Amoroso Katamsi Jadi Soeharto
Awalnya jadi pemeran cadangan. Amoroso Katamsi akhirnya terpilih menjadi pemeran Soeharto.
Laksamana Pertama TNI (Purn.) dr. Amoroso Katamsi meninggal dunia di RSAL Mintoharjo, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, pada 17 April 2018, pukul 01.40 WIB. Dokter dan psikiater TNI AL ini mulai terjun ke dunia film pada 1976. Namanya melambung setelah memerankan Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Film propaganda Orde Baru ini menjadi tontonan wajib setiap tahun, diputar setiap 30 September di TVRI dan dipancarluaskan oleh stasiun televisi swasta.
Amoroso dipilih sebagai pemeran Soeharto karena bersahabat dengan sutradara Arifin C. Noer sejak masih di Yogyakarta dalam sebuah kelompok teater. Dia juga anggota Teater Kecil yang didirikan Arifin pada 1968.
Dalam wawancara dengan majalah Pertiwi, 1989, Amoroso mengungkapkan bahwa pada tahap persiapan pembuatan film Pemberontakan G30S/PKI, Arifin mencari pemain yang mirip dengan tokoh-tokoh yang berperan dalam peristiwa sejarah itu.
Baca juga: Lima Aktor Pemeran Soeharto
“Kebetulan saya memang satu grup (Teater Kecil, red.) dengan Arifin, dan ketika itu dia mengatakan bahwa saya dicadangkan untuk memerankan Pak Harto. Sementara saya tahu bahwa asisten-asistennya Arifin masih terus mencari tokoh yang dipandang lebih mirip dengan Pak Harto. Proses berjalan, sampai saatnya pembuatan film dimulai, agaknya keputusan akhir dari Arifin, Pak Dipo (Gufran Dwipayana sebagai produser, red.) dan yang lainnya, menetapkan saya sebagai pemeran Pak Harto,” kata Amoroso.
Begitu ditetapkan sebagai pemerain Soeharto, Amoroso merasa senang, bangga sekaligus beban karena melakonkan orang nomor satu di Indonesia. Dia mengakui, persiapannya boleh dibilang sama dengan peran tokoh-tokoh lain dalam film-film yang pernah dibintanginya.
“Yang berbeda adalah, karena orang yang saya perankan betul-betul ada, sehingga banyak bahan yang bisa saya pelajari. Kalau dalam peran biasa bahan saya skenario, kemudian saya kembangkan sendiri untuk mencari latar belakang dari skenario itu. Dalam peran menjadi Pak Harto, selain mempelajari skenario, juga banyak bahan yang mesti saya pelajari pula. Misalnya buku-buku tentang beliau, foto dan film tentang beliau pada masa itu, saya coba simak untuk bisa menopang proses penghayatan saya terhadap Pak Harto yang akan saya perankan,” kata Amoroso.
Baca juga: Tujuh Pemeran Film Pengkhianatan G30S/PKI
Setelah persiapan selama tiga bulan, Amoroso merasa sudah bisa mengimajinasikan karakter Soeharto. Dia kemudian diberi kesempatan mengobservasi kegiatan Soeharto di peternakan sapinya di Tapos, Bogor. Pertemuan kedua dengan Soeharto menjelang pembuatan film Djakarta 1966.
“Pak Harto banyak memberikan petunjuk, masukan. Saya sendiri memang menanyakan hal itu. Misalnya saya tanyakan, bagaimana suasana hati Pak Harto ketika mengucapkan dialog-dialog pada dua peristiwa yang bersejarah itu,” kata Amoroso.
Banyak orang menilai Amoroso paling mirip dengan Soeharto. Namun, sebelum memerankan Soeharto, dia tak pernah merasa mirip Soeharto. Orang lain pun tak pernah mengatakan bahwa dia mirip Soeharto. Malahan ketika sudah terpilih untuk memerankan Soeharto, dia masih bertanya-tanya, “Apa ya, saya mirip Pak Harto?”
“Halnya suara, orang juga menilai hampir mirip dan memang dalam film itu suara saya asli,” kata Amoroso dalam wawancara dengan Panji Masyarakat, 21-30 November 1991.
Dari berbagai tokoh yang pernah diperankan, yang paling menarik bagi Amoroso adalah sebagai Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI dan Djakarta 66 (1988), serta sebagai tokoh fiktif, Romo, dalam Serangan Fajar (1981). “Di situ saya berperan sebagai bangsawan Jogya yang mengalami konflik sikap karena ada perubahan dari alam feodal ke alam kemerdekaan,” kata Amoroso.
Peran sebagai Soeharto mengantarkan Amoroso menjadi nominator pemeran utama terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1984. Sebelumnya, dia terpilih sebagai pemeran pembantu pria terbaik dalam film Serangan Fajar pada FFI 1982.
Selain ketiga film tersebut, Apa Siapa Orang Film Indonesia mencatat filmografi Amoroso antara lain Darah Ibuku (semi dokumenter), Menanti Kelahiran, Cinta Abadi (1976), Terminal Cinta, Duo Kribo, Balada Anak Tercinta (1977), Yuyun: Pasien Rumah Sakit Jiwa, Buah Terlarang (1979), Gadis Penakluk (1980), Nyanyian Setan, Calon Arang, Bila Saatnya Tiba (1985), dan Pergaulan (1994).
Selain bermain film, kegiatan Amoroso dalam perfilman antara lain sebagai sekretaris dewan juri film cerita pada FFI (1990-1992) dan ketua dewan juri sinetron cerita pada Festival Sinetron Indonesia 1995. Dia duduk dalam Dewan Pertimbangan Organisasi Persatuan Perusahaan Film Indonesia (1998-2001). Sejak tahun 1990, dia menjabat direktur utama PFN (Produksi Film Negara). Di usia senjanya, dia masih bermain dalam sejumlah sinetron di televisi swasta.
Amoroso lahir di Jakarta pada 21 Oktober 1938. Dia menikah dengan Pranawengrum, maestro seriosa Indonesia. Mereka bertemu saat kuliah di Universitas Gajah Mada: Amoroso jurusan kedokteran, Pranawengrum jurusan fakultas sosial politik. Mereka mendirikan perkumpulan Wijaya Kusuma yang bergiat dalam drama, musik dan tari. Selain itu, mereka juga anggota paduan suara Pusat Olah Vokal (POV) pimpinan N. Simanungkalit antara 1963 dan 1966. Amoroso kemudian memilih dunia panggung dan film, sedangkan Pranawengrum setia sebagai penyanyi seriosa.
Mereka dikaruniai tiga anak: Ratna Arumsari, Doddy Keswara, dan Ratna Kusumaningrum alias Aning Katamsi, yang semuanya mewarisi bakat seni dari orangtuanya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar