Masuk Daftar
My Getplus

Petaka Menimpa Marinir di Perairan Nongsa

Empat personel Marinir disatroni kapal perang Malaysia kala berpatroli di perbatasan. Tembak menembak lantas diselamatkan penyelundup.

Oleh: Randy Wirayudha | 04 Okt 2017
Dilingkari: Prako Riyono, Prako Wahadi, Prako Muhani, dan Prako Suratno. (Dok. Riyono).

KONFRONTASI Indonesia dengan Malaysia pada awal 1960-an memang tak berujung pada peperangan berskala besar. Namun tidak sedikit kisah yang terpendam tentang bagaimana prajurit TNI terlibat kontak senjata dengan tentara negeri jiran. Salah satunya yang terjadi di perairan Pulau Nongsa, Kepulauan Riau.

Insiden baku tembak sempat dialami Riyono. Prajurit KKO (kini Marinir TNI AL) bersama tiga rekannya kala berpatroli di perairan Nongsa. Keempatnya adalah Prako (Prajurit Komando) Riyono bersama Prako Wahadi, Prako Muhani dan Prako Suratno yang memimpin regu patroli.

“Sejak Desember 1963 saya ditempatkan di Pulau Nongsa. Pos utama kita ada di Ksatrian Angkatan Laut Tanjung Uban dan beberapa personel ditempatkan di pos-pos terdepan perbatasan, termasuk Nongsa itu. Saya termasuk dalam bagian Kompi RR Gelombang I yang dipimpin Lettu Soekarno, berdasarkan perintah telegram 160447 Batalyon II KKO,” ungkap Riyono kepada Historia di kediamannya di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara.

Advertising
Advertising

Baca juga: Mengapa baret Marinir berwarna ungu?

Veteran dengan pangkat terakhir pembantu letnan satu (peltu) itu masih ingat, perihal insiden yang nyaris melumat nyawanya dan ketiga rekannya itu. Ketika itu dia berpatroli pada 24 Juli 1964 sore ke perairan lepas pulau Nongsa. Ketika malam tiba sekira pukul 8, mesin perahu yang dinaiki keempatnya ngadat di tengah laut.

Dalam keadaan terombang-ambing gelombang, mereka coba membetulkan mesin perahu. Saat itulah tiba-tiba dari kegelapan muncul sebuah kapal patroli musuh. Riyono dan ketiga rekannya yang buta situasi, sempat mengira bahwa itu kapal bea cukai Indonesia. Celakanya perkiraan mereka salah, karena yang merapat ke arah mereka adalah kapal perang Malaysia, Sri Selangor.

“Kalau itu kapal bea cukai, kami tadinya mau minta tolong karena mesin perahu kita mati. Saat itu, kami sendiri enggak tahu sudah terombang-ambing sampai mana. Ternyata setelah benar-benar dilihat, itu kapal Malaysia, Sri Selangor yang kalau tidak salah, itu kapal penyapu ranjau,” lanjut Riyono yang kini sudah menginjak usia 75 tahun.

Mereka lantas disorot lampu kapal dan diinstruksikan mengidentifikasi diri. “Kita ditanya dari atas kapal: Kalian siapa? Kami jawab: kami KKO Indonesia! Lantas kami disuruh menyerah," ujar Riyono.

Baca juga: Ketika Baret Merah (Kopassus) bentrok dengan Baret Ungu (Marinir)?

Setelah melakukan rembukan singkat, mereka memutuskan untuk tidak menyerah dan malah mengokang senjata. Dengan sedikit mendorong perahu mereka dengan kaki agar tak lagi memepet kapal Malaysia, segera Riyono dan kawan-kawan memuntahkan peluru-peluru dari senapan SKS dan RPD yang mereka bawa.

“Keputusan rembukan, ya sudah kita hajar (tembak) saja. Kita sikat (tembaki) dari bawah, lalu mereka membalas dari atas kapal. Sempat kena satu peluru ke kaki saya ini,” kenang Riyono seraya menunjukkan bekas luka tembak di betis kirinya.

Kapal Malaysia itu lantas berbalik arah dan menabrak perahu mereka. Guna menghindarinya, tak ada jalan lain keempat prajurit KKO itu menceburkan diri ke laut.

“Setelah kapal kami ditabrak, kami masing-masing menyelam. Saya masih ingat betul bisa melihat bagian bawah kapal mereka lewat di atas kepala saya,” kenang Riyono lagi.

Baca juga: Marinir Muda Terperangkap Madu

Setelah mereka menghilang di bawah air, kapal Malaysia itu pergi dari lokasi. Sementara Riyono berusaha keras berenang menuju puing-puing perahunya yang masih mengambang, meski kakinya kena luka tembak. Di antara puing-puing itu, hanya tiga yang berhasil berkumpul lagi.

“Di puing-puing itu saya lihat lagi dua teman saya. Wahadi juga ternyata saya ketahui kena (tembak) kakinya. Kalau Muhani tengkuknya keserempet peluru. Yang benar-benar menghilang itu Suratno. Kita berasumsi dia sudah meninggal, namun dicari enggak ditemukan jasadnya,” imbuhnya.

Berjam-jam mereka terombang-ambing. Entah apa yang dipikirkan. Yang pasti mereka sama sekali tak mengkhawatirkan ikan hiu yang memang ada habitatnya di perairan Laut China Selatan. Sampai akhirnya pertolongan itu datang.

“Kita bertiga terombang-ambing di laut kira-kira sampai jam 2 atau 3 pagi itu. Saat itulah muncul perahu sipil. Sepertinya mereka penyelundup, namun orang kita (masyarakat setempat). Kita diselamatkan, diangkat ke perahu dan kita minta diantar ke pos kita di Nongsa. Ya mungkin memang kita belum waktunya (mati), kita masih dikasih selamat oleh Allah SWT,” lanjut Riyono.

Baca juga: Tujuh Marinir Belanda ditawan TNI

Sesampainya di pos Nongsa, mereka melapor kepada komandan pos. Saat itulah mereka menangkap siaran radio Malaysia yang memberitakan: “Kapal Diraja Malaysia Sri Selangor telah menenggelamkan penceroboh-penceroboh Indonesia”.

“Seolah-olah dibikin bahwa mereka yang heroik. Padahal informasi dari intelijen kita, tigabelas tentara mereka juga tewas kena tembak sama kami. Sempat rekan-rekan lain ingin berangkat lagi. Sudah menyiapkan mitraliur dan bazoka segala. Tapi ternyata kami lihat lagi, sudah banyak kapal Inggris yang nongkrong di perbatasan sana. Tidak jadi kita serang mereka lagi,” ujarnya.

TAG

Sejarah-TNI TNI-AL

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Bekas Menteri Masuk TNI Jenderal Mayor di Indonesia Dinas Sejarah Angkatan Laut Dulu dan Kini Mayor Boyke Nainggolan vs Kolonel Djatikusumo Petualangan Evertsen, dari Arktik hingga Arafura Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan Pemburu dari Masa Lalu Putra Betawi dalam Pusaran Revolusi Indonesia Pembersihan Setelah Pembantaian di Tanjung Priok