin turut andil dalam mematahkan Gerakan Simbolon. Dengan demikian, memudahkan pemerintah pusat menjadikan Sumatra Utara sebagai pangkalan utama dalam upaya penghancuran PRRI secara menyeluruh.
Menurut Likas, Djamin agak kecewa ketika pemerintah pusat membuka rekonsiliasi dengan pemberian amnesti bagi sejumlah petinggi PRRI-Permesta, termasuk Simbolon. Djamin iritasi pada pemerintah lantaran rasa setia kawan terhadap anak buah, kawan-kawan seperjuangan yang telah banyak korban. Mengenai pangkatnya yang tersendat, sebenarnya bukan soal baginya.
“Bukan pangkat yang kukejar,” begitu kata Djamin, ditirukan Likas.
Di masa revolusi Perang Kemerdekaan, Djamin bahkan rela mengalami penurunan pangkat. Pada 1948, pemerintah memberlakukan kebijakan rasionalisasi Angkatan Perang. Instruksi dari Perdana Menteri Hatta ini pun diterapkan Djamin yang waktu itu menjabat komandan Resimen IV Divisi X TNI. Per 1 Oktober 1948, diadakan penurunan pangkat setingkat untuk seluruh opsir resimen sesuai perintah dari atasan. Djamin yang semula berpangkat letnan kolonel, turunan jadi mayor.
“Peraturan yang demikian itupun diterima oleh anggota-anggota tentara dengan ketawa, sebab memang mereka berjuang bukan untuk pangkat. Dengan sukarela, masing-masing menggantikan tanda pangkatnya sendiri-sendiri. Pada waktu ini tidak ada prajurit yang memikirkan pangkat. Pikiran ditujukan kepada bagaimana Belanda dapat terusir segera,” tegas Djamin sebagaimana tercatat dalam buku hariannya yang dibukukan Bukit Kadir.
Namun, tiada dimungkiri, dari beberapa koleganya seangkatan, Djamin termasuk yang telat mencapai pangkat perwira tinggi. Sebut saja seperti Soeharto, yang pada 1961 sudah jadi brigadir jenderal dan menjabat panglima Korps Caduad (kini Kostrad). Djamin dan Soeharto sama-sama kelahiran 1921. Djamin bahkan lebih dulu menjadi panglima teritorium, yakni pada 1956, sedangkan Soeharto menjadi panglima Teritorium IV/Diponegoro baru pada 1957. Sementara itu, Ahmad Yani yang usianya lebih muda setahun, sudah lebih dulu mencapai jenjang perwira tinggi.
Ketertinggalan Djamin tersebut tentu dimafhumi oleh sang istri. Untuk itu, Likas sekali waktu berinisiatif menanyakan perihal itu kepada atasan suaminya, yaitu Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal Gatot Subroto. Gatot adalah orang kedua dalam jajaran pimpinan Angkatan Darat.
Sementara Djamin tugas pendidikan di Karachi, Pakistan, Likas mengenang, dia berangkat dari Medan ke Jakarta menemui langsung Gatot Subroto di kediamannya. Awalnya Likas membuat janji bertemu dengan Nyonya Gatot Subroto. Setelah diterima Nyonya Gatot, Likas diantar bersua dengan Gatot. Dalam kesempatan itu, Likas menumpahkan uneg-unek tentang nasib suaminya kepada Gatot.
“Mengapa hanya suami saya sendiri yang tidak naik pangkat, Pak? Masih kolonel sampai sekarang. Padahal segala instruksi sudah dikerjakannya dengan sepenuh tenaga. Apa kesalahan suami saya? Apa kekurangan suami saya? Apa ada perbuatan tidak enak yang dibuatnya? Kalau ada yang tidak berkenan di hati Bapak, sayalah orangnya yang bisa menegur dan mengajar dia. Mohon Bapak pertimbangkan kenaikan pangkatnya,” cecar Likas.
Baca juga: Istri Jenderal Minta Panser
Namun, Gatot tak serta-merta luluh mendengar uraian itu. Secara tersirat, Gatot terkesan kurang nyaman ditanyai begitu. Jawaban yang diberikan pada Likas pun hanya sekedarnya.
“Ibu Djamin malam ini saya naikkan pangkatnya. Lebih tinggi dari Djamin. Tapi bukan Djamin,” katanya.
“Mengapa, Pak?” desak Likas.
“Ini rahasia tentara,” balas Gatot menyudahi pembicaraan.
Baca juga: Ketika Djamin Gintings Rindu Tanah Air
Percakapan singkat itu membekas lama di hati Likas. Apa yang diharapkan baru terwujud setahun kemudian. Pada pertengahan 1962, ketika Ahmad Yani menjadi KSAD, Djamin ditunjuk sebagai Asisten II KSAD yang membidangi operasi dan latihan. Seiring dengan penujukan itu, per 1 Juli 1962 pangkat Djamin dinaikkan setingkat menjadi brigadir jenderal.
Selama menjabat Asisten II KSAD, Djamin sebagaimana pernah dituturkan mantan stafnya, Sayidiman Suryohadirpdjo, merupakan sosok perwira yang dekat dengan anak buahnya. Lain itu, Djamin dikenal sebagai atasan yang suka berterus terang dan baik hati. Pada 1965, Djamin naik pangkat lagi jadi mayor jenderal dan menjabat sebagai Inspektur Jenderal AD.
Letnan jenderal jadi pangkat terakhir yang disandang Djamin. Bintang tiga melekat dipundaknya per 1 Agustus 1971. Di masa ini, Djamin sudah berada di luar struktur militer dan lebih banyak berkiprah di bidang politik, seperti memimpin Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar. Setelah membantu Golkar memenangkan Pemilu 1971, Djamin memulai tugas baru sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kanada pada 1972. Jabatan yang menurut Djamin ibarat “pengasingan” baginya itu diemban hingga akhir hayatnya pada 1974.
Baca juga: Djamin Gintings Sesepuh Golkar yang Tersisih
Tambahkan komentar
Belum ada komentar