WISNUWARDHANA naik takhta didampingi Narasinghamurti sebagai pembantu utama raja. Keduanya memerintah bagaikan dua naga dalam satu lubang yang membawa damai di negeri Singhasari. Antara keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken Angrok untuk sementara tak lagi berebut panggung. Namun, asal-usul itu kembali dianggap penting ketika Kerajaan Majapahit mencapai ujung kisahnya.
Sebelumnya, keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken Angrok saling curiga dan saling tusuk demi duduk di singgasana. Sampai Wisnuwardhana, keturunan Tunggul Ametung dan Ken Dedes, memerintah bersama Narasinghamurti, keturunan Ken Dedes dan Ken Angrok.
“Kekuatan yang dibangun segitiga. Ken Dedes di tengah, Ken Angrok di kanan, Tunggul Ametung di kiri, sampai kemudian (menurunkan, red.) Kertanagara lalu Majapahit,” kata Dwi Cahyono, dosen sejarah Universitas Negeri Malang.
Baca juga: Di balik kutukan keris Mpu Gandring
Dwi mengatakan mulai dari kekuasaan Hayam Wuruk usaha membuka kembali asal-usul itu mulai terlihat. Lewat tur akbarnya ke Lumajang yang diabadikan lewat Nagarakrtagama membuka kembali kalau Singhasari berkontribusi pada lahirnya Majapahit.
Garis-garis leluhurnya pun jadi semakin terlihat. Setelahnya kekuatan Singhasari mulai kembali tampil.
“Sejak itu ada semacam Singhasari come back di masa Majapahit. Trah-trah Singhasari menguat. Pada masa akhirnya, Majapahit lebih condong dikuasai oleh garis keturunan dari penguasa Tumapel,” jelas Dwi.
Puncaknya ketika muncul tiga tokoh Majapahit yang memakai nama Girindrawarddhana. Mereka adalah Girindrawarddhana Dyah Wijayakrana, Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang menjadi raja Majapahit, dan Girindrawarddhana Dyah Wijayakusuma Sri Singhawarddhana. Nama mereka diketahui lewat Prasasti Waringinpitu (1447 M), Prasasti Ptak, dan Prasasti Jiwu, keduanya berasal dari tahun 1486 M.
“Saya sempat bertanya-tanya wangsa apa kok pakai Giri,” kata Dwi. “Apakah hanya karena memuja Siwa, tempat bersemayam di Girisa. Mengapa Girindra? Giri itu apa?”
Dwi menjelaskan, nama itu mengarah pada Tumapel, tempat awal berdirinya Singhasari. Dari segi kewilayahan di Jawa Timur, Tumapel berada di tempat yang tinggi. Dan Giri berarti gunung.
“Ini sengaja untuk mengabadikan gejala apa yang saya sebut sebagai Singhasari comeback,” lanjutnya.
Kebetulan, kata Dwi, pasca pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit banyak mengalami konflik keluarga. Muncul banyak garis keturunan dari luar garis Tumapel. Misalnya, trah dari Blambangan, Sumatra, dan Champa.
“Sudah campur aduk. Karenanya seperti ada pemurnian kembali. Ini juga nuansa comeback,” ujar Dwi.
Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit menyebut tokoh-tokoh bergelar Girindrawarddhana pada periode Majapahit akhir memang masih keturunan langsung dari Ken Angrok. Ken Angrok dianggap sebagai pendiri Dinasti Girindra (Girindrawangsa) atau Dinasti Rajasa (Rajasawangsa).
“Girindrawarddhana hanya nama gelar yang dipakai oleh raja-raja Majapahit akhir penerus Dinasti Girindrawangsa,” jelas Hasan.
Sementara pada masa Girindrawarddhana juga Pararaton dibuat. Sejarawan Warsito. S. lewat “Benarkah Ken Arok Anak Desa?” Pusara Djilid XXVII No.3-4 Maret-April 1966, menulis Pararaton diciptakan dalam rangka legitimasinya sebagai keturunan Ken Angrok. Pararaton masih menyebut nama Raja Kertabhumi (1468-1478). Maka, bisa disimpulkan kitab itu disusun tak lama sesudah tahun 1478. Tak lain, yang menyusunnya adalah Girindrawardhana.
Pararaton, menurut Warsito, berasal dari pa-raratu-an yang artinya ratu ning ratu atau the king of kings. Raja yang dimaksud adalah Ken Angrok. Selain menjadi raja, Ken Angrok juga moyang raja-raja berikutnya.
“Dengan demikian Ken Angrok adalah maharaja penegak dinasti. Sedang yang menyusun sejarah resmi itu tentunya anak cucu Ken Angrok. Itu tak lain adalah Maharaja Girindrawardhana,” catat Warsito.
Sebaliknya, Warsito menilai Nagarakrtagama lebih merupakan sejarah dari keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Isinya sangat subyektif. Prapanca begitu menonjolkan dan memuji keturunan Ken Dedes dan Tunggul Ametung, seperti Kertanagara dan ayahnya, Wisnuwardhana.
Baca juga: Prapanca, pujangga Majapahit yang diasingkan
Menurut Warsito Pararaton dan Nagarakrtagama memunculkan periode sejarah yang hampir bersamaan. Keduanya mengangkat masa Singhasari hingga Majapahit. Kendati begitu keduanya berasal dari dua partai yang bertentangan. “Yaitu partai Ken Angrok yang beragama Hindu dan partai Ken Dedes yang beragama Buddha,” lanjut Warsito.
Warsito pun tak sepakat dengan anggapan Ken Angrok moyang raja-raja Majapahit. Pasalnya, tak semua penguasa Majapahit secara genealogis keturunan Ken Angrok.
Separuh dari kitab Pararaton meriwayatkan Ken Angrok yang sepanjang hidupnya diliputi perebutan pengaruh politik dan kondisi politik yang tak kondusif. Dinasti-dinasti saling berebut pengaruh. Ada kubu Dandang Gendis atau Kertajaya bersama Tunggul Ametung yang terus tak berdamai dengan kubu Ken Angrok.
“Apa yang dikerjakan Ken Angrok adalah persiapan merebut kembali takhta Kerajaan Tumapel, jadi merupakan suatu agitasi dan kampanye politik,” jelas Warsito.
Sementara itu, Pararaton merupakan suatu manifestasi politik dari raja Majapahit keturunan Ken Angrok. Dalam hal ini Girindrawardhana, membuktikan haknya atas takhta Majapahit yang sebelumya dikuasai oleh keturunan Ken Dedes dan Tunggul Ametung.
“Haknya atas takhta Majapahit itu dia tunjukkan dalam Pararaton. Jelas ditunjukkan dalam karya itu, Ken Angrok merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung karena dialah ahli waris yang berhak atas takhta Tumapel,” ujarnya.
Baca juga: Kudeta Ken Angrok
Mengapa kemudian Girindrawardhana bisa dianggap sebagai keturunan dinasti Ken Angrok? Warsito mengatakan dinasti Ken Angrok dalam Pararaton disebut Girindrawangsa. Artinya keturunan Dinasti Siwa (Girindra = penguasa gunung).
“Kalau gitu percaturan Ken Angrok akhirnya sampe akhir Majapahit. Singhasari come back akhirnya, Angrok come back juga. Ini kelihatan sekali. Indikasinya penguasa-penguasa Tumapel kembali menguat,” tambah Dwi.