Dapur Umum Lasmidjah Hardi
Perempuan pejuang yang bertahan di Jakarta sepakat mendirikan dapur umum untuk keperluan perjuangan. Salah satunya, Lasmidjah Hardi.
LASMIDJAH Hardi dan rekan-rekan perempuan pejuang yang mengurus dapur umum bingung. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan masih berjalan, Jakarta kehabisan cadangan beras. Mereka segera berkumpul untuk memecahkan masalah. Berbagai kenalan pun dihubungi untuk dimintai bantuan.
Upaya mereka membuahkan hasil. Seorang jago pro-republik datang untuk menyumbangkan berasnya untuk keperluan dapur umum. Haji Darip namanya, tinggal di Klender, Jakarta Timur.
Namun, beras Haji Darip tidak di Jakarta, melainkan ada di gudang Tambun, Bekasi. Lasmidjah pun langsung mengajak Sujatin Kartowijono dan Erna Djajadiningrat dari dapur umum Wani (Wanita Negara Indonesia) menyusun rencana bersama. Keputusannya, Lasmidjah yang ditugaskan mengambil beras itu.
Baca juga: Kiai dan Jagoan dalam Perang Kemerdekaan
Sebelum berangkat, Lasmidjah menghubungi pemilik Toko P&D yang berada di ujung Gang Tomas, Tanah Abang. Si pemilik toko diminta kongkalikong agar bersedia mengakui bahwa beras yang akan dibawa Lasmidjah merupakan pesanannya. Ketika jaminan pemilik toko sudah didapat, Lasmidjah pun berangkat ke Tambun ditemani Suratmi dan disupiri Kusnadi. Mereka berangkat menggunakan truk pemberian Walikota Suwiryo.
Begitu beras sudah di tangan, mereka menyusun siasat agar beras bisa sampai Jakarta tanpa dihadang tentara NICA. Antisipasi mereka betul. Sampai di Jatinegara, truk Lasmidjah dihentikan tentara NICA. Bermacam pertanyaan mereka lontarkan terkait keperluan mengangkut beras satu truk. Lasmidjah yang sudah mengantisipasi pun menjawab dengan tenang, “Ini adalah pesanan dari toko P&D karena di Jakarta sulit mendapatkan beras, Meneer,” kata Lasmidjah dalam memoarnya, Perjalanan Tiga Zaman.
Lebih dari satu jam Lasmidjah cs. tertahan di Jatinegara. Para serdadu NICA yang tak mudah percaya itu harus mengkonfirmasi kebenaran ucapan Lasmidjah via telepon. Baru setelah kantor pusat NICA di Gambir memberi lampu hijau, truk Lasmidjah bisa melanjutkan perjalanan.
Setiba di Jakarta, beras dibagi untuk Toko P&D dan untuk dapur umum yang tersebar di Jakarta, seperti dapur umum Wani yang diketuai Erna dan dapur umum Lasmidjah. Keputusan menyelenggarakan dapur umum diambil setelah para perempuan pergerakan seperti Maria Ullfah, Suwarni Pringgodigdo, Sukesih Budiardjo, Lasmidjah, dan Sukardjo Wirjopranoto berkumpul. Mereka memutuskan untuk ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dengan mendirikan dapur umum.
Baca juga: Perempuan Pertama Penerima Bintang Gerilya
Erna mendirikan dapur umumnya di rumahnya di Jalan Mampang No. 47. Namun karena pernah digerebek tentara Belanda, Erna memindahkannya ke tempat baru yang ditawarkan Walikota Suwiryo, di Jalan Pegangsaan Timur No. 17. Suwiryo, kata Erna dalam kumpulan memoar Sumbangsihku Bagi Pertiwi III, juga memberinya sebuah truk untuk angkutan.
Selain mendapat jatah beras dari Haji Darip, dapur umum Erna juga mendapat sumbangan dari pemerintah, kiriman ikan dari Pasar Ikan dan Tanjung Priok, buah-buahan dari Pasar Minggu, dan rokok dari dokter-dokter yang bertugas di CBZ (Centrale Burgerlijkr Ziekenhuis, kini RS Tjipto Mangunkusumo).
Sementara, Lasmidjah mendirikan dapur umum di rumahnya, Gang Tomas, Tanah Abang dengan biaya sendiri dan sumbangan rakyat. Dapur umum itu dikelolanya sendiri dengan bantuan rekan-rekan perempuan pejuang, seperti Treen Radjasa, Mien Awigeno, Titi Hamzah, Tuti Subandi, dan Nyonya Sjamsidar.
Setelah makin banyak orang yang mendatanginya, Lasmidjah memindahkan dapur umumnya ke rumah yang lebih luas di Jalan Tanah Abang Barat 70A. Semakin banyak orang yang mendatanginya. Jumlah mereka bisa mencapai 40-an orang. Selain rekan-rekan adik Lasmidjah, Piet, yang kerap menyambangi dapur umum itu antara lain penyair Chairil Anwar, Sukarni, dan Adam Malik beserta kelompoknya.
Suatu kali, Chairil makan sambil membuat puisi untuk Lasmidjah. “Ini sosok Yu Las. Judes, anggun, cantik, tetapi tidak kemayu,” demikian bunyi puisi itu. Begitu Chairil menyerahkan puisinya, Lasmidjah langsung menjadikan kertas puisi itu penghuni keranjang sampah. “Isinya ternyata membuatku sedikit jengkel,” kata Lasmidjah.
Baca juga: Perjuangan Lasmidjah Berbuntut Pengusiran
Selain menjadi dapur umum, rumah Lasmidjah juga menjadi tempat penampungan sementara orang-orang yang luka sebelum dibawa ke CBZ. Para pemuda yang berkumpul di rumah Lasmidjah tiap malam saling bertukar informasi, membuat pamflet, dan menempelkannya di tempat-tempat strategis di Tanah Abang menjelang fajar. Sekali-dua mereka juga mencuri senjata musuh dan menjadikan rumah Lasmidjah sebagai tempat penampungan senjata.
Suatu ketika, tentara Belanda mendatangi rumah itu untuk mencari mobil Buick biru yang dibawa pulang Piet sehari sebelumnya. Wajah Lasmidjah langsung pucat lantaran mobil itu sedang dipakai Piet. “Tiba-tiba di halaman rumah datang sebuah kendaraan Jip penuh tentara NICA. Kami memaksa diri untuk tetap tenang,” kata Lasmidjah. Beruntung ketika Piet kembali, ia langsung menyerahkan kunci mobil sambil cengengesan. Tanpa ada baku tembak, masalah selesai dan tentara Belanda pergi begitu saja.
Kenangan masa perjuangan ini kemudian mendorong Lasmidjah, SK trimurti, Sujatin, Siti Djauhari Sudiro, Soekanti Soerjotjondro, Utami Soerjadharma, dan Amini Sutari Abdulgani mendirikan Yayasan Wanita Pejuang pada 24 Februari 1977. Yayasan ini megeluarkan lima jilid buku Sumbangsihku Bagi Pertiwi dan Perjuangan Wanita Indonesia 10 Windu setelah Kartini 1904-1994. Mereka menghimpun kisah-kisah perempuan pejuang yang ikut dalam usaha kemerdekaan baik di garis depan maupun di garis belakang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar