Setengah Abad Wujudkan Subway di Jakarta
Kereta api bawah tanah (subway) di Jakarta telah direncanakan sejak 1964. Mengapa berulang kali gagal?
Pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) atau sistem kereta massal cepat di Jakarta memasuki tahap konstruksi skala besar di jalur Fatmawati-Blok M pada Maret 2015. MRT terdiri dari dua jenis jalur: melayang dan bawah tanah. Jika terwujud, jenis jalur terakhir bakal menjadi hal baru di Jakarta. Ia sebelumnya hanya berupa rencana sejak 1964.
Soemarno, gubernur DKI Jakarta (periode 1960-1964 dan 1965-1966), pernah berencana membangun lintasan kereta api bawah tanah (subway) pada Februari 1964. Menurut dia, jalur kereta api bawah tanah sangat cocok berada di dalam kota, sedangkan jalur di permukaan hanya cocok berada di luar atau pinggiran kota. “Karena menimbulkan kemacetan lalu-lintas,” tulis Djaja, 15 Februari 1964.
Soemarno juga mempertimbangkan peningkatan jumlah penduduk Jakarta. Kota ini hanya berpenghuni 800.000 jiwa pada 1944, tetapi naik drastis menjadi 3 juta jiwa pada 1964. Lalu-lintas pun bertambah ramai. “Kebutuhan pengangkutan karenanya dengan sendirinya menjadi bertambah besar,” kata Soemarno.
Baca juga: Matahari Terbit di Kereta Rel Listrik
Sarana jalan masih terbatas. “Jalan-jalan utama… belum diperlebar di tahun 1960-an,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1960-an. Angkutan umum juga kurang memadai. Bus terbatas dan menaikinya pun tidak nyaman. Naik trem apalagi; selalu penuh.
Kemacetan mulai membiasa di ibukota. Soemarno memilih mengembangkan moda kereta api untuk mengurangi kemacetan. Dia melihat pengguna kereta api sangat tinggi. “Menurut angka-angka terakhir jumlah penumpang kereta api pada lintas-lintas di Jakarta Raya adalah lebih kurang 80.000 orang sehari,” kata Soemarno. Ini setara dengan daya angkut 2.650 bus.
Seiring pembaruan fungsi Stasiun Gambir dan Senen, Soemarno memandang perlu meremajakan jalur kereta api permukaan di sepanjang Manggarai-Gambir-Jakarta Kota (berjarak 9 kilometer) dan Jatinegara-Senen-Jakarta Kota (10 kilometer). Dia hendak mengganti jalur permukaan itu menjadi jalur bawah tanah.
Untuk menghubungkan jalur kereta api di Jakarta dengan luar Jakarta, Soemarno menetapkan Jakarta Kota dan Manggarai sebagai stasiun pusat untuk kereta penumpang. “Yang pertama untuk penumpang dari Cirebon, Rangkasbitung, dan Tangerang; yang kedua untuk penumpang-penumpang dari Bandung dan Bogor,” kata Soemarno.
Para penumpang dari luar kota bisa melanjutkan perjalanan ke dalam kota melalui jalur bawah tanah. Dengan demikian “kereta api sebagai alat pengangkutan massal dan murah dapat dipertahankan dengan tidak menimbulkan gangguan-gangguan pada lalu-lintas.”
Namun dua periode masa jabatannya, Soemarno gagal mewujudkan rencananya. Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, lebih menekankan perbaikan transportasi bus umum (Perusahaan Pengangkutan Djakarta/PPD) ketimbang mewujudkan jalur kereta api bawah tanah.
Sempat hilang puluhan tahun, rencana pembangunan kereta api bawah tanah mengemuka lagi pada 1986. Soeprapto, gubernur DKI Jakarta periode 1982-1987, dan pemimpin Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) berniat mengubah jalur kereta api permukaan. Pilihannya dua: melayang atau bawah tanah. Mereka memilih rel layang. “Rel layang dipilih karena biaya pembuatannya murah,” tulis Kompas, 13 Februari 1986.
Baca juga: Awal Mula Jalur Layang Kereta di Indonesia
Saat rel layang resmi beroperasi pada 1992, Sealand International Group, perusahaan besar dari Hong Kong, berminat membangun jalur kereta api bawah tanah di Jakarta dan beberapa kota lainnya. Sejumlah gubernur menyambut gembira kabar itu. Tapi krisis ekonomi menerpa Indonesia pada 1997. Rencana pembangunan pun menguap lagi.
Setelah kegagalan berulang-ulang, pembangunan jalur kereta api bawah tanah di Jakarta mulai terlaksana pada 10 Oktober 2013 saat pemerintah provinsi DKI Jakarta meresmikan pembangunan MRT.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar