Anies Baswedan dan Prabowo Subianto kedapatan tidak bersalaman usai debat calon presiden ketiga akhir pekan kemarin. Sebagaimana diketahui, Anies dan Prabowo berdebat sengit pada debat yang bertemakan pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan globalisasi itu. Suasana debat memanas manakala Anies menyinggung soal aset pribadi Prabowo sementara banyak prajurit TNI yang tidak punya rumah dinas. Pernyataan Anies tentu saja membuat Prabowo jengkel karena membandingkan dua hal yang tidak berhubungan. Pada akhir debat terlihat keduanya tidak saling berjabat tangan. Tampaknya ada yang masih emosi.
Debat memang mudah memantik emosi. Apalagi perdebatan di antara politisi yang sedang kontestasi memenangkan pemilihan umum. Setelah debat ada yang masih memendam kesumat. Namun, ada pula yang berbesar hati dengan berangkulan kembali.
Pada dekade 1950-an, perdebatan sengit acap mewarnai Konstituante, lembaga parlemen yang bertugas menyusun undang-undang dasar. Terlebih lagi di antara tokoh politisi dari Partai Masyumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ideologi kedua partai ini memang saling bertentangan. Masyumi mengusung ideologi politik Islam sedangkan PKI mengusung komunisme menuju masyarakat tanpa kelas. Itulah sebabnya para kader mereka sering “berkelahi” di Konstituante dalam merumuskan dasar negara yang baru.
Baca juga: Atas Nama Ideologi Negara
Cerita klasik perdebatan alot sarat emosi di Konstituante terjadi antara Ketua Umum Partai Masyumi Mohammad Natsir dengan Ketua CC PKI D.N Aidit. Keduanya sama-sama anggota Konstituante periode 1956—1959. Natsir bahkan pernah hampir ingin melemparkan kursi saat menghadapi Aidit dalam sidang Konstituante.
“Jika Aidit lagi debat di parlemen, saya ingin mengangkat kursi lalu menghempaskan ke kepalanya,” tutur Natsir kepada muridnya Yusril Ihza Mahendra.
Namun uniknya, mereka akur lagi usai berdebat. Di kantin parlemen, Aidit tak sungkan membagikan segelas kopi hangat kepada Natsir. Keduanya lantas saling bercengkrama menanyakan kabar keluarga masing-masing sambil makan sate.
“Dari hal tersebut bisa dilihat betapa sifat dan watak waktu pada saat itu sangat toleran meskipun dalam urusan politik mereka sangat bermusuhan,” kata Yusril dalam “Natsir dan Kemajemukan Bangsa” termuat pada kumpulan tulisan Mewarnai Indonesia: Jejak Perjuangan dan Pemikiran Tokoh Islam dalam Mengisi Keindonesiaan suntingan Ahmad Khoirul Fata dan Tomi Satryatomo.
Baca juga: "Say Cheese, Mr. Aidit!"
Tak hanya dengan Natsir. Aidit juga bergaul akrab dengan tokoh Masyumi lain seperti Kiai Haji Isa Anshary. Seperti Natsir, Isa Anshary juga merupakan anggota Konstituante. Dia dikenal anti-komunis garis keras. Namun, Isa Anshary punya hubungan pribadi yang rapat dengan Aidit. Pergaulan keduanya direkam oleh Mathias Dusky Pandoe, wartawan koran Masyumi, Abadi.
Sekali waktu, ketika sidang Konstituante istirahat, Mathias menumpang sholat dan makan siang di kediaman Isa Anshary di Jalan Asia Afrika, Jakarta Pusat. Dia kaget begitu memergoki Aidit juga berada di sana tengah bersantap makan siang dengan Isa Anshary. Setelah bergabung, Mathias mengetahui bahwa singkatan D.N. pada nama Aidit adalah Dja'far Nawi, yang kemudian ditukar menjadi Dipa Nusantara. Isa Anshary juga menerangkan, pada waktu perang gerilya tahun 1946, dia dan Aidit sama-sama tinggal di Garut, Jawa Barat.
“Umi yang memasakannya,” tutur Isa kepada Mathias. Umi yang dimaksud adalah istri pertama Isa Anshary.
Baca juga: D.N. Aidit di Sekitar Proklamasi Kemerdekaan
Kali lain, usai sidang parlemen, Aidit menumpang mobil Isa Anshary pergi ke kantor CC PKI yang searah dengan kantor DPP Masyumi di Jalan Kramat Raya. Mathias juga pernah menyaksikan, pada suatu hari, Aidit membawakan oleh-oleh untuk Endang Saifuddin, putra sulung Isa Anshary, berupa pena dan buku-buku mengenai komunis sepulangnya dari Moskow
“Hubungan pribadi Buya Isa dan Aidit, walau sama lawan keras, tetap terpelihara,” kata Mathias dalam memoar Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas
Menurut Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari, Aidit bersahabat baik secara pribadi dengan Isa Anshary yang dalam forum selalu mengecam komunisme, bahkan sempat membentuk organisasi anti-komunis. Isa Anshary sendiri yang menjabat sebagai ketua Front Anti Komunis.
Baca juga: Kampanye Hitam Pemilu Indonesia
“Pada masa itu orang Indonesia benar-benar dapat menghargai perbedaan pendapat tanpa mempengaruhi hubungan pribadi,” simpul Ajip.