Pramoedya Melancong ke Negeri Belanda
Melalui Yayasan Sticusa, Pram melancong ke Belanda untuk pertukaran kebudayaan Indonesia-Belanda, tapi tidak kerasan. Pengalaman bercinta dengan gadis Belanda paling berkesan baginya.
PRAMOEDYA Ananta Toer suatu hari jalan-jalan menyusuri Taman Vondel di Kota Amsterdam. Di taman yang indah itu, Pram melihat banyak orang lalu-lalang menikmati udara hangat. Hari itu sedang musim panas. Pram sendiri sedang butuh tempat untuk merenung. Gara-gara mengidap sikap minder dalam dirinya, Pram susah bergaul dengan orang-orang Belanda.
“Aku duduk seorang diri di atas bangku beton taman. Kemudian duduk seorang wanita muda. Ia mengajak bicara. Ia begitu ramah. Bahasanya bahasa sekolahan, bukan lidah Jordan yang aku tidak begitu paham,” tutur Pram kepada salah satu putrinya, Anggraini, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Catatan-catatan dari Pulau Buru Jilid II.
Pram mendapati bahwa gadis Belanda kenalannya itu seorang terpelajar. Minat mereka pada sastra pun nyambung. Si gadis bicara panjang tentang sastra Prancis. Pram hanya tahu Victor Hugo, Emile Zola, dan Honore de Balzac dari sejumlah sastrawan yang dibincangkan sang gadis. Meski percakapan mereka agak terkendala bahasa, menurut Pram gadis itu tidak menggurui. Dari perjumpaan pertama, Pram sudah terpikat pada kepribadian si gadis Belanda.
“Cara dan gaya bicaranya itu terkesan padaku seakan-akan aku bukan orang bekas jajahannya, bahwa tak ada perbedaan antara orang Asia dengan orang Eropa. Ia tidak mengganggu pendalamanku,” kenang Pram.
Program Sticusa
Kunjungan Pram ke Belanda berlangsung pada pertengahan 1953. Usia Pram baru 28 tahun kala itu dan dikenal sebagai pengarang muda sekaligus penyunting di Penerbit Balai Pustaka. Tersebutlah andil Yayasan Stichtung voor de Culturele Samenwerking (Sticusa), lembaga kerjasama kebudayaan Indonesia-Belanda. Sticusa mendapuk Pram sebagai salah satu penerima program residensi pertukaran seniman selama setahun.
Yayasan Sticusa didirikan di Amsterdam, Belanda pada 1948. Pembentukan lembaga ini bertujuan memajukan kehidupan budaya di negeri-negeri koloni Belanda. Selain Indonesia, Sticusa menempatkan perwakilanya di koloni Hindia Barat seperti Suriname, Antille, dan Aruba.
Di Indonesia, kantor Yayasan Sticusa terdapat di Jalan Gadjah Mada, Jakarta dan di Fort Rotterdam, Makassar. Setiap tahun, Sticusa mengadakan kegiatan mengundang seniman-seniman Indonesia untuk berkunjung ke Belanda. Terpilihnya Pram sebagai penerima program Sticusa itu bertepatan setelah dirinya memenangi sayembara penulisan roman Balai Pustaka lewat karya Perburuan pada 1950.
Baca juga:
Tidak semua seniman bersedia menerima undangan dari pihak Sticusa. Seperti disebut sastrawan Ajip Rosidi, pelukis seperti S. Sudjojono, Basuki Resobowo, dan Trisno Sumardjo termasuk yang menolak. Sekadar pemberian hadiah cat minyak dari Sticusa pun mereka tidak mau terima. Alasan penolakan bersifat prinsipil karena Sticusa dibentuk pada saat Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang hendak menjajah kembali. Sementara mereka yang menerima tawaran Sticusa antara lain pelukis Kerton Sudjana dan Mochtar Apin serta Sitor Situmorang, Barus Siregar, Gayus Siagian, Aoh K. Hadimadja, Ramadhan K.H, Asrul Sani, dan Pramoedya Ananta Toer dari kalangan sastrawan.
Menurut Ramadhan K.H, pengarang yang mendapat undangan dari Sticusa terdiri dari dua golongan. Pertama adalah mereka yang tergolong pengarang biasa. Namanya belum menjulang dalam kehidupan sastra Indonesia. Yang termasuk golongan ini terbilang banyak. Selama program residensi di Belanda, mereka berkewajiban menerjemahkan karangan-karangan tentang kesenian dan kebudayaan Barat ke dalam bahasa Indonesia secara probono alias cuma-cuma.
“Golongan yang kedua adalah pengarang yang dianggap terkemuka dan jasanya dalam perkembangan sastra Indonesia luar biasa. Menurut Ramadhan, yang termasuk golongan ini hanya dua orang, yaitu Asrul Sani dan Pramoedya Ananta Toer,” ulas Ajip Rosidi dalam Lekra Bagian Dari PKI.
Pram sendiri awalnya merasa dilematis. Antara merasa terhormat dan ragu-ragu ketika menyikapi tawaran Sticusa yang disodorkan Prof. Mr. G.J. Resink. Pram sadar betul saat itu bahasa Belandanya tak cukup bagus. Belum lagi persoalan gangguan kepribadian inferior complex yang menjeratnya sejak lama. Trauma masa kecil akibat perlakuan keras ayahnya menyebabkan Pram tumbuh jadi sosok yang rendah diri. Namun, Pram teringat pesan ibunya agar suatu saat kelak dirinya bisa menimba ilmu lantai6 di Eropa.
“Aku terima undangan itu. Barangkali ada baiknya melihat Eropa, sekalipun tidak belajar,” kata Pram. “Tidak setiap orang mendapat keberuntungan melihat Eropa.”
Gadis Belanda Pelipur Lara
Sekira Mei 1953, kapal Johan van Oldenbarnevelt bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok membawa Pram bertualang ke negeri Belanda. Pram tidak pergi sendirian. Sebagai pengarang yang sudah punya reputasi, Pram mendapat keistimewaan berkunjung ke Belanda bersama keluarga. Untuk itu, dia memboyong sang istri Arvah Iljas beserta anak-anak, Poedjarosmi dan Etty Indriarti. Arvah saat itu tengah mengandung Anggraini, putri mereka yang ketiga.
Pram mengenang keberangkatannya ke Belanda itu sebagai perjalanan pelayaran yang sungguh menyenangkan. Itulah untuk kali pertama Pram bersama keluarganya melancong ke luar negeri. Setibanya di Amsterdam, pejabat-pejabat Sticusa pusat menyambut Pram sekeluarga dengan hangat.
“Begitu kami datang, pembesar-pembesar Sticusa telah duduk-duduk menunggu di ruangan calon tempat tinggal kami di antaranya Direktur Sticusa sendiri Dr. Verhoeven,” kenang Pram.
Baca juga:
Masa residensi diisi Pram dengan berbagai kegiatan. Mulai dari menyusun teks siaran untuk Radio Hilvesrsum, menulis untuk Sticusa, hingga memeriksa naskah yang akan diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Van Hoeve. Lain itu, Pram juga tetap produktif menelurkan karyanya. Di Belanda, Pram menyelesaikan novelnya berjudul Midah si Manis Bergigi Emas yang berlatar Jakarta. Novel Pram yang lain berjudul Korupsi juga ditulisnya di Belanda dan terbit pada 1954.
Menurut adik Pram, Koesalah Soebagyo Toer, meskipun di Belanda Pram tetap rajin mengirimkan naskah karangan ke Indonesia lewat pos. Datangnya naskah Pram dari Belanda bertubi-tubi banyaknya. Kadang-kadang dua kali seminggu. Rencanaya karangan Pram itu untuk diterbitkan oleh agensi kesusasteran, seni, dan budaya Mimbar Penyiaran DUTA (L & L Acy Duta). Sebelum ke Belanda, Pram sempat mendirikan DUTA pada 1952. Setelah Pram ke Belanda, agensi itu dikelola Koesalah untuk sementara waktu.
“Karangan berupa ketikan di atas kertas doorslag kuarto, dengan pita biru. Kadang-kadang disertai surat tentang apa-apa yang perlu saya lakukan. Jadi kepergian Mas Pram ke Belanda tidak mengurangi kesibukan saya dengan DUTA,” terang Koesalah dalam Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer.
Baca juga:
Tapi, lama-lama Pram gelisah juga karena honor yang dia terima tak sebanding dengan pengeluaran. Persoalan itu menyebabkan istri yang mengandung dan kedua anaknya pulang lebih dulu ke Indonesia. Selama di Amsterdam, Pram harus membayar sewa kamar termasuk listrik gas. Begitu pula pakaian Eropa yang dibeli lewat mencicil. Pram mendapati janji lisan dari Sticusa Jakarta bertolak belakang dengan kenyataan di Belanda. Persoalan itu menyebabkan istrinya yang mengandung bersama kedua anak pulang lebih dulu ke Indonesia.
Menurut penulis biografi politik Pram, Savitri Scherer dalam Pramoedya Ananta Toer: Dari Budaya ke Politik 1950—1965, pengalaman hidup di Belanda sekaligus jadi pengalaman kali pertamanya hidup dalam masyarakat kapitalistik. Itu membuatnya tidak kerasan tinggal di Belanda. Pandangan kritis Pram tentang kehidupan dan pemikiran Barat tertuang dalam cerita-cerita pendek yang ditulisnya pada periode ini.
Alasan Pram tak betah di Belanda, seturut penuturan Koesalah, persis sebagaimana Pram waktu keluar dari ketentaraan di Divisi Siliwangi. Dia menduduki tempat yang membuatnya harus tunduk pada sesuatu yang dianggapnya tak adil. Situasi ini terus berulang padanya, dan ada istilahnya yang barangkali pas, yaitu “masuk dalam hierarki, yang harus menindas ke bawah dan menjilat ke atas.”
Baca juga:
Sementara Pram ingin menceraikan dirinya dari Sticusa, hubungannya dengan gadis Belanda justru terus berlanjut. Pram memadu kasih dengan perempuan itu sampai ke tingkat intim. Percintaan Pram dengan perempuan lain ini tentu disembunyikannya dari istrinya. Apalagi hubungan Pram dengan Arvah saat itu tengah renggang karena kondisi finansial mereka yang morat-marit. Berpuluh-puluh tahun kemudian, Pram baru mengakui hubungan intim yang terjalin antara dirinya dengan pacar Belandanya itu. Pram bahkan blak-blakan, pengalaman seksual bercinta dengan gadis itulah yang telah menyembuhkan penyakit inferiority complex-nya.
“Oh, itu membebaskan saya dari perasaan minder. Jadi dapat pacar bangsa yang pernah menjajah saya. Ingat seks... lihat: dulu dia tuan saya, sekarang saya tidur bersama dia. Hilang itu perasaan minder,” aku Pram dalam sebuah wawancara yang terangkum dalam Pram Melawan suntingan Hasudungan Sirait, dkk.
Pada tahun baru 1954, Pram meninggalkan Belanda. Kepulangannya ke Indonesia sekaligus memotong masa residensinya lebih cepat dari program yang telah ditentukan Sticusa. Dalam suratnya kepada Anggraini yang ditulis pada pertengahan 1975 saat penahanan di Pulau Buru, Pram mengatakan demikian:
“Kunjunganku ke Nederland aku anggap sebagai kegagalan dalam arti sosial, tetapi satu hasil yang sangat baik dalam arti psikologis.”
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar