PEMERINTAH Jepang melalui Duta Besar Jepang untuk RI, Kenji Kasunugi, untuk kedua kalinya memberikan Penghargaan Kepala Perwakilan di Luar Negeri untuk Tahun Reiwa ke-5 (paruh kedua). Penghargaannya diberikan kepada delapan tokoh, salah satunya Bonnie Triyana, pendiri dan redaktur senior media berbasis sejarah, Historia.id.
Pada medio April 2023, penghargaan yang sama (paruh pertama) sempat pula diberikan kepada satu tokoh dan dua komunitas atau kelompok. Menyusul bulan ini, sebagaimana dikutip dari rilis pers Kedutaan Jepang, Jumat (15/9/2023), Dubes Kasunugi memberikan Penghargaan Reiwa ke-5 itu untuk delapan tokoh yang menonjol dalam bidang masing-masing punya jasa mempererat persahabatan RI-Jepang yang sudah terjalin lebih dari enam dasawarsa.
Selain Bonnie Triyana, tujuh penerima Penghargaan Reiwa ke-5 adalah Chieko Nakano (ketua Pembina Surya Laras Jepang), Fadilah Hasim (ketua Yayasan Semarak Pendidikan Indonesia), Fusami Ito (ketua Cross Cultural Artisan Association/CCAA), Kazuyo Suda (penerjemah), Mariko Surjanto (pendiri Himawari Kai), Urara Numazawa (penerjemah), Yasunobu Kuboki (ketua Indonesian Education Promoting Foundation/IEPF).
Bonnie Triyana sebagai pendiri dan redaktur senior Historia, sambung rilisan persnya, dinilai berkontribusi mempromosikan pemahaman tentang sejarah interaksi antara bangsa Jepang dan Indonesia. Termasuk masa awal kedatangan bangsa Jepang pra-Perang Dunia II. Kontribusi ini dilakukan lewat penyelenggaraan pameran “Sakura di Khatulistiwa” yang digelar di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, 9-10 September 2022.
Baca juga: Historia Raih LINE Indonesia Awards
Bonnie juga berperan sebagai penulis naskah dan produser film dokumenter bertajuk Serdadu yang Tak Kembali: Kisah Sebuah Pilihan yang ditayangkan stasiun TV pelat merah TVRI pada 10 November 2021. Film dokumenter tersebut hasil kolaborasi Historia dan Yayasan Warga Persahabatan.
“Saya menyatakan terima kasih kepada pemerintah Jepang yang telah memberikan penghargaan kepada saya. Saya tidak menduga pemerintah Jepang memberi perhatian sedemikian besarnya pada apa yang saya lakukan selama ini dalam soal sejarah publik di Indonesia,” ujar Bonnie.
Sementara itu, Fadilah Hasim (ketua Yayasan Semarak) berkontribusi mempromosikan persahabatan anak-anak Jepang-Indonesia melalui pendidikan lingkungan sekolah yang didirikan IEPF yang kemudian dikelola Yayasan Semarak. Satu di antara proyek promosi persahabatannya adalah dengan Proyek SDGs atau proyek dukungan lingkungan pendidikan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan bahan ajar digital dan penelitian kelas metode Jepang untuk pulau-pulau terluar di Indonesia. Kontribusi Fadilah juga berkelindan dengan peran Yasunobu Kuboki sebagai ketua IEPF.
Adapun Fusami Ito punya peran besar dalam program-program persahabatan melalui batik. Ketua CCAA itu terlibat dalam pengenalan budaya Indonesia ke Jepang melalui proyek rehabilitasi pewarnaan batik tradisional dan proyek penciptaan lapangan kerja untuk perempuan.
Dalam hal budaya lainnya, mendiang Chieko Nakano juga berkontribusi pada program pengenalan budaya Indonesia ke Jepang melalui instrumen tradisional gamelan, sebagai ketua pembina Surya Laras Jepang yang concern pada komunitas gamelan Jawa. Nakano yang sedianya sudah wafat pada Juli 2022 juga berperan sebagai editor majalah Sarasa yang menulis tentang budaya Indonesia.
Baca juga: Kisah Seorang Cucu Serdadu Desertir Jepang
Sedangkan Kazuyo Suda sudah mengabdi dalam waktu yang cukup lama menjadi “penjembatan” setiap kali digelar agenda kunjungan pejabat dan tamu penting JICA atau badan kerjasama internasional Jepang sebagai penerjemah. Setali tiga uang dengan Urara Numazawa yang juga acap jadi penerjemah setiap agenda atau proyek JICA, sekaligus jadi penjembatan yang membantu siswa-siswa Jepang yang belajar di Indonesia.
Terakhir, Mariko Surjanto punya peran sebagai salah satu pendiri perkumpulan wanita Jepang yang bersuamikan warga negara Indonesia, Himawari Kai. Bersama Yayasan Warga Persahabatan, Mariko juga jadi pengelola dana sekolah bahasa Jepang, “Mie Gakuen” yang didirikan Yayasan Warga Persahabatan dan tokoh Jepang, Mie Ogura. Tak ketinggalan Mariko berkontribusi merevitalisasi yayasan yang selama ini memberikan dukungan bagi keturunan serdadu Jepang yang bermukim di Indonesia pasca-perang.
Baca juga: Karayuki di Bumi Pertiwi
Penghargaan Reiwa ini sudah diberikan kepada para tokoh asal Indonesia dan Jepang sejak 2019. Tepatnya mengacu pada dimulainya takhta Kaisar Naruhito yang menggantikan ayahnya, Kaisar Akihito. Sebagaimana kebiasaan di Jepang, setiap ganti kaisar, ganti pula penyebutan gelar kaisar dan zamannya.
Kaisar Naruhito memilih sebutan “Reiwa” untuk memulai zaman pemerintahannya, sekaligus mengakhiri Zaman Heisei di periode Kaisar Akihito (1989-2019). Otomatis Naruhito punya sebutan Tenno Reiwa sepanjang pengabdiannya sebagai kaisar.
Mengutip Jeff Kingston dalam Japan in Transformation, 1945-2020 mengungkapkan, sebutan “Reiwa” berasal dari dua huruf kanji: “Rei” yang artinya keteraturan atau keindahan dan “Wa” yang artinya perdamaian atau harmoni. Jika digabungkan memiliki makna harmoni yang indah.
Baca juga: Enam Dasawarsa Bersama Saudara Tua