Matahari Terbit di Kereta Rel Listrik
Pengaruh Jepang dalam rencana perbaikan dan pengembangan KRL Jabotabek. Dari pakaian masinis sampai Rencana Induk.
Pernahkah anda melihat masinis Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek menunjuk-nunjuk sesuatu sembari berkata sendiri ketika kereta berjalan atau berhenti? Ini cara masinis KRL menjaga konsentrasinya selama bekerja. Istilahnya "tunjuk" dan "sebut". Adopsi dari cara kerja masinis KRL di Jepang. Di sana cara kerja ini telah berjalan lebih dari 100 tahun.
Jepang mempunyai pengaruh besar dalam layanan KRL Jabodetabek. Cobalah anda tengok pakaian masinis KRL dan Petugas Pelayanan Kereta (PPK) di Indonesia. Dari topi, kemeja, sampai sarung tangan. Benar-benar menyerupai pakaian masinis dan PPK di Jepang. Tapi cara kerja dan pakaian masinis hanya sebilangan kecil dari pengaruh tersebut.
Pengaruh besar Jepang terletak pada rencana perbaikan dan pengembangan KRL Jabodetabek. Akarnya tertanam pada dekade 1970-an. Masa ini layanan KRL di bawah Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) sedang terpuruk.
Baca juga: Mengenang Keretapi Zaman Kolonial
Sejumlah gardu penyuplai listrik rusak sejak 1964. Anggaran PNKA untuk membayar listrik juga berkurang. Jumlah perjalanan KRL pun turun drastis. “Layanan KRL hampir ditutup,” kata Ibnu Murti Hariyadi, sejarawan perkeretaapian sekaligus penulis sejumlah buku sejarah kereta api, kepada Historia.
Sebagian rute layanan KRL berganti kereta rel diesel (KRD) peninggalan Belanda. Keretanya sudah kusam. Tapi keadaan sedikit cerah pada 1971. PNKA Eksploitasi (daerah operasi) Barat memperoleh alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat.
Masuk dari Kereta Baru
Pemerintah pusat memperoleh dana itu dari Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), sebuah kelompok negara pemberi bantuan untuk Indonesia. Di dalamnya termasuk Jepang.
PNKA berencana menggunakan dana bantuan untuk membeli beberapa rangkaian kereta dari Jepang. Kedatangan kereta baru penting untuk memenuhi dua tujuan: jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek untuk mengatasi kemacetan di dalam kota Jakarta, sedangkan jangka panjang untuk menghubungkan Jakarta dengan kota-kota satelitnya di wilayah timur, selatan, dan barat. Selaras dengan konsep pengembangan Jabotabek.
Tapi pembelian kereta baru tidak bisa langsung mewujud. Perlu ada studi pendahuluan. Maka pemerintah mengundang konsultan transportasi asal Jerman Barat untuk mengkaji perbaikan dan pengembangan KRL. Hasil kajian mensyaratkan biaya besar untuk perbaikan dan pengembangan KRL jangka panjang.
Pemerintah hanya punya dana untuk melaksanakan rencana perbaikan dan pengembangan KRL jangka menengah (intermediate programme). Aksi ini berupa pengadaan KRL baru dari Jepang sebanyak sepuluh rangkaian pada pertengahan 1976. Satu rangkaian terdiri atas empat kereta. Biaya pengadaan mencapai Rp700 juta, demikian catatan Kompas, 30 Januari 1975.
KRL baru itu berjalan pada rute Manggarai–Bogor PP sejak 2 September 1976 sekaligus menandai beroperasinya kembali KRL rute tengah. Dan sejak ini pula, pengaruh Jepang kian menancap dalam layanan KRL Jabotabek.
“Pemerintah melirik Jepang karena perkembangan pesat teknologi kereta apinya pada masa itu. Apalagi prestasi Jepang berhasil meluncurkan kereta api cepat pertama sejak 1964 itu menjadi perhatian betul dari pemerintah Orde Baru,” ungkap Ibnu.
ODA dan JICA
Dari pandangan Jepang, Indonesia tampak sebagai negara terpenting di kawasan Asia Tenggara. Indonesia di bawah Orde Baru ramai oleh pembangunan infrastruktur. Kelas ekonomi baru bermunculan di Jakarta dan sekitarnya. Merekalah pasar bagi produk dagang Jepang.
Bahan baku untuk industri Jepang tersedia melimpah di Indonesia. Begitu pula dengan tenaga kerja murah. Sangat menguntungkan jika Jepang memperluas investasi industrinya di sini. Dengan demikian, menjaga hubungan baik dengan Indonesia berarti turut menjamin keberlangsungan industri dan pasar produk dagang Jepang.
Maka Jepang tak segan mengucurkan bantuan untuk memperbaiki infrastruktur di Indonesia. Bantuan itu terkemas dalam Official Development Assistance (ODA). “Perdagangan, investasi, serta ODA merupakan trilogi yang tak dapat dipisahkan,” tulis Sueo Sudo dalam The International Relations of Japan and Southeast Asia: Forging a New Regionalism.
Baca juga: Jepang dari Isolasi hingga Industri
Salah satu pengelola ODA adalah Japan International Cooperation Agency (JICA). Lembaga kerja sama teknik ini menggandeng sejumlah konsultan dan perusahaan kereta Jepang untuk membantu Indonesia dalam perbaikan dan pengembangan KRL Jabotabek.
Wujud bantuan JICA berupa pembuatan Rencana Induk KRL Jabotabek dengan beberapa kali revisi selama 1980–1985. Rencana Induk memuat kajian jumlah penumpang KRL Jabotabek, keruangan kota Jakarta dan sekitarnya, permasalahan KRL, biaya pelaksanaan, dan langkah-langkah perbaikan dan pengembangan KRL untuk 20 tahun ke depan.
“Rencana Induk menjelaskan langkah-langkah apa saja yang dibutuhkan untuk perbaikan layanan KRL seperti penyediaan rel ganda, renovasi stasiun, elektrifikasi, sinyal otomatis, persilangan, pengadaan KRL baru, pemutakhiran bengkel dan depo, pembangunan rute baru dan sebagainya. Target penyelesaian pada tahun 2000,” tulis Tomoyoshi Haya dalam “Improvement of Railway System in Jakarta Metropolitan Area”, termuat di Japan Railway & Transport Review No, 35, Juli 2003.
Baca juga: Riwayat Masuknya Modal Asing Ke Indonesia
Pemerintah Indonesia menyetujui Rencana Induk KRL tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 26 tahun 1982 dan Keppres No. 67 tahun 1983. Setelah itu, Presiden Soeharto menetapkan Rencana Induk KRL Jabotabek sebagai Proyek Nasional.
Semua kebijakan ini demi meningkatkan peranan KRL pada tahun-tahun mendatang. Saat Rencana Induk KRL kali pertama muncul, KRL hanya mempunyai peran sebesar 1,2 persen (44.000 orang) dari 3,6 juta warga Jabotabek yang melakukan perjalanan tiap harinya. Peran ini akan meningkat jadi 20 persen dengan bantuan lanjutan pemerintah Jepang berupa suplai kereta baru, alih teknologi, dan pinjaman lunak.
Seiring pembuatan Rencana Induk KRL, Jepang mengirimkan empat rangkaian KRL (16 kereta) baru produksi pabrik Kawasaki ke Indonesia pada Oktober 1984. Harga tiap rangkaian Rp1,9 miliar. Di samping itu, Jepang juga mulai mencari skema pinjaman dana untuk pembangunan rel layang rute tengah (Manggarai–Jakarta Kota). Rel layang ini maujud pada 1992.
Pengaruh Negara Lain
Sebenarnya Jepang tidak sendirian memberikan pengaruh dalam layanan KRL Jabotabek. Mereka sedia berbagi pengaruh dengan Prancis dan Inggris.
Rencana Induk KRL membagi perbaikan dan pengembangan KRL dalam tiga rute: tengah (Bogor–Jakarta Kota), timur (Tanjung Priok–Bekasi–Cibinong), dan barat (Jakarta Kota–Tanah Abang–Tangerang–Rangkasbitung).
Jepang menggarap rute tengah, Inggris kebagian rute timur, dan Prancis memperoleh rute barat. Inggris menyiapkan Rp300 miliar, sedangkan Prancis sanggup kasih Rp75 miliar untuk Indonesia. Syaratnya Indonesia harus menyertakan dana pendamping pinjaman dalam bentuk rupiah. Perbandingannya 60 persen dana pinjaman dengan 40 persen dana pendamping.
Baca juga: Awal Mula Jalur Layang Kereta di Indonesia
Kompas, 4 Oktober 1985 menyebut Indonesia tidak mampu menyediakan dana pendamping pinjaman tersebut. Perbaikan dan pengembangan KRL rute timur dan barat pun tersendat. Sementara Jepang mengakalinya dengan mengganti sebagian dana pinjamannya dalam bentuk rupiah. Cara ini memperkecil jumlah dana pendamping pinjaman dari Indonesia. Hasilnya pembangunan rel layang rute tengah terlaksana.
Karena ketidakmampuan Indonesia menyediakan dana pinjaman, Inggris dan Prancis pun hengkang dari rute timur dan barat. Jepang mengambil alih penggarapan dua rute tersebut. Akhirnya Jepang menjadi negara dominan dalam rencana perbaikan dan pengembangan KRL Jabotabek hingga sekarang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar