Bu Ruswo, Pahlawan dari Balik Dapur Umum
Bu Ruswo mengorganisir dapur-dapur umum di Yogyakarta selama revolusi Indonesia. Aktif pula dalam berbagai gerakan perempuan.
Dalam keadaan lelah usai menyabung nyawa dalam pertempuran di front Bukateja, Purbalingga pada 1947, prajurit-prajurit republik terpaksa “berjuang” kembali untuk bisa kembali ke tempat asal, Yogyakarta. Selain terpaksa duduk di bordes rangkaian kereta api, mereka mesti menahan lapar di tengah udara dingin sepanjang perjalanan Temanggung-Yogyakarta itu lantaran gerimis.
“Kalau begini ada Bu Ruswo tidak bakal lapar. Tidak bakal haus. Tidak bakal kedinginan. Mulut bisa ngebul!” kata salah satu prajurit kepada temannya, seperti diceritakan Tjiptoning dalam Majalah Minggu Pagi, 1 Februari 1959.
Namun, setibanya di Stasiun Tugu, Yogyakarta, asa mereka kembali muncul. Seorang yang mereka harapkan telah siap sedia. Dialah Ibu Ruswo, ibunya para prajurit.
Bu Ruswo merupakan orang yang berperan penting pada masa revolusi fisik di Yogyakarta. Ia tak mengangkat senjata dan maju ke medan pertempuran, namun berjuang di belakang layar dengan memasok logistik bagi para prajurit.
Baca juga: Dapur Umum Lasmidjah Hardi
Lahir dengan nama Kusnah pada 1905 di Yogyakarta, ia kemudian lebih dikenal sebagai Bu Ruswo sejak menikah dengan pemuda bernama Ruswo Prawiroseno. Pada 1928, Bu Ruswo mulai aktif dalam berbagai organisasi. Mulanya ia bergabung dengan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO), organisasi kepanduan yang berdiri sejak 1926. INPO kemudian melebur dengan beberapa kepanduan lain menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).
Menurut Tjiptoning, Bu Ruswo memang memiliki minat dalam kepanduan. Selama aktif dalam kepanduan, Bu Ruswo seringkali berperan dalam mengurus logistik.
“Di Jogja, ada jambore KBI urus makanan. Ada Perkino (Perkemahan Kepanduan Indonesia) di Ambarwinangun (Jogja) – Sri Sultan untuk pertama kalinya hadir; zaman Belanda!-, urus makanan. Ada Kongres Indonesia Muda, urus makanan. Ada Kongres Taman Siswa, urus makanan, ada Kongres PNI, Kongres Partindo, kongres PSSI (sepakbola) urus makanan!,” tulis Tjiptoning.
Pada zaman pendudukan Jepang, Bu Ruswo bergabung dengan Badan Pembantu Prajurit Indonesia (BPPI). BPPI kemudian berubah menjadi Badan Penolong Keluarga Korban Perjuangan. Karena keaktifannya, Bu Ruswo bersama kawannya Lasmidjah Hardi pernah dipanggil pemerintah Dai Nippon.
Baca juga: Dapur Umum: Dapur Ngebul, Senapan Ngepul
"Dengan hati berat dan bermacam-macam pertanyaan dalam hati, kami menghadap. Tapi syukurlah bukan hukuman yang kami terima, melainkan tugas untuk memimpin Fujinkai (organisasi wanita) di Yogyakarta,” tulis Lasmidjah Hardi dalam Sumbangsihku bagi Pertiwi: (Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran).
Selama Revolusi Fisik di Yogyakarta, Bu Ruswo aktif mengorganisir dapur-dapur umum di setiap kantong pasukan Republik. Ia juga menggerakkan para perempuan agar turut membantu perjuangan dari belakang layar, di samping mengumpulkan sumbangan penduduk untuk memenuhi kebutuhan logistik. Menurut Pranoto Reksosamodra, yang kelak menjadi Asisten Pernsonalia Men/Pangad, dalam Memoar Mayor Jenderal Raden Pranoto Reksosamodra, Bu Ruswo rajin keluar masuk kota-kota yang kala itu diduduki pihak Belanda.
“Dia bertugas sebagai kurir atau berbelanja keperluan kami yang sedang bergerilya di luar kota,” tulis Pranoto.
Pranoto mengenang, suatu ketika dia bertemu dengan Bu Ruswo yang membawakan oleh-oleh surat kabar, kemenyan, kelembak, dan tembakau. Dengan itu, dia dan gerilyawan lain bisa merokok meski kertas rokoknya menggunakan surat kabar bekas.
Meski dikenal sebagai pahlawan dari dapur umum, Bu Ruswo sebenarnya tak melulu mengurus makanan. Ia sempat bergabung dengan Komite Pembela Buruh Perempuan Indonesia, Komite Penyokong Perguruan Indonesia, hingga Perkumpulan Pembrantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A). Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan, Saskia Wieringa mencatat bahwa Bu Ruswo turut hadir dalam Kongres Persatuan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII) II di Surakarta pada 1932 di mana isu perdagangan perempuan santer diperbincangkan.
Baca juga: Perjuangan Lasmidjah Berbuntut Pengusiran
Bu Ruswo, sebagaimana dikutip Wieringa dari Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia, mengatakan bahwa perdagangan perempuan merupakan “penyakit dunia.. yang sudah ada sejak dulu kala sampai dewasa ini, dari Timur maupun sampai Barat… Suatu penyakit yang merajalela di setiap sudut hubungan manusia, dari tingkat rendah sampai tinggi, di kalangan kulit putih dan berwarna.”
Namun, lantaran sudah terlanjur dikenal sebagai pahlawan dari balik dapur umum, aktivitas maupun pemikiran Bu Ruswo dalam berbagai organisasi perempuan hampir tak tercatat dalam sejarah. Atas jasa-jasanya, pada 1958 Bu Ruswo dianugerahi Bintang Gerilya oleh Presiden Sukarno yang diberikan bersama penganugerahan untuk almarhum Jenderal Sudirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Nama Bu Ruswo kemudian diabadikan menjadi nama jalan di Yogyakarta, Jalan Ibu Ruswo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar