SEJAK zaman revolusi 1945–1949, Jasir Hadibroto, bekas perwira tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta), sudah jadi komandan pasukan campuran bekas Heiho, Peta, dan KNIL yang bersenjata lengkap. Ia pernah ikut bertempur di Banyubiru pada 8 Desember 1945 dalam Palagan Ambarawa.
Kapten Jasir terus menjadi komandan setelah tahun 1950. Ia terbiasa memimpin pasukan terlatih dengan baik. Sekitar tahun 1953 ia menjadi salah satu komandan kompi pasukan Banteng Raider, yang terlibat dalam operasi penumpasan DI/TII di Tegal dan Brebes tahun 1952–1954.
Baca juga: Ahmad Yani Berkelahi
Jasir tentu saja dikenal oleh Kolonel Achmad Yani yang membentuk Banteng Raider di Jawa Tengah terkait dengan Gerakan Banteng Negara (GBN) dan juga dikenal Kolonel Soeharto yang menjadi Panglima Tentara Teritorium IV Jawa Tengah (Diponegoro).
Suatu hari di tahun 1958, Jasir dipanggil Soeharto, yang menyuruhnya membantu Yani dalam operasi melawan PRRI di Sumatra Barat. Jasir diperintahkan menyusun batalyon dengan komposisi meliputi kader-kader baru maupun lama. Ia mempersiapkan pasukan untuk bertempur.
Baca juga: Apakah Aidit Seorang Perokok?
“Dalam proses penyusunan itu, Pak Harto juga mendengar dan menerima usul saya untuk merekrut beberapa anggota dari kader yang lama dalam penyusunan Batalyon Banteng Raider,” kata Jasir Hadibroto dalam Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun.
Pasukan Banteng Raider sangat gemilang dalam operasi melawan PRRI. Di antara anggota Banteng Raider yang terlibat terdapat Letnan Satu Untung, yang kemudian dikenal sebagai Letkol Untung dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Baca juga: Alasan Sarwo Edhie Menumpas PKI
Setelah operasi di Sumatra Barat selesai, Jasir sempat setahun menjadi komandan Batalyon Infanteri 454 yang berkedudukan di Srondol, Semarang. Setelah itu, ia terus berkarier di infanteri. Buku Riwayat Hidup Anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum 1971 menyebut Jasir menjadi komandan Brigade Infanteri 4 Kodam Diponegoro dari 1961 hingga 1968.
Setelah G30S gagal, Kolonel Jasir Hadibroto dan pasukan Brigade 4 batal dikirim ke Sumatra Timur. Ia diperintahkan bertugas di Jawa Tengah menyusul Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dan pasukan RPKAD untuk menumpas PKI. Jasir dan pasukannya berhasil menangkap dan menghabisi Ketua CC PKI D.N. Aidit di Solo.
Baca juga: Ketika Aidit Menyanyi Lagu Arab
“Berkaitan dengan kasus ini pada 23 November 1965 saya melapor kepada Pak Harto di Gedung Agung, Yogya. Pertama-tama saya kemukakan kesalahan saya, yaitu saya telah membunuh Aidit. Saya kemukakan pula bahwa kalau saya dianggap salah oleh Bung Karno dan mau dihukum gantung, saya sudah siap untuk dihukum, bukan orang lain,” kata Jasir.
Tentu saja Jasir tidak dihukum atas kematian Aidit. Ia justru menjadi pahlawan yang dikenang Orde Baru. Berkat Jasir dan Sarwo Edhi Wibowo, kaum komunis di Jawa Tengah dikalahkan dengan operasi militer.
Baca juga: Drama Penangkapan D.N. Aidit
Setelah situasi politik berubah, pria kelahiran Kroya, Cilacap, Jawa Tengah 23 Oktober 1923 itu kemudian ditugaskan sebagai Panglima Komando Tempur II di Sumatra Utara dari Desember 1967 hingga September 1971, sebelum akhirnya menjadi panglima Kodam Bukit Barisan (1971–1973) yang membawahkan Sumatra Utara dan sekitarnya.
Jasir kembali ke Jawa sebagai panglima Kodam Diponegoro (1973–1977). Selain itu, ia diangkat menjadi anggota DPR (1977–1978). Setelah pensiun dengan pangkat mayor jenderal, Jasir menjabat gubernur Lampung selama dua periode (1978–1988). Jasir meninggal pada 6 Mei 2003.*